top of page
  • Youtube
Search
  • Zahwa Camila Arifa
  • Aug 13, 2023
  • 9 min read

Updated: Aug 13, 2023

NARASI PERJUANGAN

Perkenalkan namaku Zahwa Camila Arifa. Orang-orang yang mengenalku biasa memanggilku Zahwa. Aku berasal dari SMAN 1 Purwakarta. Setelah berhasil melewati seleksi nasional berbasis tes (SNBT), kini aku adalah seorang mahasiswi reguler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Aku sempat membenci waktu jam 3 sore.


Sebagai siswi yang baru saja menamatkan jenjang SMA, tentunya aku sangat berkeinginan agar dapat langsung melanjutkan ke jenjang berikutnya yang lebih tinggi, yaitu jenjang perkuliahan. Menurutku, memiliki keinginan seperti itu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi. Sayangnya, jalan takdirku tidak sesuai dengan keinginanku. Tahun 2022 merupakan salah satu tahun yang berat bagiku, bahkan mungkin yang terberat. Aku harus menghadapi belasan penolakan dari universitas-universitas yang aku panjatkan dalam doaku supaya meloloskanku. Namun, tidak ada satu pun kata ‘selamat’ yang aku dapatkan dari setiap fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri yang aku daftari. Selalu saja yang tertera di layar ponselku adalah kata ‘semangat’, sedangkan kondisiku saat itu sudah sangat putus asa dan seperti tidak memiliki setitik pun rasa semangat yang tersisa.


Penolakan pertamaku terjadi di saat pengumuman hasil SNMPTN. Aku cukup beruntung untuk berkesempatan menjadi salah satu murid eligible di sekolahku, tetapi tidak cukup beruntung untuk menjadi bagian dari murid-murid yang lolos. Jam 3 sore, 29 Maret 2022, merupakan hari di mana aku merasakan patah hati pertamaku. Awalnya, aku percaya diri untuk bisa berhasil di jalur UTBK. Dengan naif dan tidak tahu dirinya aku beranggapan keajaiban pasti datang kepadaku.


Namun, keajaiban bukan untuk semua orang, ‘kan?


Jam 3 sore, 23 Juni 2022, adalah hari di mana aku tersadar bahwa untuk mendapatkan keajaiban itu aku juga harus menyelaraskan dengan usahaku dan menunjukkan bahwa aku memang pantas. Untuk yang kedua kalinya, aku kembali ditolak. Perasaan sedih yang aku alami saat itu lebih berat daripada saat aku ditolak SNMPTN. Aku merasa sudah berjuang dan mengerahkan segenap kemampuan yang aku bisa. Sayangnya, ‘semampuku’ bukanlah yang terbaik. Hal itu kembali terulang di semua jalur mandiri yang aku ikuti. Untuk sebelas ‘jam 3 sore’ berikutnya, hasil yang aku peroleh tetaplah sama: “Semangat dan jangan putus asa!”


Dengan isak tangis menderu dan lidah yang kelu, pada saat ibuku bertanya, “Apa rencana kakak setelah ini kalau ditolak lagi?”, aku tanpa pikir panjang menjawab, “ya udah, gap year aja”. Ucapan itu sebenarnya hanyalah sebuah kalimat impulsif yang keluar dari mulutku tanpa pertimbangan dan pemikiran yang lebih dalam sebelumnya. Namun, di luar dugaanku, ibuku menyetujui perkataan tersebut.


Benar saja, aku ditolak lagi. Akhirnya aku membulatkan tekad dan mengikhlaskan hatiku untuk menunda sebentar dan mengambil jalur tempuh yang lebih panjang demi mengejar mimpiku, yaitu menjadi mahasiswi kedokteran.


Sedari aku masih kecil, aku telah memiliki cita-cita yang besar: Aku ingin menjadi seorang dokter. Sejak aku masih berada di bangku sekolah dasar pun, waktu di mana kekhawatiranku masih sebatas ‘nanti sore main ke rumah siapa ya?’, setiap kali aku mendapat pr yang berkenaan dengan cita-cita, aku pasti tidak akan ragu untuk menulis dengan tegas dan jelas, “Dokter!”.


