top of page
  • Youtube
Search
  • William Matthew
  • Aug 12, 2023
  • 13 min read

Updated: Aug 13, 2023

Halo! Nama saya William Matthew. Karena seringkali orang bingung mau memanggil saya William atau Matthew, panggil saja WM. Saya mengenyam pendidikan SMA di SMAK 1 PENABUR Jakarta. Sekarang, saya adalah mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di program reguler yang diterima melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP).


Tanpa saya sadari, FKUI sudah ada di benak saya sejak awal SMA. Saya pernah diberikan satu tugas untuk membuat video autobiografi diri sendiri, di mana pada video tersebut saya harus menyertakan cita-cita saya. Tanpa alasan yang konkret, saya pun menjelaskan bahwa saya ingin menjadi seorang dokter dan berkuliah di Universitas Indonesia. Hal tersebut benar-benar seperti manifestasi atau doa yang tidak saya sadari.


Sudah bukan sebuah kejutan bahwa FKUI adalah fakultas kedokteran terbaik se-Indonesia, terbukti dengan berbagai fasilitas yang disediakan serta banyaknya pencapaian yang diraih oleh para mahasiswa dan alumni. Saya juga melihat FKUI sebagai sebuah keluarga besar berisikan orang-orang hebat dengan visi dasar yang sama – membantu orang lain. Jadi, sebenarnya tidak aneh saat saya (yang waktu itu masih tidak tahu ingin menjadi apa) menuliskan FKUI sebagai sebuah cita-cita yang ingin saya gapai.


Saya sangat ingin menjadi lulusan dokter dari perguruan tinggi kedokteran yang terbaik di Indonesia, yang tidak lain tidak bukan hanya ada di Universitas Indonesia. Saya juga sering mendengar bahwa komunitas di FKUI adalah komunitas yang amat suportif dan hangat, serta dipenuhi oleh orang-orang hebat. Sejauh ini, saya sudah sempat bertemu para anggota angkatan 2023 secara langsung dan bisa saya katakan bahwa pernyataan tersebut memang benar. Oleh karena semua faktor motivasi tersebut, saya pun terdorong untuk meneruskan pendidikan tinggi saya di FKUI.


Akan tetapi, perjalanan saya menjadi seorang dokter bisa dibilang tidak pernah terduga.


“Kamu mau jadi apa saat sudah besar?” Sejak kecil, saya tidak pernah sekali pun menjawab pertanyaan klise tersebut dengan kata “dokter”. Saya yang waktu itu memiliki “kebencian” terhadap ilmu pengetahuan alam selalu dengan percaya diri mengatakan bahwa saya tidak akan pernah kerja dalam bidang apa pun yang berhubungan dengan IPA. Rasa “benci IPA” itu rasanya terus menghinggapi tubuh saya. Dan sebenarnya, saya merasa nyaman saja dengan hal tersebut.


Hingga suatu hari, saat kelas 9, saya diajar oleh seorang guru Biologi. Beliau bukanlah guru dengan kemampuan mengajar yang paling menarik atau super anti-bosan. Akan tetapi, entah mengapa, beliau mampu membuat saya suka, dan bahkan bisa dibilang, jatuh cinta, dengan Biologi, terutama dengan yang berhubungan dengan manusia dan hewan. Oleh karenanya, saya pun memasuki masa SMA dengan rasa cinta yang benar-benar mendalam terhadap Biologi. Aneh, ya?


Selama kelas 10, saya selalu berkata saya ingin menjadi dokter, namun tanpa landasan yang jelas selain karena saya tiba-tiba jatuh cinta dengan Biologi. Tetapi sebenarnya, semua itu belum 100% dari hati nurani, hanya saya sebutkan sekadarnya saja, demi menjawab pertanyaan secara cepat.


Memasuki kelas 11 di mana pembelajaran mulai perlahan-lahan dilaksanakan secara tatap muka, saya mulai jauh lebih aktif dalam kegiatan di sekolah. Saya menjadi pengurus OSIS, anggota tim tari di sekolah, serta master of ceremony dalam berbagai acara sekolah. Saya juga tidak lupa mengikuti berbagai lomba, seperti olimpiade Bahasa Jerman, dan Lomba Cepat Tepat Biologi (LCTB). Di kelas, saya juga lebih aktif bertanya dan merespon pertanyaan guru, terutama saat kelas Biologi di mana pada materi kelas 11, saya sudah mulai mempelajari sistem-sistem organ dalam tubuh manusia. Biologi pun menjadi salah satu mata pelajaran dengan nilai tertinggi di rapor saya.


