top of page
  • Youtube
Search
  • Shafiya Nurah Tsurayya
  • Aug 12, 2023
  • 11 min read

Narasi Perjuangan


Hai semuanya! Perkenalkan nama saya Shafiya Nurah Tsurayya. Saya kerap dipanggil dengan berbagai macam nama panggilan, namun yang paling sering saya dengar adalah Shafiya atau Fiya. Saya berasal dari SMAN 1 Selong, Lombok Timur, NTB. Saya merupakan seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kelas reguler. Sewaktu kecil, ketika orang-orang bertanya cita-cita saya apa, tanpa pikiran apa pun saya menjawab dokter. Mungkin karena bunda saya bekerja di lingkungan kesehatan dan yang familiar di telinga saya kala itu adalah dokter, perawat, bidan, dan profesi sejenisnya sehingga saya pilih acak saja cita-cita saya saat itu.


Pada suatu waktu di tahun 2015, guru saya memberi tahu saya tentang Lomba Dokter Kecil yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Saya yang memang suka berkegiatan khususnya yang terkait dengan berbicara di depan umum, tentu saja antusias ketika ditawarkan untuk menjadi perwakilan sekolah di tingkat Kabupaten. Dengan berbekal beberapa materi yang diberikan, Fiya kecil yang berumur 10 tahun ternyata berhasil melaju hingga tingkat nasional. Masih teringat jelas memori saat mempresentasikan anatomi dan fisiologi mata versi anak kelas 5 SD dan sosialisasi rokok di depan para juri. Bagaimana bisa saya lupa? Ketika ditanya cara mematikan rokok saja, saya jawab dengan air. Tapi saya menjalani semua kegiatan dengan gembira karena dapat belajar hal-hal baru. Lalu apakah setelah mengikuti lomba tersebut saya sudah memantapkan diri untuk menjadi dokter? Terpikir pun bahkan tidak.


Setelah lulus dari SDIT Nurul Fikri Selong, saya melanjutkan pendidikan ke MTsN 1 Selong. Saat saya duduk di bangku MTs yang setara dengan SMP, saya memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Saya mengikuti banyak ekstrakurikuler dan berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai kelas. Jarang sekali saya berdiam di kelas selama menjalani masa MTs. Setelah 3 tahun berproses di MTs, apakah saya sudah memiliki gambaran masa depan saya? Apakah saya tahu saya mau jadi apa? Ternyata tetap buram, tidak tahu.


Kemudian saya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di SMAN 1 Selong. Perjalanan putih abu ternyata jauh dari ekspektasi saya. Entah memang realitanya kehidupan SMA seperti itu atau karena Covid-19 yang mewabah saat itu. Ketika mulai memasuki masa putih abu, ayah saya bertanya cita-cita saya apa. Saya menjawabnya dengan jawaban legend saya, dokter. Sebenarnya ayah dan bunda saya sudah tahu, bahwa sejak kecil saya bercita-cita menjadi dokter. Namun, mereka ingin memastikan kembali apakah itu adalah jalan yang benar-benar saya pilih. Jujur, ketika menjawab dokter saat itu, saya tidak tahu apakah benar jiwa dan raga saya memang berniat dan berminat menjadi dokter. Sempat terlintas pikiran konyol kala itu, alasan masa SMA dinamakan putih abu itu karena masa depannya masih abu-abu ya? Setelah mendengar jawaban anaknya, ayah saya kemudian memberikan beberapa kalimat nasehat untuk saya. Kalau memang mau menjadi dokter, harus fokus pada tujuan dan mengurangi kegiatan ekstrakurikuler. Saat itu ayah saya mencoba membuat saya mengerti, bahwa dunia SMA jauh berbeda dengan MTs dan persaingan masuk kuliah itu benar-benar ketat.


