- Sabrina Azkadina
- Aug 12, 2023
- 10 min read
Updated: Aug 13, 2023
Narasi Perjuangan
Halo, semua. Perkenalkan, nama saya Sabrina Azkadina. Kalian bisa memanggil saya Bina. Sejak kecil, saya biasa dipanggil Azka. Di SMA, beberapa teman memanggil saya SA (seperti panggilan guru di suatu tempat bimbel). Di tempat kuliah, ternyata ada tiga orang yang namanya Azka dan semuanya berjenis kelamin perempuan. Oleh karena itu, saya pakai nama panggilan baru yaitu Bina, simplifikasi dari Sabrina.
Saya tinggal di Bekasi, namun sempat bersekolah di Jakarta. Sekitar lima bulan yang lalu, saya masih merupakan siswi kelas 12 SMA Negeri 61 Jakarta, sebuah SMA di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur. Sekarang, saya sudah menjadi mahasiswi baru Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Indonesia angkatan 2023. Saya resmi menjadi calon mahasiswi baru Universitas Indonesia setelah pengumuman SNBT 2023 pada tanggal 20 Juni 2023 yang menyatakan bahwa saya lulus pilihan pertama di jurusan pendidikan dokter.
Menurut diri saya yang dulu, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah tempat yang terlalu baik untuk menuntut ilmu kedokteran. Terlalu baik hingga rasanya mustahil bagi saya untuk menjadi salah satu dari bagiannya. Namun, menurut diri saya yang sekarang, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah rumah kedua. Di tempat inilah saya akan menimba ilmu sebanyak-banyaknya demi memajukan kualitas hidup masyarakat. Saya akan banyak belajar dari guru-guru terhebat, mulai dari dokter-dokter ternama Indonesia, pasien yang akan saya temui pada masa klinik, hingga kadaver—jenazah yang telah diawetkan. Saya bertemu dengan para senior yang bersedia membimbing dan menginspirasi. Saya juga bertemu dengan saudara-saudari FKUI 2023 Gelora yang selalu bersedia mengulurkan tangan dalam menghadapi berbagai rintangan bersama-sama.
“Nanti besar mau jadi kayak ayahnya atau ibunya?”
Waktu masih kecil, saya sering sekali mendengar pertanyaan tersebut dari keluarga dan teman-teman kedua orang tua saya. Ayah saya merupakan seorang insinyur, sedangkan ibu saya adalah dokter. Teknik dan kedokteran—dua jurusan yang cukup bertolak belakang. Meskipun begitu, kedua jurusan tersebut sama-sama terkenal akan tingkat kesulitannya yang tinggi. Namun, diri saya yang masih duduk di bangku TK tentu belum paham mengenai hal tersebut dan hanya menjawab “tidak tahu”.
Ketika duduk di bangku SD, saya mulai menyadari bahwa ibu saya adalah orang yang sibuk. Sangat sibuk. Ia terus bekerja setiap hari tanpa libur. Ia sering mendapat panggilan dari rumah sakit di jam-jam yang tidak menentu bahkan hingga dini hari.
Berbeda dengan ibu saya, jam kerja ayah saya jauh lebih teratur. Ia hanya bekerja pada hari kerja dari pagi hingga sore. Ia juga terkadang dapat tugas dinas ke luar kota atau bahkan ke luar negeri yang biayanya ditanggung oleh perusahaan.
Melihat perbandingan tersebut, saya jadi berpikir untuk menjadi seperti ayah saya saja. Jam kerjanya menentu dan dapat banyak fasilitas dari kantor. Saat itu, menurut saya, jadi insinyur enak banget (ini jelas pikiran naif karena pekerjaan insinyur yang sebenarnya sama sekali tidak semudah itu).
Pokoknya, saat masih kecil, saya sama sekali tidak ingin menjadi dokter. Saya tidak ingin menjadi dokter justru karena saya sudah melihat sendiri bagaimana pekerjaan dokter yang sesungguhnya. Saya juga tidak pernah dituntut untuk menjadi dokter.
Lantas, bagaimana ceritanya saya sekarang menjadi seorang mahasiswi kedokteran?
Kejadian ini bermula ketika saya duduk di bangku kelas 5 SD. Saat itu, saya bersama dengan ibu dan kakak saya sedang dalam perjalanan ke rumah. Namun, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, ibu saya sering mendapat panggilan tidak terduga dari rumah sakit. Kami pun pergi ke rumah sakit. Ibu saya ke kamar operasi untuk membantu proses bersalin, sedangkan saya dan kakak saya menunggu di ruang tunggu.