Akan tetapi, perjuangan saya tidak hanya terjadi di sekolah saja.


Suatu peristiwa terjadi di salah satu hari pada Februari 2022. Saat mengikuti pembelajaran daring, daerah perut saya tiba-tiba terasa amat perih, layaknya ditusuk-tusuk, dan tubuh saya seketika menjadi panas. Orang tua saya mengira, hal itu terjadi karena saya memakan cuka pempek lalu semangka secara konsekutif. Setelah mencoba meminum obat demam, rasa sakit itu bukannya hilang, malah bertambah. Demam, sakit perut, sakit selangkangan, muntah-muntah, tidak enak badan – semua saya alami pada hari itu.


Oleh karena itu, esok paginya, saya pun diantarkan ke rumah sakit untuk berkonsultasi kepada seorang dokter geriatri. Dokter tersebut pun mendiagnosa bahwa saya kemungkinan terkena tifus. Setelah saya diberikan beberapa obat, saya pun pulang dari rumah sakit dan mengonsumsi obat-obat tersebut. Namun, rasa sakit itu masih tidak mereda, bahkan hingga jam 22:00 WIB di hari yang sama.


Karena tidak tahan, saya langsung diantarkan oleh kedua orang tua saya menuju instalasi gawat darurat (IGD) salah satu rumah sakit. Saya pun dibawa ke ruang radiologi yang (puji Tuhan) hampir, namun belum tutup. Para dokter yang bertugas langsung melakukan ultrasonografi (USG) dan CT scan terhadap saya. Setelah melakukan kedua pemeriksaan radiologis tersebut, saya dibiarkan tertidur di salah satu ruangan IGD tersebut sambil menahan kesakitan yang terus menerus menyerang. Akhirnya, hasil pemeriksaan pun keluar dan, ternyata, saya dikonfirmasi terkena apendisitis, bahkan yang di mana apendiks saya sampai mengalami perforasi(1), yaitu kondisi di mana terdapat lubang pada apendiks sehingga membutuhkan tindakan operasi darurat sebelum menyebabkan komplikasi lainnya. Perforasi apendiks adalah komplikasi apendisitis akut yang dapat terjadi dengan risiko sebesar 2% di 36 jam pertama menderita apendisitis, dan meningkat sekitar 5% setiap 12 jam setelahnya(2).


Esok paginya, saya langsung bertemu dengan dua orang dokter – salah satunya dokter bedah, dan yang lainnya dokter anak, karena waktu itu saya masih berumur 16 tahun. Dokter bedah menjelaskan bahwa operasi yang akan dilakukan adalah apendektomi laparoskopi(3), yaitu prosedur pengangkatan usus buntu yang secara umum dianggap lebih baik daripada apendektomi terbuka, karena dapat meredakan rasa sakit setelah operasi dan mempercepat proses pemulihan. Setelah mendengar penjelasan tersebut, saya yang terlentang lelah di atas tempat tidur pasien pun didorong ke ruang operasi. Proses operasi diawali dengan memberikan saya anestesi, entah melalui apa, dan saya tiba-tiba langsung tertidur. Lelap. Sangat lelap. Saking lelapnya, saat saya bangun, ternyata sudah tidak ada siapapun depan mata – saya hanya dibiarkan tertidur di atas ranjang pasien di ruang observasi. Tidak ada sama sekali rasa dicincang skalpel.


Selama delapan hari masa penyembuhan di rumah sakit, kedua dokter yang mengurus saya selalu mengunjungi saya – sang dokter anak saat pagi hari, dan sang dokter bedah saat malam hari. Saat dokter bedah melepas “staples” yang ada pada jahitan operasi saya, entah mengapa saya tertarik dan tidak sama sekali merasa jijik, walaupun memang prosesnya agak perih dan geli. Saya juga melihat adanya tabung yang dipasang dari lokasi operasi serta cairan nanah yang keluar darinya. Semua hal itu betul-betul membuat saya tertarik. Selain itu, saya juga dapat melihat kepedulian yang para dokter dan perawat miliki untuk saya, dan hal tersebut sangat menyentuh hati saya. Kata-kata yang saya ingat diucapkan oleh dokter bedah adalah: “Nanti setelah kamu sudah buang angin, kamu makan saja pudding, beli di bawah, enak itu!”