Setelah virus Covid-19 mewabah, pandemi mengubah total kepribadian saya. Dari pecinta keramaian menjadi berdamai dengan kesepian dan berteman dengan kesendirian. Awal masa pandemi saya jalani dengan pola keseharian yang sama, belajar, ibadah, makan, dan tidur. Di tengah pola kehidupan yang berulang ditemani kesepian tersebut, saya menemukan hobi baru yang tidak saya sangka berperan penting dalam perjalanan kehidupan saya selanjutnya, menonton. Awalnya saya menonton drama Korea saja, namun meluas menjadi drama China, series barat, series Thailand, film-film Indonesia, dan lain-lain. Setelah menonton partner for justice, drama Korea yang berfokus pada dunia forensik, ketertarikan saya pada dunia kedokteran menjadi kuat. Setelah menonton beberapa drama, series, dan film lain terkait kedokteran seperti hospital playlist, grey’s anatomy, dan good doctors, akhirnya saya mulai sedikit yakin bahwa memang benar cita-cita saya menjadi dokter. Tapi tentu saja keyakinan tersebut tidak akan menjadi sangat kuat tanpa campur tangan orang tua, adik, keluarga, guru, dan teman-teman. Dalam 3 tahun perjalanan masa SMA, mereka adalah orang-orang yang terus menumbuhkan motivasi dan menguatkan keyakinan saya untuk menjadi dokter. Ayah yang selalu mengirim artikel-artikel dan video-video yang bisa memotivasi diri saya dan juga menjadi konselor kehidupan saya, adik yang selalu mencerahkan hari-hari saya, keluarga yang selalu mendoakan saya, bapak-ibu guru yang selalu berbagi pengalaman mengajar dan mengisahkan kisah kakak-kakak alumni, dan ada juga teman yang mengobarkan semangat saya untuk belajar biologi, padahal sebelumnya saya sering mengantuk saat belajar di lab biologi. Di tengah semangat yang membara itu, tentu saja ada momen-momen dimana saya kurang motivasi, rendah diri, dan pesimis. Dokter itu tanggung jawabnya besar. Bukan hanya sekedar pekerjaan yang memenuhi impian, tapi merupakan pengabdian seumur hidup kepada sesama umat manusia. Apakah saya manusia biasa yang masih lemah ini bisa menanggung tanggung jawab sebesar itu? Tapi ternyata saya masuk ke dalam daftar orang-orang beruntung yang diciptakan Tuhan. Saya memiliki keluarga, guru, dan teman-teman yang selalu memberikan berbagai dukungan.


Saat MTs dulu, saya mengikuti klub Matematika dan sering ikut Olimpiade Matematika. Namun saat SMA, saya mencoba masuk ke bidang Kimia yang saya pikir agak relevan dengan cita-cita saya. Kenapa bukan Biologi? Setelah meninggalkan klub matematika yang sudah 3 tahun saya ikuti, saya tidak bisa meninggalkan kecintaan saya pada hitung-hitungan. Selain itu, guru saya bercerita, banyak alumni sekolah saya yang menjadi mahasiswa kedokteran dulunya merupakan anggota klub Kimia. Selain klub Kimia, saya juga mengikuti klub Bahasa Inggris. Saya mengikuti lomba-lomba story telling untuk menyalurkan hobi sekaligus sebagai penghilang penat saya. Saat itu, perlombaan masih dilaksanakan secara daring sehingga beberapa kali kami syuting video di tempat-tempat yang indah seperti danau dan hutan.


Saat SMA, saya sadar betul, bahwa masuk Universitas terbaik di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Ada ribuan anak lain yang menggantungkan harapan dan mimpi yang sama dengan saya. Ribuan orang meneteskan keringat dan air mata untuk tujuan yang sama seperti saya. Oleh karena itu, sejak kelas 10 saya mulai belajar UTBK. Hingga pada satu hari diumumkan TKA dihapus, saya bingung dan sedih. Selama 2 tahun lebih, saya lebih sering belajar dan lebih fokus pada TKA daripada TPS. Tapi tentu saja kebingungan itu tidak boleh dibiarkan berlama-lama, saya langsung mengeluarkan semua buku TKA dari lemari saya dan menyisakan buku TPS. Saat pengumuman daftar siswa eligible, saya sangat bersyukur bisa mendapat peringkat paralel 1. Tapi saya tidak terlalu berharap dengan SNBP. Bagi saya UI sangat jauh di atas sana, sehingga saya tidak menggantungkan harapan yang begitu besar di jalur SNBP. Di semester 6, saya lebih intens belajar SNBT dan mengikuti berbagai Try Out. Di saat jam istirahat, saya dan salah satu teman saya mengerjakan soal SNBT. Hampir semua waktu kosong di kelas yang sebelumnya saya habiskan dengan membaca novel di perpustakaan, di semester 6 saya gunakan untuk latihan soal SNBT. Hari-hari puasa pun saya jalani dengan tenggelam di dalam soal-soal SNBT.