Semua mimpi dan harapan itu berasal dari pandanganku terhadap kedua orang tuaku. Ayah dan ibuku adalah sosok orang tua sekaligus dokter yang hebat. Mereka membimbingku untuk belajar dengan benar agar dapat meraih prestasi yang membanggakan diriku sendiri. Pola didik dan bimbing yang orang tuaku terapkan terbukti berhasil menjadikanku murid yang berprestasi selama masa SD-ku. Sebagai murid sekolah dasar yang belum terlalu mengerti dan tahu menahu mengenai dunia perkuliahan dan universitas, pastinya aku hanya dapat melihat dari lingkungan terdekatku. Pada saat inilah, momen di mana aku mendapatkan pengaruh yang sangat kuat dari kedua orang tuaku, terkhusus ibuku.


Ibuku adalah seorang dokter yang juga seorang alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Angkatan 1998. Ibuku adalah seorang dokter dan sosok ibu yang luar biasa. Aku banyak mendapatkan inspirasi dan teladan yang baik dari ibuku, yang salah satunya merupakan cikal bakal dari alasan perjalananku mewujudkan mimpi untuk bisa satu almamater dengannya. Dari ibuku, aku memiliki pandangan dan impresi yang cukup bagus terhadap FK UI. Aku percaya bahwa FK UI sukses menghasilkan dokter-dokter yang hebat, contoh paling nyata yang aku temui tentu saja adalah ibuku sendiri. Beliau banyak bercerita mengenai masa kuliahnya dahulu dan selalu bangga aku mendengarkannya. Pada saat aku masih menjadi murid sekolah dasar sekalipun, ibuku telah menyampaikan harapan dan doanya agar aku bisa mengikuti jejaknya.


Jika kalian pernah mendengar sebutan “The Gifted Kid”, mungkin aku adalah salah satu contoh nyatanya. Sejak SD sampai dengan SMP, aku selalu menjadi siswi yang berprestasi. Aku tidak pernah keluar dari tiga besar di kelas. Guru-guru semuanya mengenalku. Aku sering mewakili sekolahku untuk mengikuti perlombaan-perlombaan eksternal. Aku tidak perlu mengeluarkan usaha yang keras untuk mendapatkan nilai 100 pada setiap lembar ujianku. Semuanya berjalan dengan mudah dan lancar. Bahkan, pada saat aku lulus SMP pun, aku meraih peringkat tertinggi nomor satu di sekolah untuk NEM-ku yang bernilai 38,35. Aku merasa sangat bangga dengan pencapaianku saat itu. Aku mengira prestasi akademikku akan bertahan, bahkan meningkat, ketika aku menginjakkan kaki di SMA. Perkiraanku salah.


Masa SMA adalah masa di mana ‘berkat’ dan kejayaanku direnggut dariku. Sulit bagiku untuk bisa mendapatkan nilai sempurna, untuk mendapatkan nilai yang mencukupi saja aku terseok-seok. Oleh karena kemudahan yang aku rasakan sebelumnya, aku menjadi tidak terbiasa dengan pola belajar yang rajin. Aku tidak tahu metode belajar yang efektif untukku. Ditambah mewabahnya Covid-19 pada tahun 2020 yang menyebabkan sistem pembelajaran mendadak dirombak total menjadi daring membuatku kehilangan motivasi dan semangat belajarku. Aku kesulitan beradaptasi dengan kegiatan pembelajaran secara daring karena membuka banyak posibilitas untuk mendapatkan distraksi dari luar. Letak kesalahan terbesarku adalah aku tidak berusaha untuk memperbaiki semuanya. Aku terlena dengan pola hidup baru yang memungkinkanku untuk bermalas-malasan. Alhasil, tentu saja peringkatku terjun bebas. Aku sering mengikuti remedial. Namaku tidak pernah disebut sebagai peraih peringkat tertinggi. Aku tidak dikenal oleh guru-guruku. Aku tidak lagi menjadi siswi yang mewakili sekolahku untuk mengikuti ajang perlombaan di luar sana. Aku tidak mengenal diriku lagi saat itu. Aku, seperti bukan aku.