Pengalaman itu bisa dibilang hal pertama yang membuat saya mulai meyakinkan diri untuk menjadi seorang dokter. Melihat empati yang diberikan para dokter, saya merasa ingin juga membantu orang lain menjadi kembali sehat dan bahagia.


Akhirnya, saya memasuki kelas 12. Meski berkesan, pengalaman apendisitis yang saya alami itu rasanya belum cukup untuk menetapkan kepastian ingin menjadi apa di masa depan dalam diri saya. Hal ini disebabkan oleh minat saya terhadap berbagai cabang ilmu yang cukup berbeda, yakni Biologi, Matematika, dan Bahasa, yang hanya membuat saya tambah bingung dan pusing akan apa yang harus saya tekuni kedepannya.


Pergumulan saya mengenai jurusan kuliah ini terus menghantui kepala saya. Menjadi dokter berarti saya harus mengorbankan tenaga, waktu, dan pikiran saya, sementara ada banyak sekali pekerjaan lain di mana saya bisa mendapat uang dengan lebih cepat. Tetapi di waktu yang sama, saya juga merasa terpanggil menjadi seorang dokter.


Maka dari itu, hampir setiap hari saya meminta konsultasi dengan guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah, berdiskusi dengan keluarga dan teman-teman, sekaligus berdoa kepada Tuhan agar diberikan petunjuk. Menjelang akhir semester 5 di SMA, saya mulai mendaftarkan diri di dua universitas ternama luar negeri. Akan tetapi, di waktu yang sama, saya masih terus menerus bimbang akan pilihan yang benar-benar akan saya ambil. Oleh sebab itu, saya sering bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, di manakah saya bisa merasakan damai? Apa yang Engkau rencanakan dalam hidup saya?”


Waktu tak terasa pun berlalu, dan sampailah saya di masa-masa Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Sekolah saya terlebih dahulu menjelaskan bahwa siswa-siswi yang ingin mengikuti jalur SNBP harus mengisi surat pernyataan agar tidak mengundurkan diri apabila diterima.


Hari terakhir pendataan sekolah pun tiba. Pagi hari itu saya seperti diberikan rasa damai, entah karena apa. Setelah menyelesaikan semua rangkaian kegiatan sekolah, saya pun menghampiri guru BK bersama-sama dengan tiga orang teman dekat saya untuk membahas keputusan terakhir yang akan saya tuju. Entah mengapa, teman-teman saya lebih percaya diri daripada saya bahwa saya akan menjadi dokter yang baik. Guru BK saya juga mengatakan, “Kamu jangan khawatir, WM. Kalau kamu memang suka dengan pekerjaan sebagai dokter, kamu pasti akan menikmati masa-masamu nanti. Rezeki mah di tangan Tuhan. Lihat ibu sekarang, sudah lama bekerja di sekolah ini sebagai guru BK, dan ibu selalu menikmati pekerjaan ibu.” Srek!


Perkataan guru BK juga menjadi salah satu motivasi saya ingin masuk FKUI. Setelah memikirkan segala alasan dan minat yang sudah ada di benak saya, lalu mendengarkan perkataan guru saya tersebut, saya menjadi sangat yakin. Sangat yakin untuk menekuni Biologi. Sangat yakin untuk mengabdi bagi masyarakat. Sangat yakin sudah diberikan rasa damai. Sangat yakin untuk menjadi seorang dokter. Dokter yang lulus dari universitas terbaik. Dokter yang lulus dari FKUI.


Saya pun mendaftarkan diri melalui jalur SNBP. Saya memilih jurusan Pendidikan Dokter di Universitas Indonesia sebagai pilihan pertama dan satu-satunya di laman SNPMB. Sejujurnya, meskipun saya mendapatkan peringkat satu eligible di sekolah saya, saya pasrah saja, diterima atau tidak, itu semua tergantung jalan Tuhan. Saya tidak terlalu berharap karena takut “kalah” dengan pendaftar-pendaftar SNBP lainnya yang memiliki sertifikat-sertifikat yang lebih “kuat” daripada yang saya cantumkan.