Tidak terasa kalender sudah menunjukkan tanggal 28 Maret, hari pengumuman SNBP. Hari itu, saya tetap belajar SNBT dari pagi. Bahkan detik-detik mendekati pengumuman, saya masih mengikuti live teaching persiapan SNBT. Sore itu, saya memiliki jadwal ke dokter gigi. Saya bilang ke ayah saya untuk menunggu saya agar kami bisa membuka pengumuman bersama. Selama perjalanan ke dokter, sambil melihat langit saya tersenyum. Tidak ada kegundahan sama sekali di diri saya saat itu. Saya merasa aneh karena saya adalah tipikal orang yang sangat mudah gugup saat ada pengumuman. Sore itu sepertinya saya ikhlas atas apa pun keputusan yang ada. Kalau diterima Alhamdulillah, kalau tidak diterima berarti Tuhan ingin melihat peluh keringat dan butiran air mata saya lagi. Benar-benar sore yang tenang. Saat saya pulang dari dokter, ayah saya sudah berada di halaman rumah. Dia memberitahukan teman-teman saya yang lolos di jalur SNBP dan tiba-tiba kemudian menyebutkan nama saya. Saya diam, bingung. Rencana Tuhan memang benar-benar tidak bisa diprediksi. Alhamdulillah, saya melihat kata selamat di pengumuman tersebut. Saya benar-benar tidak menduga akan diterima dan merasa sangat bersyukur. Terbayang wajah Bunda saya di surga, dia pasti sedang tersenyum kan?


Mengapa kala itu saya sangat yakin memilih FK UI? Mengapa harus jauh-jauh dari Lombok ke UI? Pertanyaan yang jauh lebih mudah dijawab daripada menjawab pertanyaan mengapa saya menjadi dokter. Saya tidak mau berkuliah di pulau Lombok karena ingin keluar dari zona nyaman saya. Kata teman saya yang memiliki pemikiran yang sama, jangan menjadi kura-kura dalam tempurungnya. Saya akan keluar dari pulau tercinta saya untuk mengenyam pendidikan dan mencari pengalaman. Mengapa harus di UI? Bertahun-tahun kita diajarkan sejarah bangsa ini. STOVIA, kata yang sudah sangat lazim kita dengarkan. Para alumninya telah menciptakan guratan sejarah yang indah. Para alumni STOVIA mengajarkan kita arti dokter sesungguhnya, yaitu pengabdian abadi untuk sesama umat manusia. Motivasi berkuliah di UI semakin kuat ketika saya menemukan cuplikan potongan film Habibie & Ainun 3, “Memangnya ada sekolah kedokteran yang bagus selain disini (di UI)?” ujar salah satu teman Ainun. Potongan film yang terus terngiang-ngiang di kepala saya hingga saat ini.


Setelah masuk dan menempuh pendidikan di Universitas Indonesia, saya berkomitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Selain itu, hal yang harus terus saya tingkatkan yaitu kepedulian terhadap sesama. Hal yang terlihat sangat sepele, namun nyatanya budaya tersebut sudah mulai terkikis oleh zaman. Setelah menjalani kehidupan di FK UI, saya harus menjadi definisi dewasa yang sesungguhnya. Bukan hanya dewasa karena umur, namun dalam definisi sebagai manusia yang bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil dalam hidup. Komitmen perubahan terbesar yang akan saya lakukan adalah untuk melepaskan masa ‘bermain’ dan masa ‘dependen’ saya. Saya sadar dan memang harus sadar bahwa ketika saya berkomitmen menjadi dokter, tujuan hidup saya bukanlah imajinasi-imajinasi yang saya buat setelah menonton film dan drama dulu, melainkan dedikasi abadi untuk melayani keluarga, guru, teman-teman, masyarakat, dan seluruh umat manusia.