Aku terbiasa mendapatkan sorotan atas semua pencapaian yang aku raih tanpa perlu berjerih payah. Ketika semua kemudahan yang aku rasakan itu diambil dariku, segalanya terasa seperti tidak masuk akal. Aku? Gagal? Mungkin jika aku dapat sedikit bercerita mengenai ketidakberhasilanku dengan diriku di masa lalu aku hanya akan mendapatkan cemoohan. Ah, kini aku juga sering tertawa miris memikirkannya. Tidak pernah sekali pun terbayang dalam benak kecilku bahwa suatu saat di masa depan nanti kata tersebut akan mewakilkan kondisiku.


Berawal dari rasa malas yang aku anggap remeh dan kecil berakhir menjadikanku harus rela mengulang satu tahun kembali untuk belajar mempersiapkan seleksi UTBK pada tahun berikutnya. Alhamdulillah, berkat dukungan dan semangat dari keluarga dan teman-teman, aku bisa memulai lembar perjuangan baru dengan ikhlas dan gembira. Aku bertekad tidak akan mengulangi kesalahan yang sama kesekian kalinya. Aku berjanji dan yakin dengan diriku sendiri bahwa jika kali ini aku menjalani semuanya secara serius, aku pasti bisa mencapai tujuan yang aku idamkan sejak kecil, FK UI.


Selama masa gap yearku, aku mengikuti bimbingan belajar Prosus Inten di Depok. Permulaanku berawal dengan baik, terhitung pada try out pertama yang dilaksanakan di minggu yang sama dengan mulainya masa belajarku, aku berhasil meraih peringkat dua di kelas. Tentunya hal tersebut menambah rasa semangatku untuk tetap konsisten dan bahkan berjuang untuk terus meningkatkan performa akademikku.


Namun, namanya berjuang pastinya tidak selamanya mulus. Aku beberapa kali mengalami jatuh-bangun. Banyak waktu di mana nilaiku tidak stabil. Apakah aku merasa terbebani dengan hal tersebut? Tentu saja. Aku takut akan banyak hal, terutama kegagalan. Aku takut aku hanya akan mengulang cerita yang sama. Tidak ada yang bisa menjamin aku akan lulus pada tahun berikutnya, bahkan nilai-nilaiku yang sudah cukup baik pun tidak bisa menjadi parameter pasti. Akan tetapi, kalut di dalam ketakutan tidak akan membawaku ke manapun. Aku harus bisa mengontrol pikiran negatifku dan melawannya dengan pikiran-pikiran positif yang memotivasi. Aku harus membuktikkan pada diriku sendiri bahwa aku bisa! I am capable!


Setiap kali aku merasa demotivasi dan ingin menyerah, aku akan memandangi foto kecilku yang sedang memegang piala dengan senyuman penuh bangganya dan bergumam dalam hati, “Aku tidak akan mengecewakan gadis kecil ini dan akan mewujudkan mimpinya. Aku pasti bisa menjadi mahasiswi FK UI.”


Pada kala kalut menyelimutiku, aku akan mengingat baik-baik makna dari salah satu ayat Al-Qur’an yang selalu berhasil membangkitkan kembali semangatku. “Fa inna ma'al-'usri yusra. inna ma'al-'usri yusrā.” Ayat tersebut memiliki makna yang cukup mendalam. Bahwa disampaikan sesungguhnya bersama kesulitan pasti terdapat kemudahan. Tidak ada kesulitan yang tidak memiliki jalan keluar jika kita bersabar dan bertawakkal dengan kuasa dan kehendak-Nya.[1]


Pada saat aku sedang fokus memperkuat pemahaman materi saintek, Nadiem Makarim, Menteri Kemendikbud, mengubah kebijakan tata laksana UTBK menjadi hanya materi potensi skolastik. Sungguh, aku sangat bergembira mendengar berita tersebut. Menurutku, kemampuanku memang lebih menonjol di bidang potensi skolastik daripada akademik. Selain itu, kabar baik lainnya adalah kuota penerimaan jalur SNBT FK UI bertambah menjadi 75 orang. Aku makin percaya diri. Aku merasa kebijakan-kebijakan baru tersebut seperti pertanda dan kemudahan yang Allah berikan agar aku semakin semangat untuk mengejar mimpiku.