Selama menunggu, saya selalu melihat kalender dan menghitung berapa hari lagi menuju pengumuman SNBP. Bahkan saya menulisnya di bagian ujung papan tulis sekolah dan meng-updatenya setiap hari.


Tak terasa, 28 Maret 2023 pun tiba.


Biru. “SELAMAT”. Dan nama saya, terletak tepat di atas tulisan “Pendidikan Dokter (S1) Universitas Indonesia”.


Tepat saat layar itu muncul, motivasi dan keinginan saya menjadi seorang dokter dengan seketika meroket hingga 99%. Saya yakin bahwa diterimanya saya di FKUI adalah jalan dan rencana yang Tuhan sudah rancang bagi hidup saya, dan akhirnya saya sudah diberi kepastian akan apa yang akan saya jalani di masa depan, setidaknya dalam jangka waktu 5,5 tahun.


Namun, muncullah pertanyaan berikut dalam benak saya: bagaimana dengan passion saya dalam bidang bahasa? Itulah 1% misteri dalam diri saya yang masih belum terpenuhi. Saya tidak mau kemampuan yang dianugerahi Tuhan itu terbuang sia-sia. Akhirnya, setelah membaca beberapa artikel mengenai keterkaitan dunia kesehatan dan bahasa, saya menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut.


Jawabannya simpel. Komunikasi merupakan hal yang penting dalam dunia kesehatan. Akan tetapi, seringkali dapat terjadi language barrier atau kendala bahasa yang dapat menyebabkan miskomunikasi antara para tenaga medis dan pasien. Hal ini bisa membuat kualitas layanan kesehatan menjadi berkurang. Beberapa institusi kesehatan menggunakan pelayanan penerjemah bahasa yang dapat meningkatkan harga dan durasi, sehingga dianggap tidak efektif dan efisien(4). Oleh karena itu, saya sadar bahwa kemampuan saya untuk berbicara berbagai bahasa sangat bisa menjadi aset signifikan yang dapat saya gunakan dalam berkomunikasi bersama dengan pasien saat saya menjadi dokter kelak. Saya bisa menjadi dokter dan penerjemah (kedua cita-cita saya yang paling kuat) sekaligus! Sejak pertanyaan itu terjawab, saya semakin yakin bahwa jalan ini – jalan menjadi seorang dokter – adalah pilihan yang paling tepat bagi saya.


Selama sekolah, saya masih belum dewasa. Hal ini jelas terlihat dari sifat labil yang masih saya miliki saat harus menentukan pilihan. Saya juga masih merasa cukup kesulitan dalam bersosialisasi dengan orang-orang, bahkan dengan teman-teman sekelas saja, saya masih sering minder. Secara keseluruhan, selama masa SMA, saya seringkali tidak berani keluar dari zona nyaman.


Akan tetapi, saya sadar, sebagai seorang dokter, sangat penting bagi saya untuk melatih kemampuan berkomunikasi dan menentukan pilihan. Oleh karena itu, setelah saya diterima sebagai mahasiswa FKUI 2023, saya berkomitmen ingin menjadi pribadi yang lebih dewasa. Saya juga ingin menjadi seseorang yang lebih pandai berbicara dengan orang lain, mengenal banyak teman serta mempunyai teman-teman dekat untuk bermain dan belajar. Saya juga merasa memiliki tanggung jawab untuk berani melakukan banyak hal yang saya minati tanpa rasa takut atau pesimis, serta mulai keluar dari zona nyaman. Saya yang tidak suka berolahraga, tidur secara tidak teratur, dan mengadopsi pola makan yang dapat dipertanyakan adalah beberapa hal yang juga harus saya ubah. Untungnya, saya sepenuhnya sadar akan apa saja kelemahan yang saya miliki, sehingga saya bisa perlahan-lahan memperbaikinya demi menjadi lebih baik.


Seperti namanya, saya ingin agar FKUI 2023: GELORA dapat benar-benar bergelora – bergelora bersama menjadi angkatan yang solid dan saling suportif, serta saling membantu tanpa adanya diskriminasi. Saya berharap, setiap anggota GELORA bisa merasa bahwa dirinya sesungguhnya adalah bagian dari angkatan ini, sehingga ia akan merasa diapresiasi dan berharga. Jika ada 251 anak yang masuk FKUI 2023, akan ada 251 mahasiswa yang lulus pada tahun 2027 dengan gelar S.Ked!