Saya berharap saya dapat mewujudkan cita-cita saya dan menjadi manusia yang memiliki banyak manfaat bagi orang lain. Bermanfaat bukan hanya dalam pekerjaan utama sehari-hari saya, namun saya harap saya dapat menemukan hobi yang juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Saya tahu bahwa saya bukan satu-satunya orang yang menggantungkan harapan tersebut, tetapi juga teman-teman FK UI Gelora Angkatan 2023 lainnya juga menggantungkan harapan yang serupa. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan dan harapan kita tersebut, FK UI Gelora Angkatan 2023 harus terus menjaga solidaritas. Bukan hanya solid sebagai rekan, tapi merasa bahwa kita semua adalah keluarga yang berjalan bersama untuk satu tujuan utama, mengabdi untuk masyarakat. Meskipun kita akan memiliki rintangan yang berbeda dalam tempo yang berbeda dan bahkan visi misi yang berbeda, tapi jika kita saling merangkul, angkatan kita akan mampu menciptakan sinergi hebat untuk memajukan kesejahteraan umat manusia. Bukan hanya memperbaiki kualitas kesehatan, tetapi dengan kerja sama yang baik, bukan tidak mungkin bagi kita untuk menaikkan angka harapan hidup bagi umat manusia.


Dalam perjalanan menumbuhkan motivasi menjadi seorang dokter, tentu saya memiliki pandangan dan standar tersendiri dokter yang ideal itu seperti apa. Dokter ideal dalam pandangan saya adalah dokter yang dapat memberikan kenyamanan bagi pasiennya. Menurut saya, kenyamanan adalah satu kata yang merangkum segala hal yang dibutuhkan oleh orang-orang. Orang-orang dapat nyaman melakukan aktivitas sehari-hari dan nyaman menggunakan setiap detik hidup mereka. Hal yang masih mengganggu saya setiap kali saya ke dokter adalah waktu. Jujur, sampai saat ini saya juga masih mengherankan hal tersebut. Bukankah semua tenaga kesehatan bersaing bahkan saling mengejar dengan waktu? Jadi, ketika pertama kali mendengar dokter ideal, hal yang pertama kali muncul dalam benak saya adalah waktu. Dokter ideal adalah dokter yang sangat menghargai waktu. Profesi dokter memang sangat sibuk dan beberapa dokter bekerja di beberapa tempat sehingga mungkin terlambat saat praktik. Namun tentu mereka harus mengatur waktu mereka sebaik mungkin. Oleh karena itu, dokter yang baik harus memiliki time management yang baik. Selain waktu, ada pemikiran yang harus dimiliki dokter yang baik. Dokter yang baik atau dokter ideal adalah dokter yang sadar bahwa semua umat manusia adalah pasiennya. Kata pasien bukan hanya didefinisikan secara umum seperti definisi berdasarkan KBBI bahwa pasien merupakan orang sakit (yang dirawat dokter)[1], tapi semua umat manusia di muka bumi ini juga merupakan pasien bagi seorang dokter. Dokter tidak hanya merawat orang sakit yang datang ke rumah sakit, puskesmas, atau klinik, tetapi juga harus merawat orang-orang sekitarnya yang membutuhkan. Dokter yang ideal tidak hanya merawat pasien, tetapi juga mengedukasi masyarakat dan terus berinovasi untuk meningkatkan kualitas kesehatan yang lebih baik bagi umat manusia.


Dari definisi dan gambaran tentang dokter ideal tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai luhur yang harus dimiliki seorang dokter adalah disiplin, tanggung jawab, dan berdedikasi. Dokter harus dapat mempertanggungjawabkan setiap waktu yang dihabiskan dan setiap tindakan yang dilakukan. Dokter erat sekali kaitannya dengan kata ‘dedikasi’. Sejak pertama kali manusia menentukan pilihannya untuk menjadi seorang dokter, ia sudah harus menyerahkan waktu dan tenaganya untuk mengabdi dan melayani masyarakat. Memang tidak dapat disangkal, tujuan seseorang berprofesi sebagai dokter juga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun jika tujuan utama seorang dokter adalah nafkah dan bukan untuk berdedikasi, lalu kapan kualitas kesehatan masyarakat akan meningkat?

Kelak, ketika saya sudah berhasil menyematkan kata dokter di nama saya, saya harus melekatkan nilai-nilai luhur dokter ideal tersebut pada kepribadian saya. Saya akan menjadi dokter dengan definisi dokter ideal yang selama ini saya pegang. Dengan menjadi dokter yang disiplin, bertanggung jawab, berdedikasi, dan inovatif, maka saya dapat mencapai harapan dan tujuan utama saya yaitu memiliki sebanyak-banyaknya manfaat bagi umat manusia. Selain menjadi implementasi dari dokter ideal, saya ingin menjadi sosok dokter yang selalu membuat saya takjub yaitu dokter yang berwawasan luas dan kaya akan pengalaman.