Dua bulan menjelang pelaksanaan SNBT, aku kian meningkatkan kadar belajarku. Tidak hanya mempelajari materi, tetapi juga rutin mengikuti try out baik yang diselenggarakan oleh Inten maupun try out yang diselenggarakan oleh platform online. Kegiatanku sehari-hari hanyalah latihan soal, try out, dan evaluasi. Begitu terus secara konsisten aku kerjakan sampai hari pelaksaan SNBT tiba.


Alhamdulillah, berkat kuasa dan kehendak Allah Yang Maha Besar, aku diterima sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui jalur SNBT.


Sepanjang masa gap yearku, aku sudah mempelajari bagaimana caranya mengatur waktu secara efisien agar seimbang antara hak dan kewajiban. Aku berharap setelah menjadi mahasiswi FK UI, aku bisa konsisten mengatur pola hidup yang teratur dan sehat. Sebagai mahasiswi, aku harus bisa menjadi pribadi yang lebih mandiri dan inisiatif. Aku ingin berperan aktif baik secara akademik maupun dalam berorganisasi. Selama menyandang status sebagai mahasiswi kedokteran, aku ingin mendapatkan IPK sempurna. Tentunya, keinginan tersebut dapat aku realisasikan dengan cara belajar secara cerdas. Aku sangat berharap supaya bisa lulus bersama dengan teman-teman seperjuanganku, FK UI 2023. Aku percaya kami semua tanpa terkecuali adalah putra-putri pilihan yang merupakan calon-calon dokter hebat di masa depan.


Demi menjadi seorang dokter yang hebat, tentunya aku harus dapat memenuhi standar ideal profesi. Seorang dokter yang ideal mesti menepati standar ideal profesi kedokteran. Selain itu, terdapat lima kriteria yang diusung oleh WHO yang disebut “Five-star Doctor”. Konsep ini sendiri merupakan kombinasi dari beberapa atribut penting: Penyedia pelayanan kesehatan; Pembuat keputusan; Komunikator; Pemimpin masyarakat; dan juga manajer. Sosok ‘five-star doctor’ diusung dengan angan supaya dapat menyediakan secara lengkap dan komplet pelayanan medis yang memenuhi kriteria dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan tertentu, seperti relevansi, efektivitas biaya, kualitas, dan ekuitas.[2]


Salah satu komponen vital untuk menjadi dokter yang ideal ialah harus dapat melakukan komunikasi bersama pasien dengan baik. Hal ini menjadi penting karena dengan melakukan komunikasi secara interaktif dengan pasien, seorang dokter dapat lebih mudah mengerti kondisi pasien tersebut dan menyimpulkan sebuah diagnosis. Dengan melakukan komunikasi secara aktif, dokter dapat sekaligus menunjukkan empatinya dan pasien dapat merasa diperhatikan. Seorang dokter yang baik juga patutnya memantau perkembangan pasiennya secara teratur dengan cara mengontrol pola minum obatnya dan juga secara kolaboratif memberikan nasihat yang bisa mempercepat proses pemulihan.[3]


Di luar dari kelima atribut yang sudah disebutkan sebelumnya, terdapat tiga komponen lain yang tidak kalah pentingnya. Seorang dokter yang baik juga semestinya menjunjung karakter 3K: Kesantunan, kesejawatan, dan kebersamaan. Selama mengabdi menjalankan tugas profesi, tentunya harus memiliki tutur kata dan bahasa tubuh yang baik. Dokter juga jangan pernah merasa cukup dan sudah sepatutnya terus belajar untuk meningkatkan performa kompetisi di bidang kedokteran. Kemudian, hendaklah seorang dokter dapat membangun interkonektivitas dengan pasiennya agar tercipta suasana yang nyaman bagi semua pihak.[4]


