- Robby Malik Chandra Sudrajat
- Aug 11, 2023
- 15 min read
Updated: Aug 13, 2023
NARASI PERJUANGAN – ROBBY MALIK CHANDRA SUDRAJAT
A Transport of The Spirit
“Kalau Allah tak menjadikan kesengsaraan, di manakah orang akan kenal kelezatan bahagia? Kalau Tuhan tak menjadikan perhambaan dan perbudakan, di manakah akan ada keinginan hendak mengejar mereka?” Demikian perkataan Buya Hamka[1]—seorang yang mahsyur dari Bumi Maninjau yang telah banyak mengukir pengaruh bagi perspektif saya tentang kehidupan dan segala isinya—yang pada setiap hari-hari saya selalu mewarnai perjalanan ini dalam menjelajahi makna terdalam dari sebuah rentetan panjang proses kehidupan. Seorang pengambil peran dalam pergerakan kemerdekaan bangsa sekaligus sosok yang benar-benar hidup di tengah umat. Diceritakan, ia adalah perangai yang baik dalam menerima kedatangan orang yang berbondong-bondong menghampirinya untuk pelbagai keperluan; ia menjawab dengan hati yang ikhlas dan tanpa memungut bayaran. Dari sinilah saya memahami arti pengabdian; ketika kita mengambil ruang untuk bisa melayani, membuka diri untuk dapat mengerti orang lain, dan menjadi berkat untuk meraih kebahagiaan bagi sesama. Dari kata-katanya pula saya dapat menarik arti, menyimpul gagasan, dan merenda makna bahwa tiada yang lebih penting selama hayat ini selain untuk bisa menabur benih kebaikan, menyemai senyum bagi orang lain, dan menyalurkan anugerah hingga dapat menjadi inspirasi bagi mereka yang tak seberuntung kita. Demikianlah mengapa saya menemukan reaksi bahwa saya harus mampu menjadi berkat bagi orang lain hingga menumbuhkan gelora dalam diri untuk bergerak di jalan pengabdian. Reaksi itu mengakar, bertumbuh, dan menguat dalam diri saya atas dasar keinginan saya sendiri; tiada satupun yang mampu menggoyahkan, mengatur, dan mengambil alih kecuali atas izin dari-Nya untuk menemukan jalan yang lebih baik. Dan narasi ini, ialah kisah saya dalam menemukan reaksi itu, ketika segala ambisi saya sebelumnya terevisi untuk menjadi tidak hanya sekadar benar dan baik bagi saya, namun juga untuk orang lain.
Perkenalkan, nama saya Robby Malik Chandra Sudrajat. Orang-orang di sekitar saya biasa memanggil saya Robby. Saya berasal dari SMA Taruna Nusantara Magelang dan puji syukur atas rencana-Nya berkesempatan melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) kelas reguler melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).
Robby Malik Chandra Sudrajat, sebuah nama yang diberikan orang tua saya dengan banyak pengharapan dan doa agar saya menjadi orang yang mampu berperan sebagai perantara ampuh dalam mewujudkan penghidupan yang lebih baik untuk saya sendiri maupun orang lain. Nama itu berarti ia yang memilikinya, ia yang merajainya, dan ia yang mampu menjadi pemberi penerangan dengan cahayanya dalam kedudukan yang mulia dan bermartabat. Nama ini bukanlah beban bagi saya, melainkan pengingat sekaligus penyemangat yang selalu menyadarkan saya pada saat masa-masa sulit saya atau saat saya berada pada titik terendah hidup; bahwa sesungguhnya saya terlahir bukan untuk hanya ada, namun untuk menjadi seorang penggagas, penerang, dan pembawa perubahan. Terberkatilah nama ini dalam naungan-Nya, dan kepada nama ini pula saya sangat berterima kasih; atas jasanya sebagai penguat, pengokoh, dan penopang jiwa saya sekalipun saat saya berada pada keadaan yang tidak saya harapkan.
Tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya bahwa pada masa depan saya akan menjadi mahasiswa kedokteran, apalagi di salah satu institusi pendidikan dokter terbaik yang dimiliki negeri ini. Latar belakang saya yang tumbuh di lingkungan pedesaan dan dalam penyemaian keluarga dengan cara yang sederhana lantas menjadikan saya sebelumnya sebagai orang yang takut untuk bermimpi. Apakah saya mampu untuk menjadi orang besar kelak? Mungkinkah apa yang kini saya miliki dapat mengantarkan saya pada angan-angan yang kata orang mustahil untuk digapai? Dan bisakah saya mencapai kedudukan yang mulia suatu saat sebagaimana doa yang tersemat pada nama saya? Ketakutan untuk sekadar merangkai mimpi itu terus berlanjut hingga saya duduk di bangku SMA; ketakutan yang menyebabkan saya hanya menjadi seorang yang tekun dalam belajar, namun tidak mengetahui tujuan sebenarnya mengapa saya belajar—semua berjalan secara mengalir dan saya masih tetap bernaung pada ketakutan. Ketakutan itu pula yang menjadikan saya sempat berpikir bahwa saya hanya perlu untuk dapat memiliki uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan diri saya sendiri tanpa merepotkan orang lain. Tak pernah terbesit keinginan sebelumnya untuk bisa menjadi penolong, apalagi penggerak kebaikan bagi orang lain.
Ketakutan-ketakutan tersebut terus bertumbuh hingga pada suatu saat saya tersadarkan bahwa saya mampu menjadi lebih daripada apa yang saya cita-citakan sebelumnya. Mampu menjadi orang yang lebih bermanfaat dan berdampak, terutama bagi mereka yang membutuhkan. Adapun kapan saat saya merekonstruksi idealisme ini terjadi ketika saya mengarungi makna hidup yang lebih luas; waktu di mana saya melihat banyak anak-anak yang terlahir dengan keistimewaan, saat saya menemui tidak sedikit rekan sepermainan kecil saya yang tak mampu memperoleh kesempatan untuk bisa menuntut ilmu dan dipaksakan oleh keadaan untuk bekerja dan/atau menikah di usia yang belum mestinya, serta ketika saya menyadari berkat dari-Nya tidak harus selalu tentang material dan fasilitas, tetapi juga keluarga yang mendukung, tubuh yang sehat dan mental yang terjaga, serta kemampuan untuk bisa berjuang adalah berkat-Nya pula yang tidak ternilai. Atas dasar itulah, petualangan saya dalam menentukan preferensi karier di masa depan dimulai; saya ingin menjadi seorang yang bisa memberikan sebanyak-banyaknya bantuan bagi orang lain dan pada akhirnya saya bertemu dengan jawaban bahwa dokter mampu mewujudkan keinginan saya tersebut.
Keinginan untuk berhasil menjadi mahasiswa kedokteran bukanlah hal yang mudah dicapai. Ribuan siswa SMA berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan kursi di sekolah kedokteran hingga menghabiskan banyak tenaga, biaya, dan waktu mereka untuk persiapan menghadapi seleksi masuk fakultas kedokteran. Sekalipun tidak mengikuti bimbingan belajar dan sejenisnya, saya selalu menjaga keyakinan bahwa saya pun mampu meraih prestasi di sekolah dengan cara saya sendiri; menjaga kedekatan dengan-Nya, belajar dengan ikhlas dan sabar, serta terus bertawakal kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala apapun hasil yang saya peroleh. Dengan cara itu, saya tetap bisa berprestasi di sekolah saya hingga mengantarkan saya berhasil lulus SNBP di FKUI.
Berbicara mengenai FKUI, tentu tak akan luput dari pembahasan tentang sejarah panjang sekolah kedokteran tertua dan terbaik di Indonesia yang telah ada sejak zaman penjajahan tersebut. Cikal bakal FKUI lahir pada 2 Januari 1849 melalui Keputusan Gubernemen No. 22 yang sekaligus menjadi titik awal terselenggaranya pendidikan kedokteran di Indonesia hingga pada masa setelahnya berdirilah STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen), yang mana STOVIA menjadi tempat cendekiawan bangsa dari berbagai daerah bersatu hingga melahirkan organisasi Budi Utomo atas perjuangan Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA lainnya. Budi Utomo inilah yang menjadi organisasi pertama di Indonesia yang bersifat nasional dan modern dalam sejarah pergerakan kemerdekaan sekaligus pelopor terciptanya organisasi pergerakan di masa selanjutnya. Sejarah yang panjang dan besarnya kontribusi FKUI dalam perjalanan pergerakan nasional bangsa Indonesia maupun perkembangan ilmu pengetahuan menjadikan FKUI tak pernah kekurangan mahasiswa berprestasi unggul setiap tahunnya.