Di masa preklinik nanti, saya berharap saya dapat segera memulai mewujudkan harapan saya yaitu menjadi dokter yang berwawasan luas. Selain itu, hal yang menjadi sangat esensial di era sekarang ini adalah menjalin pertemanan yang luas. Untuk mencapai harapan-harapan dan tujuan-tujuan tersebut, saya akan mengikuti kegiatan-kegiatan akademik maupun non-akademik. Semakin banyak menjalin pertemanan, semakin banyak pelajaran dan motivasi hidup yang bisa saya dapatkan. Berinteraksi dengan banyak teman bahkan bisa mebantu saya memperluas wawasan dan memperkaya pengalaman. Setiap orang menjalani hidup yang berbeda dan berasal dari latar belakang yang berbeda sehingga kita bisa saling belajar tentang budaya, bertukar gagasan, berbagi berbagai pengalaman, atau sekedar menceritakan sedikit kisah hidup sebagai motivasi bagi satu sama lain.


Di masa klinik nanti, saya ingin terus memperluas wawasan saya dan meningkatkan skill saya. Masa klinik merupakan masa yang tepat untuk meningkatkan skill dan saya harus memanfaatkan masa tersebut dengan sangat baik. Saya juga harus belajar untuk berkolaborasi dengan baik dengan tenaga kesehatan lainnya. Setelah menjadi dokter, saya sangat ingin meningkatkan kualitas hidup manusia khususnya masyarakat Indonesia. Saya tidak perlu jauh-jauh mengelilingi Indonesia karena saya dapat memulainya dari desa-desa di kota saya. Keinginan ini bersumber dari permasalahan kekurangan dokter di Indonesia. Menurut data World Health Organization (WHO), pada 2021, Indonesia hanya memiliki rasio 6,95 dokter per 10.000 penduduk. Sementara idealnya, per 10 dokter itu untuk 10.000 penduduk, atau 1 dokter untuk 1.000 penduduk. Artinya, angka kebutuhan dokter di Indonesia masih di bawah standar[2]. Selain itu, masih banyak permasalahan umum yang tidak kunjung selesai seperti kasus penyakit anemia dan stunting. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, tercatat sebesar 26,8% anak usia 5-14 tahun menderita anemia dan 32% pada usia 15-24 tahun. Remaja putri yang anemia berisiko menjadi wanita usia subur yang anemia yang kemudian selanjutnya menjadi ibu anemia yang dapat mengalami kekurangan energi kronis saat hamil dan bisa meningkatkan kemungkinan melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dan stunting[3]. Sebagai dokter yang mengabdi pada masyarakat, tentu saja harus ditemukan solusi agar angka kasus-kasus tersebut dapat ditekan. Saya juga ingin menemukan beberapa metode pengobatan yang lebih mudah dilakukan atau obat-obatan yang lebih mudah didapatkan agar masyarakat di tempat yang tidak dapat menjangkau fasilitas kesehatan tidak perlu khawatir akan biaya, transportasi, dan waktu. Untuk merealisasikan mimpi-mimpi yang idealis tersebut, saya perlu meluangkan waktu untuk melakukan riset. Rencana terakhir yang saya harapkan dan usahakan untuk terealisasi adalah berinovasi untuk ikut membantu pemulihan penyakit lupus. Manifestasi klinis penyakit lupus menyerupai banyak penyakit lain, sehingga penyakit lupus juga dikenal dengan istilah penyakit seribu wajah. Beberapa penderita hanya memiliki sedikit gejala, sementara yang lainnya muncul dengan banyak gejala. Gejala dapat hilang timbul[4]. Walaupun rencana tersebut terlihat akan sangat sulit direalisasikan, tapi saya tidak ingin apa yang bunda saya alami terjadi pada orang lain dan mereka dapat selamat dari diagnosa terlambat penyakit seribu wajah ini.