Di ruang tunggu, selain saya dan kakak saya, terdapat sebuah keluarga, lengkap mulai dari anak kecil hingga lansia. Ternyata, mereka semua sedang menunggu wanita yang sedang bersalin di dalam kamar operasi. Ibu saya adalah dokter kandungan yang bertanggung jawab terhadap proses persalinan wanita tersebut.
Saat menunggu, saya merasa kesal karena lagi-lagi ibu saya mendapat panggilan pekerjaan. Namun, saat itu, saya bisa melihat perasaan keluarga tersebut yang menanti-nanti cemas terhadap apa yang terjadi di dalam kamar operasi. Seorang pria yang saya tebak adalah suami dari wanita tersebut terlihat mondar-mandir menunjukkan ekspresi paling khawatir.
Tidak lama kemudian, seseorang keluar dari kamar operasi dan mengabarkan bahwa persalinan berjalan dengan lancar dan bayinya telah lahir. Sontak, ruang tunggu yang sebelumnya tegang menjadi penuh dengan suka cita. Seluruh anggota keluarga tersebut meluapkan perasaan bahagianya.
Saya merasa aneh. Saya sama sekali tidak kenal dengan orang-orang itu, namun saya ikut merasakan perasaan bahagianya. Perasaan tersebut terus melekat hingga sekarang. Saya baru sadar bahwa di balik kesibukan ibu saya, ada banyak orang-orang yang telah terbantu. Saya juga ingin bisa membantu orang banyak merasakan perasaan bahagia tersebut. Semenjak itu, saya berubah pikiran dan bertekad untuk menjadi dokter.
Meskipun tidak pernah menuntut, ibu saya sangat senang begitu saya bilang bahwa saya juga ingin menjadi dokter. Ia pun menyarankan saya untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kita semua tahu bahwa FKUI selalu memiliki peminat yang banyak dan passing grade yang tinggi. Oleh karena itu, saya harus berjuang lebih keras agar dapat mewujudkan cita-cita saya.
Perjuangan saya dimulai dari SMP. Saat pelaksanaan Ujian Nasional SD, saya tidak belajar dengan baik dan mendapat NEM yang kurang memuaskan. Saya pun masuk ke SMP melalui jalur zonasi. Di SMP, dari kelas 7–9, saya ditempatkan ke dalam kelas unggulan. Di kelas ini, saya bertemu dengan teman-teman yang ambisius namun tetap saling mendukung. Menjelang Ujian Nasional SMP, saya belajar lebih keras agar kejadian saat SD tidak terulang kembali dan saya bisa masuk ke SMA favorit dengan harapan pintu masuk ke perguruan tinggi negeri lebih mudah.
Tidak disangka, pada tahun 2020, pandemi COVID-19 melanda sehingga Ujian Nasional SMP dibatalkan. Seleksi masuk SMA dilaksanakan berdasarkan nilai rapor dan akreditasi sekolah. Dengan kriteria tersebut, saya jelas kesulitan untuk masuk ke SMA favorit. Namun, ajaibnya, setelah ditolak sebanyak sebanyak enam kali, saya berhasil masuk ke SMAN 61 Jakarta melalui jalur prestasi luar kota.
SMAN 61 Jakarta adalah salah satu SMA negeri terbaik di Jakarta Timur. Di sini, saya bertemu dengan guru-guru dan teman-teman yang baik. Saya terus mempertahankan nilai saya dari kelas 10 hingga kelas 12 dengan baik untuk meningkatkan peluang saya masuk ke FKUI melalui jalur SNBP.
Pada awal tahun 2023, saya berhasil mendapatkan peringkat kedua seangkatan untuk nilai rapor semester 1–5. Peringkat pertama di sekolah saya tidak memilih FKUI. Saya memiliki peluang besar untuk lolos di jalur SNBP.
Meskipun begitu, ternyata SMAN 61 Jakarta tidak memiliki alumni yang lolos ke FKUI melalui jalur rapor dalam waktu kurang lebih tujuh tahun terakhir. Banyak guru yang menyarankan saya untuk lebih realistis dan memilih jurusan pendidikan dokter di universitas lain yang sudah ada alumninya saja. Namun, saya tahu bahwa SNBP bukanlah satu-satunya jalur masuk FKUI. Saya pun tetap memilih FKUI di SNBP dan belajar mempersiapkan jalur SNBT.