Saya juga berharap, selama menjadi mahasiswa FKUI, saya akan bisa menjadi seorang individu, teman, mahasiswa, dan anak yang baik. Saya yakin bahwa hal tersebut sangat mungkin terjadi, karena sejauh ini saya merasa bahwa FKUI merupakan komunitas yang positif, hangat, dan suportif. Singkatnya, saya berjanji akan menjadi seorang calon dokter yang baik dan berdampak. (Jadi, apabila Anda merasa ada yang harus ditingkatkan dari diri saya, feel free to tell me!)


Bicara tentang seorang dokter yang baik, saya juga akan membahas mengenai pandangan saya tentang “dokter ideal”. Menurut salah satu artikel yang ditulis beberapa peneliti di Argentina pada tahun 2020(5), dari sudut pandang seorang pasien, seorang “dokter ideal” dapat diartikan sebagai “seorang dokter yang memiliki kualitas pribadi untuk hubungan intrapersonal, keterampilan teknis, serta niat baik”. Definisi tersebut sebenarnya cukup menggambarkan pandangan saya terkait dengan seorang dokter ideal. Akan tetapi, selain itu, saya juga menganggap bahwa seorang dokter ideal adalah seorang dokter yang tulus – tulus bekerja, mengabdi, dan melayani masyarakat. Seorang dokter yang tak berhenti menggali ilmu. Seorang dokter yang bisa memperbaiki kesehatan orang lain dan membuat para pasien sadar akan signifikansi keberadaan mereka di dunia. Seorang dokter yang juga tidak lupa menjaga kesehatan diri sendiri.


Empati – nilai luhur pertama yang harus dimiliki seorang dokter ideal; dasar terbentuknya seorang dokter. Seorang dokter harus dapat “hidup” dalam perasaan yang dialami seorang pasien dan keluarganya. Ia harus dapat memahami dengan baik situasi yang dirasakan oleh pihak pasien, baik secara jasmani maupun emosional, sebelum membuat sebuah keputusan. Dengan adanya empati yang kuat, saya yakin dapat terbentuk rasa tulus dan ikhlas yang baik terhadap seluruh pihak pasien.


Selain hubungan antara dokter dan pasien, nilai luhur lain yang harus ada pada diri seorang dokter ideal antara lain adalah rasa kesejawatan. Nilai tersebut sangat penting karena seorang dokter harus dapat menghargai dan menghormati, serta bekerja sama dengan para sejawatnya. Oleh karena itu, selama di FKUI, saya berharap agar dapat berteman akrab dan berkenalan dengan banyak mahasiswa FKUI, baik yang merupakan alumni, kakak tingkat, anggota angkatan 2023, hingga adik tingkat. Dengan begitu, saya dapat memupuk nilai kesejawatan dalam diri saya secara perlahan.


Dengan dilandaskan empati dan kesejawatan, nilai-nilai luhur lain dapat timbul dengan sendirinya. Nilai-nilai luhur lain seperti kepedulian, kekeluargaan, dan keadilan dapat pula muncul dalam diri seorang dokter ideal, dan nilai-nilai ini harus dapat diimplementasikan dan dimanfaatkan secara maksimal dalam kehidupan masyarakat. Seorang dokter ideal tak hanya harus menerapkan kemampuan teknis yang baik dalam kegiatan klinis, namun juga harus dapat membangun hubungan intrapersonal dengan masyarakat awam, agar dapat berkontribusi memberikan edukasi serta pelayanan kesehatan. Hal ini harus dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai luhur serta etika-etika yang wajib dipatuhi dalam dunia kedokteran.


Saya ingin menjadi seorang dokter yang seru. Ya, saya mau berbicara dengan asik dengan pasien agar ia merasa bahagia dan tenang, karena saya percaya bahwa hati yang gembira adalah obat yang manjur. Niscaya, saya tetap menjaga etika yang baik sebagai seorang dokter. Selain itu, saya juga mau menjadi seorang dokter yang tahu apa yang saya lakukan. Saya mau dapat mendiagnosa penyakit dengan akurat dan memberikan obat yang sesuai agar pasien saya di masa depan dapat kembali bebas dari penyakit. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk setiap pasien saya, tanpa memandang latar belakang apa pun.