Tentu dokter dan tenaga kesehatan lainnya bukan pion tunggal dalam meningkatkan kualitas kesehatan, dibutuhkan juga atensi dan partisipasi masyarakat. Saya berharap di era globalisasi ini masyarakat tidak langsung menyerap segala informasi yang ada khususnya yang terkait dengan kesehatan. Hal yang masih sering terjadi hingga saat ini adalah self-diagnosis. Self-diagnosis adalah bagaimana kita mendiagnosis diri sendiri terkena suatu penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi di internet yang berkaitan dengan keluhan tersebut. Padahal informasi yang tersedia di internet seringkali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis atau tidak evidence-based medicine[5]. Saya berharap, masyarakat dapat lebih mempercayai tenaga kesehatan. Semoga masyarakat rajin mengikuti sosialisasi dan merealisasikannya dalam kehidupan nyata.


Kalimat-kalimat terakhir saya tujukan untuk para pejuang kedokteran khususnya pejuang FK UI di luar sana. Janganlah takut dan ragu untuk bermimpi. Namun, wujudkanlah mimpi tersebut dengan aksi karena tidak ada yang tidak mungkin. Masuk ke FK UI bukanlah hal yang mudah karena ribuan orang lain juga meneteskan keringat dan air mata serta menggantungkan harapan yang sama. Jangan lupa berdoa kepada Tuhan yang maha kuasa, sang perencana terbaik. Pesan yang selalu ayah saya ingatkan setiap hari hingga detik ini adalah rajin beribadah dan selalu mengingat Tuhan. Jangan hanya beribadah ketika ada keinginan saja. Berdoa dan bersyukur kepada Tuhan tetap harus dilakukan setiap hari bahkan ketika berada di situasi dimana kita mendapat penolakan atau penerimaan. Satu pesan terakhir dari saya, ketika kalian menjatuhkan pilihan pada kedokteran, saya berharap itu benar-benar kemauan dan tekad kalian karena yang dibutuhkan oleh mahasiswa kedokteran adalah niat, tekad, semangat, dan dedikasi yang tinggi. Jangan sekali-sekali masuk kedokteran hanya karena teman-teman kalian banyak yang ingin masuk kedokteran karena kita sebagai mahasiswa kedokteran belajar untuk melayani dan mengabdi pada masyarakat.


















DAFTAR PUSTAKA


  1. Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Pasien. In: Kamus Besar Bahasa Indonesia [Internet]. Balai Pustaka. Available from: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pasien

  2. Indonesia Kekurangan Dokter solusinya apa? [Internet]. 2023 Apr 6 [cited 2023 Aug 11]. Available from: https://ppid.bogorkab.go.id/?p=593&page_title=Indonesia_Kekurangan_Dokter_Solusinya_Apa_%3F#:~:text=Menurut%20data%20World%20Health%20Organization,Indonesia%20masih%20di%20bawah%20standar

  3. Remaja Bebas anemia: Konsentrasi Belajar Meningkat, Bebas Prestasi [Internet]. 2022 Nov 16 [cited 2023 Aug 11]. Available from: https://ayosehat.kemkes.go.id/remaja-bebas-anemia-konsentrasi-belajar-meningkat-bebas-prestasi

  4. Avisha F, Aldelya DDP. SALURI: Deteksi Dini Lupus, Penyakit Seribu Wajah [Internet]. 2022 May 11 [cited 2023 Aug 11]. Available from: https://rs.ui.ac.id/umum/berita-artikel/artikel-populer/saluri-deteksi-dini-lupus-penyakit-seribu-wajah

  5. Kembaren L. Bahaya Melakukan “self diagnosis” Gangguan Jiwa [Internet]. Bogor; 2022 Sep 1[cited 2023 Aug 11]. Available from: https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1436/bahaya-melakukan-self-diagnosis-gangguan-jiwa

 
 
 

Recent Posts

See All
Satria Dwi Nurcahya

NARASI PERJUANGAN Halo salam kenal semua! Perkenalkan nama saya Satria Dwi Nurcahya, biasa dipanggil Satria. Arti dari nama saya...

 
 
 
Algio Azriel Anwar

Narasi Perjuangan Halo perkenalkan, namaku Algio Azriel Anwar. saya adalah fakultas kedokteran program studi pendidikan kedokteran dari...

 
 
 
Tresna Winesa Eriska

Narasi Perjuangan “Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah...

 
 
 

Comments


© 2023 FKUI Gelora

bottom of page