Pada tanggal 28 Maret 2023, seperti yang sudah diduga, saya tidak lolos SNBP. Saya tidak merasa sedih karena hasilnya memang sudah bisa ditebak. Namun, ketika melihat teman-teman saya yang sudah lolos duluan, saya menjadi merasa khawatir. Ditambah lagi, saingan di SNBT biasanya ribuan orang dan keketatannya hampir mencapai 1%.
Namun, kedua orang tua saya tetap menenangkan saya, terutama ibu saya. Ibu saya selalu yakin bahwa saya bisa melakukannya dengan baik. Kedua orang tua saya adalah pendukung terbesar saya dari segi emosional dan finansial. Saudara dan teman-teman saya juga selalu memberikan dukungannya yang terbaik.
Waktu belajar UTBK-SNBT terus berlangsung hingga pelaksanaannya pada bulan Mei 2023. Saya yang biasanya begadang hingga larut malam dan tidur di pagi hari, panik ketika mendapatkan jadwal UTBK gelombang pertama sesi 1 pukul 06.45 WIB. Saya pun melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki jam tidur saya. Akhirnya, saya berhasil memperbaiki jam serta kualitas tidur saya hingga hari-H saya UTBK. Saya tes di pusat UTBK Universitas Indonesia. Dengan doa yang kuat, saya merasa yakin dengan hasil UTBK saya.
Setelah UTBK selesai, saya mempersiapkan jalur mandiri. Semuanya berjalan dengan lancar, saya masih belajar dengan baik, hingga ibu saya jatuh sakit pada akhir bulan Mei. Ia didiagnosis kanker payudara stadium IV.
Tahun lalu, ibu saya memang pernah didiagnosis kanker payudara stadium II. Ia pun menjalankan serangkaian pengobatan mulai dari kemoterapi hingga operasi pengangkatan payudara. Setelah itu, ia dinyatakan remisi dan menjalankan hidup dengan tetap menjaga pola hidup sehat.
Ternyata sel kankernya aktif kembali dan menyebar ke organ tubuh lainnya. Kejadian ini berlangsung dengan sangat cepat. Ibu saya berhenti dari pekerjaannya dan melakukan berbagai upaya untuk mengobati penyakitnya. Melihat ibu saya tidak berdaya, saya tidak lagi bisa berpikir jernih. Pada suatu malam, ketika sedang belajar kimia SIMAK UI, saya mendengar ibu saya merintih kesakitan. Saya segera melaporkannya ke ayah saya dan ibu saya segera dibawa ke rumah sakit. Semakin malam, kondisi ibu saya memburuk sehingga harus masuk ke ICU. Keesokan paginya, tanggal 13 Juni 2023, ibu saya dinyatakan meninggal dunia. Tepat satu pekan sebelum pengumuman SNBT tanggal 20 Juni 2023.
Tidak ada yang menyangka akan secepat itu. Ibu saya adalah motivasi terbesar saya untuk menjadi dokter. Hanya dalam waktu dua pekan, kanker telah merenggut nyawa ibu saya. Dalam kondisi berduka, saya benar-benar kehilangan motivasi untuk menjadi dokter. Saya mulai mencari jurusan-jurusan selain kedokteran yang sekiranya cocok dengan minat dan bakat saya. Saya tertarik dengan jurusan teknik karena saya pikir masuknya lebih mudah dan kuliahnya lebih cepat (ini lagi-lagi jelas pikiran naif karena kuliah teknik yang sebenarnya juga sama sekali tidak semudah itu).
Akan tetapi, saya sudah terlanjur memilih jurusan pendidikan dokter di Universitas Indonesia pada pilihan pertama UTBK-SNBT saya. Saya pun berkata pada diri saya. Jika saya lulus pada pilihan kedua atau tidak lulus SNBT sama sekali, saya akan mencoba jurusan selain pendidikan dokter. Namun, jika saya lulus pilihan pertama di FKUI, saya memang ditakdirkan menjadi dokter.
Pada tanggal 20 Juni 2023, saya tidak berharap apa-apa. Pengumuman SNBT saya dibukakan oleh kakak saya. Ternyata, saya lulus pilihan pertama, Pendidikan Dokter Universitas Indonesia.
Bagaimana perasaan saya?
Campur aduk.