Rencana yang saya ingin capai selama masa preklinik mungkin bisa dibilang klise – mendapatkan IPK 3,7 ke atas, aktif berorganisasi, dan mengikuti lomba-lomba. Untuk mencapai hal tersebut, tentunya dibutuhkan satu hal utama: manajemen waktu. Saya harus belajar mengerjakan hal-hal sesuai dengan tingkat prioritas, dan akhir-akhir ini, saya sering berpedoman pada Eisenhower’s Time Management Matrix, di mana saya mengelompokkan kegiatan-kegiatan yang harus saya lakukan berdasarkan kepentingan dan urgensinya.


Selain itu, tujuan saya yang tak kalah pentingnya adalah riset. Meskipun saya memang belum pernah melakukan penelitian apapun dalam bidang kesehatan, saya percaya bahwa saya akan sangat semangat dalam menjalankan riset, baik dengan tujuan perlombaan maupun studi. Saya akan terus mencari tahu seputar proses penelitian ilmiah melalui berbagai sumber yang tersedia, agar saya bisa menggapai tujuan ini.


Kemudian, saya juga ingin mengikuti berbagai komunitas dan badan yang tersedia di FKUI di mana saya bisa mendapat banyak teman baru dan pengalaman berharga. Untuk saat ini, saya tertarik mengikuti BEM FKUI, yang sebenarnya saya anggap sangat keren. Saya juga ingin mendaftarkan diri dalam badan-badan seperti AMSA atau CIMSA, karena saya yakin dengan begitu, saya dapat meningkatkan prestasi, menambah koneksi, serta mendapatkan segudang pengalaman yang bermanfaat bagi saya kedepannya.


Saya mau mencoba ikut serta dalam berbagai kegiatan sosial, seperti mengunjungi daerah-daerah yang belum mempunyai fasilitas kesehatan yang memadai. Saya rasa hal ini merupakan hal yang harus saya lakukan, karena memang tujuan awal saya menjadi seorang dokter adalah membantu dan menjadi dampak. Saya mau membantu orang yang membutuhkan bantuan, dan menjadi dampak positif bagi orang yang membutuhkan dampak itu.


Tentunya, saya juga mau mempunyai teman-teman yang benar-benar dekat dan bisa diajak beraktivitas bersama, dari belajar hingga main. Saya mengambil sebuah kutipan dari salah satu buku favorit saya, yaitu When Breath Becomes Air(6), yang ditulis oleh seorang residen bedah saraf, Paul Kalanithi, di mana ia berkata: “Human knowledge is never contained in one person. It grows from the relationships we create between each other and the world, and still it is never complete.” Selain itu, saya memiliki hobi menari, sehingga apabila memungkinkan, saya juga ingin tampil di depan para mahasiswa FKUI (pastinya bersama-sama dengan para penari lainnya di FKUI), agar saya juga dapat menghibur teman-teman yang juga berkuliah di FKUI!


Saya tahu, semua hal tersebut mungkin terdengar cukup idealis. Akan tetapi, saya akan senantiasa berusaha melakukan semaksimal mungkin, karena saya percaya bahwa saya akan sangat menikmati perjalanan saya selama preklinik. Akhirnya, saya ingin lulus sebagai Sarjana Kedokteran yang berdampak bagi keluarga, teman, dosen, dan masyarakat luas.


Setelah menyelesaikan preklinik, tentunya saya akan menjalankan program koas. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan pengalaman melalui setiap stase yang ada, sekaligus menggali informasi terkait dengan kuliah magister atau spesialis (S2) yang ingin saya lakukan. Selain itu, saya ingin mengumpulkan pengalaman dalam bidang klinis, karena saya sangat yakin bahwa pengalaman memang adalah guru. Karena saya adalah orang yang suka mengajar, ada pula kemungkinan di mana saya akan membuka bimbel kedokteran, membuka kanal YouTube seputar materi kedokteran, atau alternatif lain sebagainya.


Tentunya, saya tidak melupakan keinginan saya untuk mengabdi bagi kesehatan masyarakat. Melihat tidak meratanya pelayanan kesehatan yang ada, saya termotivasi untuk melakukan perjalanan atau kunjungan sosial di berbagai daerah di pelosok Indonesia yang masih mengalami kekurangan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang memadai. Apabila memungkinkan, saya akan mencoba melaksanakan program internship yang kelak akan saya jalani di daerah yang membutuhkan bantuan saya, atau setidaknya, saya mau mengikuti program-program di mana saya akan menetap di suatu daerah selama beberapa hari atau minggu untuk menyediakan layanan kesehatan sesuai kebutuhan warga setempat. Tidak akan pernah lelah saya menulis bahwa saya benar-benar ingin membawa dan menjadi dampak positif kepada masyarakat.