Bagi saya, FKUI adalah tempat terbaik untuk menuntut ilmu di bidang kedokteran. Para professor, doktor, dokter, serta pengajar yang menyalurkan ilmunya di FKUI adalah para intelektual yang sangat berkompeten di bidangnya masing-masing. Fasilitas pembelajaran dan riset yang mumpuni, giat pengabdian masyarakat yang tiada henti, serta jaringan alumni yang kuat dimiliki oleh FKUI. Mahasiswa di Kampus Salemba 6 tersebut juga dikenal sebagai pelajar yang jenius dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Seleksi masuk yang ketat dengan batas minimum nilai seleksi yang tinggi karena besarnya minat para pelajar SMA untuk bisa berkuliah di institusi tersebut pun sempat menjadikan saya ragu untuk mendaftarkan diri di FKUI ketika pendaftaran SNBP dibuka. Apalagi, sudah sejak empat tahun terakhir tidak ada siswa dari SMA saya yang tembus di FKUI melalui jalur undangan berbasis nilai rapor dan prestasi kejuaraan tersebut. Meskipun demikian, motivasi saya yang kuat untuk masuk FKUI agar dapat mengenyam pendidikan dokter di tempat terbaik telah melunturkan keraguan tersebut.
Perjuangan saya hingga dapat menjadi mahasiswa kedokteran di FKUI adalah sebuah proses yang panjang. Saat saya masih mengenyam pendidikan di SD Al-Kautsar Temanggung, saya lebih banyak disibukkan dengan kegiatan non-akademis dengan mengikuti berbagai perlombaan seperti melukis, kaligrafi, bercerita, cipta dan baca puisi, dan pramuka siaga. Prestasi akademik di SD pun terbilang fluktuatif karena saya banyak disibukkan dengan berbagai kegiatan non-akademis yang saya sebutkan. Meskipun demikian, puji syukur saya tetap dapat tembus SMP favorit di Kabupaten Temanggung, yaitu SMP N 2 Temanggung. Awal SMP menjadi masa adaptasi yang tak mudah bagi saya. Saya harus belajar dengan ekstra untuk dapat menyejajarkan diri dengan teman-teman lainnya yang tidak kalah cerdas dan tekun. Dengan kesabaran saya dalam belajar, puji syukur saya dapat menjaga secara konsisten nilai-nilai saya di SMP sedari aktif di berbagai kegiatan seperti bergabung menjadi bagian dari takmir masjid di SMP maupun berpartisipasi dalam berbagai perlombaan seperti kompetisi biologi, cerdas cermat museum, debat Bahasa Indonesia, kompetisi teori Bahasa Indonesia, melukis, kaligrafi, pramuka penggalang, pidato, dan lainnya. Nilai-nilai saya yang konsisten saat saya SMP dan bekal prestasi yang dirasa cukup telah mengantarkan saya kepada keberanian untuk mendaftar di SMA Taruna Nusantara Magelang; tempat para putra putri terbaik bangsa menuntut ilmu dalam sistem among yang saling asah, asih, dan asuh. SMA Taruna Nusantara atau yang juga dikenal sebagai SMA Tarnus atau SMA TN menerapkan sistem pendidikan berasrama sehingga saya harus berpisah dengan bapak, ibu, dan keluarga saya di kampung halaman. Meskipun demikian, saya memperoleh banyak teman-teman baru dan para pamong di SMA Taruna Nusantara yang menjadi keluarga baru saya sehingga sangat jarang bagi saya untuk merasa kesepian walaupun tidak tinggal bersama keluarga. Mengingat fasilitas serta wadah penyaluran minat dan bakat yang disediakan oleh SMA Taruna Nusantara sangat lengkap dan bervariatif, saya pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang saya miliki. Saya banyak bergabung dengan berbagai kegiatan siswa seperti OSIS, tim mata pelajaran seperti biologi dan ekonomi, tim debat Bahasa Indonesia, jurnalistik, serta takmir masjid. Tak lupa, prestasi akademik di sekolah tetap menjadi yang nomor satu karena saya berniat untuk menjadi dokter dan akademisi di masa depan, maka saya perlu menjaga nilai-nilai saya di sekolah agar dapat mencapai target saya untuk tembus PTN melalui jalur prestasi.