Saya bingung ketika ditanya oleh orang lain. Saya jelas merasa senang dan lega karena berhasil lulus dan diterima melalui jalur SNBT. Namun, saya khawatir apakah saya benar-benar bisa menjalankan pendidikan dokter, terlebih saya baru saja kehilangan motivasi terbesar saya. Saya selalu sedih jika teringat oleh ibu saya. Dengan menjadi dokter, artinya saya akan terus mengingat kejadian tersebut. Apalagi, di rumah sakit, saya juga pasti nantinya akan berhadapan dengan banyak kejadian yang sama.
Saya akhirnya memberanikan diri untuk berdiskusi dengan satu-satunya orang dewasa yang bisa saya percaya: ayah saya. Saya mengutarakan pikiran saya meskipun saya tahu bahwa ayah saya juga sedang sama berdukanya. Ayah saya tetap mendukung saya untuk mengambil FKUI. “Ibu pasti senang kalau Azka jadi dokter” kata ayah saya. Saya berkata kepada ayah saya bahwa saya tertarik dengan jurusan teknik. Namun, ayah saya justru memberi saya nasihat panjang lebar.
Nasihat dari ayah saya membukakan pikiran saya. Saya kembali teringat alasan pertama saya ingin menjadi dokter. Sebelumnya, saya berpikir “aku mau jadi dokter biar bisa bikin orang lain bahagia, kayak Ibu”. Ibu saya adalah figur utama yang memotivasi saya untuk menjadi seorang dokter. Begitu kehilangan figur tersebut, saya kehilangan arah. Selain itu, satu hal yang saya lupa, rumah sakit tidak hanya menyampaikan kabar bahagia, tetapi juga kabar menyedihkan. Bagaimanapun juga, hidup dan mati tetap di tangan Tuhan.
Saya pun memilih untuk tetap lanjut ke Pendidikan Dokter Universitas Indonesia. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya yakin dengan diterimanya saya di FKUI, saya memang ditakdirkan menjadi seorang dokter. Sekarang, saya berkomitmen untuk tetap belajar dengan keras seperti sebelum saya diterima di FKUI, namun saya akan meniatkannya demi masyarakat. Kejadian yang menimpa ibu saya akan saya jadikan pelajaran. Saya pasti akan berhadapan kembali dengan kejadian serupa. Namun, saya akan berupaya untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan tersebut dengan meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui kombinasi antara ilmu pengetahuan dan empati yang tinggi. Saya ingin menjadi dokter yang ideal.
Bagaimana dokter yang ideal itu? Seorang dokter yang baik bisa dibilang menguasai kedua ilmu dan seni praktik kedokteran [1]. Pendidikan dan pelatihan medis harus bertujuan untuk menyelaraskan keterampilan dan kepekaan dokter dengan kemampuan reflektif humanis.
Meskipun banyak dokter yang baik terlatih dengan baik dalam ilmu dasar dan klinis, banyak dokter hebat berpendapat bahwa kebiasaan lain sama pentingnya atau lebih penting [2]. Misalnya, sifat ingin tahu seperti detektif kepada pasien sering kali menumbuhkan empati. Empati adalah proses pemikiran di mana orang tersebut mengenali situasi manusia lain, seperti rasa sakit dan penderitaan mereka, dan menghubungkannya dengan simpati [3].
Atribut paling penting dari dokter yang baik adalah kemanusiaan, empati, pengetahuan dan profesionalisme, kredibilitas dan kejujuran, serta kepedulian dan pengabdian. Atribut terpenting kedua yang ditunjukkan oleh dokter adalah pengetahuan dan profesionalisme, empati, kemanusiaan, kredibilitas dan kejujuran, serta kepedulian dan dedikasi [4].
Dua aspek perawatan kesehatan—keterampilan profesional dan teknis versus kemanusiaan dan keterampilan interpersonal—mewakili rangkaian keterampilan yang berbeda. Yang pertama didasarkan pada pengetahuan dan keterampilan teknis, sedangkan yang kedua didasarkan pada kehangatan emosional dan keterampilan komunikasi. Kemampuan untuk terhubung dengan pasien serta mendapatkan kepercayaan mereka adalah kemampuan manusia yang melampaui batas keterampilan dan pengetahuan medis [4].
Meskipun begitu, seorang dokter tidak akan pernah melakukannya dengan sempurna sepanjang waktu. Akan tetapi, dokter yang baik harus mengabdikan diri sebanyak yang ia bisa, sehingga ia merasa terpenuhi dalam pekerjaan dan pasiennya merasa diperhatikan—tetapi tidak terlalu banyak hingga menjadi lelah dan terkuras secara emosional [5]. Ini penting untuk kesejahteraan masyarakat dan juga penting untuk panggilan para dokter, yaitu tentang mengurangi penderitaan, bukan hanya menyembuhkan penyakit.