Bagi semua teman-teman yang mau masuk FKUI, semangat dan jangan menyerah, ya! Selama SMA, pikirkanlah sematang-matangnya, karena memang bukan suatu kebohongan bahwa menjadi dokter itu membutuhkan proses yang panjang. Pertimbangkan dari jauh-jauh hari tentang segala peluang dan opsi yang ada, dan, yang tidak kalah penting, minat pribadi! Selama perjalanan di FKUI dan proses menjadi seorang dokter kelak, teman-teman akan memulai perjalanan sebagai pembelajar seumur hidup, baik secara akademis maupun sosial. Oleh karena itu, mintalah pertolongan dari Tuhan agar diberikan jalan yang terbaik! Saya sendiri mengalami betapa besar pertolongan Tuhan dalam perjuangan saya untuk akhirnya menjadi mahasiswa FKUI 2023.


Jika teman-teman sudah meyakinkan diri ingin melanjutkan pendidikan di FKUI, semangat! Teruslah berjuang untuk mencapai mimpi teman-teman yang mulia ini! Seperti kata pepatah, banyak jalan menuju Roma, jadi teman-teman tidak perlu terlalu khawatir, saya yakin teman-teman pasti bisa.


Saya sangat tidak sabar ingin memulai perjalanan saya mengeksplorasi berbagai bagian dari dunia kesehatan! Untuk saya yang ada di masa depan, teruslah berjuang agar kamu bisa mencapai cita-citamu yang mulia itu, dan selalu percaya dan andalkan Tuhan dalam setiap hal yang kamu lakukan. Saya percaya, kamu pasti bisa menjadi lebih baik, hari demi hari.



Referensi


  1. Wang AW, Prieto J, Ikeda DS, Lewis PR, Benzer EM, Van Gent J. Perforated appendicitis: an unintended consequence during the coronavirus-19 pandemic. Military Medicine [Internet]. 2020 Dec 4 [cited 2023 Aug 7];186(1-2):e94-e97. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7798865/.

  2. Jones MW, Lopez RA, Deppen JG. Appendicitis [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan. [updated 2023 Apr 24; cited 2023 Aug 8]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/.

  3. Jaschinski T, Mosch CG, Eikermann M, Neugebauer EA, Sauerland S; Cochrane Colorectal Cancer Group. Laparoscopic versus open surgery for suspected appendicitis. Cochrane Database Syst Rev [Internet]. 2018 Nov 28 [cited 2023 Aug 8];11(11):CD001546. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6517145/.

  4. Al Shamsi H, Almutairi AG, Al Mashrafi S, Al Kalbani T. Implications of language barriers for healthcare: a systematic review. Oman Med J. [Internet]. 2020 Apr 30 [cited 2023 Aug 7];35(2):e122. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7201401/.

  5. Borracci RA, Gallesio JM, Ciambrone G, Matayoshi C, Rossi F, Cabrera S. What patients consider to be a ‘good’ doctor, and what doctors consider to be a ‘good’ patient. Rev Med Chil [Internet]. 2020 Jul [cited 2023 Aug 8];148(7):930-938. Available from: https://www.scielo.cl/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0034-98872020000700930&lng=en&nrm=iso&tlng=en.

  6. Kalanithi P. When breath becomes air. London: Vintage; 2017.

 
 
 

Recent Posts

See All
Satria Dwi Nurcahya

NARASI PERJUANGAN Halo salam kenal semua! Perkenalkan nama saya Satria Dwi Nurcahya, biasa dipanggil Satria. Arti dari nama saya...

 
 
 
Algio Azriel Anwar

Narasi Perjuangan Halo perkenalkan, namaku Algio Azriel Anwar. saya adalah fakultas kedokteran program studi pendidikan kedokteran dari...

 
 
 
Tresna Winesa Eriska

Narasi Perjuangan “Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah...

 
 
 

Comments


© 2023 FKUI Gelora

bottom of page