Peran dokter saat ini seharusnya tidak lagi inklusif hanya sebatas pengupaya penyehatan jasmani fisik, tetapi juga harus dapat memancarkan kecerdasan intelektualnya kepada warga setempat. Dokter tidak melulu berkutat soal penyakit. Pada dasarnya, di mana pun seorang dokter berada, ia adalah seorang pemimpin intelektual profesional. Dokter, yang dalam pengabdiannya berhadapan langsung dengan masyarakat, semestinya juga dapat berkontribusi untuk mengembangkan masyarakat dengan memberikan edukasi yang bermanfaat.[5]


Agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar lagi terhadap masyarakat, tentunya mimpiku tidak berhenti sampai menjadi dokter saja. Aku memiliki cita-cita besar untuk dapat melanjutkan pendidikanku sampai ke tahap pendidikan profesi dokter spesialis. Ini bukanlah sekadar cita-citaku saja, melainkan juga mimpi dan harapan orang tuaku kepadaku yang dengan senang hati dan antusias akan aku usahakan untuk terwujud. Aku berharap agar dalam setiap prosesku diberikan kemudahan dan kelancaran, supaya nantinya aku dapat berhasil menamatkan pendidikanku dan menjadi seorang dokter spesialis ideal yang kompeten untuk sekaligus menjadi advokat bagi mereka yang membutuhkan.


Pesan yang ingin aku sampaikan kepada para calon mahasiswa yang sedang memperjuangkan asanya adalah untuk jangan pernah merasa ragu dan takut untuk berjuang demi mimpi kamu, bahkan jika harus berkorban lebih besar dengan mengambil waktu tempuh yang lebih lama daripada teman-teman sebayamu. Percayalah kepada diri sendiri dan kuasa Tuhan, percayalah bahwa rencana Tuhan selalu baik dan tidak akan pernah meleset. Niscaya suatu saat nanti kamu akan berterima kasih kepada dirimu karena tidak menyerah terhadap keadaan kala itu. Semangat!




DAFTAR PUSTAKA

  1. Lutfia NZ. Nilai-nilai akhlak dalam al-qur’an (kajian tafsir surat Al-Insyirah 1-8) [dissertation]. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; 2019.

  2. Siddiqui F, Malik AA. Promoting self-regulated learning skills in medical students is the need of time. J Taibah Univ Med Sci [Internet]. 2019 May 3 [cited 2023 Aug 8];14(3): 277-281. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6694986/

  3. St. George’s University. What Makes a Good Doctor? 7 Surprisingly Useful Skills for Physicians [Internet]. 2018 April [updated 2021; cited 2023 Aug 8]. Available from: https://www.sgu.edu/blog/medical/what-makes-a-good-doctor/

  4. Rokom. 3 Karakter ini Harus Dimiliki Seorang Dokter [Internet]. Jakarta: Sehat Negeriku; 2018 Dec 15 [cited 2023 Aug 8]. Available from: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20181215/4928833/3-karakter-harus-dimiliki-seorang-dokter/

  5. Idibadung. Rekonstruksi Kepemimpinan Dokter Untuk Mewujudkan Indonesia Sehat Yang Berdaulat [Internet]. Ikatan Dokter Indonesia Badung; 2018 Oct 10 [cited 2023 Aug 8]. Available from: https://www.idibadung.or.id/index.php/baca-berita/362/Rekonstruksi-Kepemimpinan-Dokter-Untuk-Mewujudkan-Indonesia-Sehat-Yang-Berdaulat.html

 
 
 

Recent Posts

See All
Satria Dwi Nurcahya

NARASI PERJUANGAN Halo salam kenal semua! Perkenalkan nama saya Satria Dwi Nurcahya, biasa dipanggil Satria. Arti dari nama saya...

 
 
 
Algio Azriel Anwar

Narasi Perjuangan Halo perkenalkan, namaku Algio Azriel Anwar. saya adalah fakultas kedokteran program studi pendidikan kedokteran dari...

 
 
 
Tresna Winesa Eriska

Narasi Perjuangan “Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah...

 
 
 

Kommentare


© 2023 FKUI Gelora

bottom of page