Saya ingin menjadi dokter yang baik. Saya harap saya bisa memberikan perasaan aman dan nyaman kepada semua orang. Tidak terbatas hanya kepada pasien saja, tetapi juga masyarakat luas. Saya akan berusaha untuk mendedikasikan waktu dan tenaga saya untuk menolong orang baik secara langsung maupun tidak langsung.
Rencana jangka pendek saya selama menjadi mahasiswi FKUI pada masa preklinik adalah tentunya belajar dengan keras serta mengatur waktu dengan baik agar mendapatkan IPK yang sangat memuaskan di atas 3.50. Saya juga ingin turun langsung ke masyarakat tidak hanya untuk menyembuhkan, tetapi juga untuk mencegah. Oleh karena itu, saya berencana untuk bergabung dalam CIMSA (Center for Indonesian Medical Students' Activities) bagian SCOPH (Standing Committee on Public Health). Harapan saya, masyarakat akan mendapatkan edukasi yang lebih banyak terkait dunia medis sehingga tidak ada lagi misinformasi yang dapat menimbulkan rasa takut.
Rencana jangka panjang saya selama menjadi dokter nantinya adalah menjadi dokter yang komunal. Saya ingin bisa membantu banyak orang. Saya ingin berkontribusi dalam berbagai bidang seperti obgyn, anak, saraf, tulang, dan masih banyak lagi. Namun, kemampuan manusia ada batasannya dan saya tidak mungkin mengambil semua spesialisasi sekaligus. Oleh karena itu, saya berencana untuk menjadi dokter spesialis anestesi. Dengan menjadi dokter anestesi, saya bisa bergabung dalam berbagai tim medis yang menangani kasus berbeda-beda. Saya akan memberikan perasaan aman dan nyaman kepada pasien saya selama sebelum, selama, dan sesudah prosedur operasi. Harapan saya, masyarakat tidak lagi takut terhadap tindakan operasi karena tim medis pasti sudah merencanakan yang terbaik dengan tetap mengutamakan kenyamanan pasien.
Untuk mencapainya, saya harus menyelesaikan masa preklinik dan koas hingga sumpah dokter, kemudian magang dan bekerja sebagai dokter umum, sebelum mengambil PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) anestesiologi dan terapi intensif. Bekal terpenting dalam mencapai sebuah keinginan tentunya adalah kerja keras dan doa yang kuat.
Sama halnya dengan kalian, calon mahasiswa kedokteran, tetaplah berusaha dan berdoa. Hal yang terpenting adalah niat. Niatkan di dalam hatimu bahwa kamu memang ingin menjadi dokter, bukan karena orang lain atau demi uang dan gengsi semata. Dengan niat yang baik, pasti Allah akan mudahkan. Namun, jika niatnya kurang baik, sebesar apa pun usahamu akan tetap sulit jalannya.
Aku tunggu kalian di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dokter masa depan!
Daftar Pustaka
1. O’Donnabhain R, Friedman ND. What makes a good doctor? Internal Medicine Journal [Internet]. 2018 Jul 1 [cited 2023 Aug 10];48(7):879–82. Available from: https://doi.org/10.1111/imj.13942
2. Higgins JPT. Ten traits of great Physicians. The American Journal of Medicine [Internet]. 2023 Apr 1 [cited 2023 Aug 10];136(4):355–9. Available from: https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2022.12.011
3. Alpert JS, Frishman WH. The most important qualities for the good doctor. The American Journal of Medicine [Internet]. 2021 Jul 1 [cited 2023 Aug 10];134(7):825–6. Available from: https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2020.11.002
4. Dopelt K, Bachner YG, Urkin J, Yahav Z, Davidovitch N, Barach P. Perceptions of practicing physicians and members of the public on the attributes of a “Good doctor.” Healthcare [Internet]. 2021 Dec 31 [cited 2023 Aug 10];10(1):73. Available from: https://doi.org/10.3390/healthcare10010073
5. Mathew R. Rammya Mathew: The pursuit of being a good doctor. BMJ [Internet]. 2019 Aug 20 [cited 2023 Aug 10];l5139. Available from: https://doi.org/10.1136/bmj.l5139
Comments