Masa perjuangan di SMA terasa begitu cepat, mengingat saya menghabiskan waktu belajar di tahun pertama SMA secara daring karena pandemi COVID-19. Meskipun demikian, saya tetap bersyukur karena dapat kesempatan belajar di SMA yang berkualitas; mendapat pembelajaran yang baik, bertemu rekan-rekan dari pelbagai penjuru tanah air, dan mendapat pengalaman menjadi peserta muhibah ke Korea Selatan. Singkat cerita, hari pengumuman siswa eligible SNBP disampaikan. Puji syukur yang tak terhingga bahwa saya dinyatakan sebagai peringkat pertama siswa eligible SNBP di angkatan saya. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk belajar, tak sedikitnya air mata dan keringat yang keluar, serta capainya fisik yang didapat karena harus berjuang lebih besar dari rata-rata rekan-rekan yang lain akhirnya terbayarkan sudah. Dengan bekal peringkat eligible dan prestasi kejuaraan yang saya peroleh selama SMA, saya memberanikan diri untuk mendaftar di FKUI. Keraguan yang sempat muncul karena banyak rekan saya yang menyarankan saya untuk tidak memilih FKUI dalam SNBP mengingat indeks alumni asal SMA juga memengaruhi dalam penilaian SNBP, sedangkan di sisi lain jarang siswa SMA Taruna Nusantara pada tahun sebelumnya dapat tembus jalur undangan di FKUI. Proses pendaftaran SNBP terus berjalan dan pada akhirnya dengan keyakinan yang kuat saya memutuskan untuk hanya mengisi pilihan pertama dalam SNBP, yaitu studi pendidikan dokter, Universitas Indonesia. Hari-hari kemudian berlalu sambil saya isi dengan tawakal kepada Yang Mahakuasa sedari mempersiapkan diri menghadapi Penilaian Sumatif Akhir Jenjang (PSAJ).
Selasa sore, 28 Maret 2023, bersamaan dengan ibadah puasa hari keenam Ramadan 1444 H, pengumuman SNBP tiba. Pada saat itu, saya baru saja menyelesaikan PSAJ hari kedua. Sehabis ujian dilaksanakan, saya putuskan untuk berserah diri seraya terus berdoa di masjid sekolah. Saya lalu menuju koridor sekolah berniat membuka peramban pengumuman SNBP. Sebelum membukanya, saya mencoba cek WhatsApp di laptop saya untuk memberi tahu keluarga sebelum membuka pengumuman SNBP. Akan tetapi, alangkah terkejutnya saya bahwa kakak saya sudah membuka pengumuman itu terlebih dahulu dan mengabarkan bahwa saya lolos SNBP di FKUI. Saat itu saya langsung sujud syukur di tengah heningnya suasana sore koridor sekolah dan sangat berterima kasih atas anugerah tak terhingga yang saya dapatkan saat itu; bahwa saya telah selangkah lebih dekat dengan cita-cita saya sebagai seorang dokter. Para guru dan teman-teman saya di SMA Taruna Nusantara memberi saya ucapan selamat atas keberhasilan saya tersebut dan mereka pun menaruh doa bagi diri saya agar menggunakan berkat-Nya ini dengan sebaik-baiknya hingga mampu menjadi dokter masa depan yang unggul.
Menjadi pertanyaan fundamental, apakah saya hanya akan menjadi dokter masa depan? Apakah benar jika gelar dokter sudah saya dapatkan, maka pada waktu yang bersamaan keinginan saya untuk menjadi penolong dan pembawa berkat bagi sesama itu juga terealisasikan? Saya pun menemukan jawabannya saat saya mengikuti Open House FKUI 2022, saat salah seorang Guru Besar Tetap FKUI, Prof. dr. Ardi Findyartini, Ph.D., memberikan pemaparan tentang definisi dokter yang ideal. Pada saat itu, saya memberanikan diri menjawab dengan lantang bahwa dokter yang ideal versi saya adalah ia yang mampu memanifestasikan ilmu yang ia miliki untuk memberikan penyembuhan secara optimal kepada setiap pasiennya. Pada kesempatan itu muncul banyak pendapat tentang definisi dokter ideal dari para peserta Open House FKUI 2022, dan Prof. Titin menerima semua pendapat itu dengan keterbukaan yang pada saat bersamaan pula Prof. Titin telah mencontohkan salah satu karakter dokter ideal; membuka diri untuk dapat mengerti orang lain karena itu yang harus kita miliki saat menerima keluhan pasien.
Dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatan[2]. Adapun ideal adalah sangat sesuai dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan atau dikehendaki[2]. Berangkat dari dua definisi tersebut dapat diambil benang merah bahwa dokter ideal ialah dokter yang memang dalam menjalankan praktik mampu menggunakan ilmunya untuk benar-benar menyembuhkan penyakit pasien sehingga ia adalah “pelayan” bagi masyarakat, bukan yang memanfaatkan gelar profesi untuk kepentingan pribadi atau golongan—ia sebenar-benarnya dokter sebagaimana masyarakat awam mendefinisikan arti dokter—lebih hanya dari sekadar gelar, namun tugas dan tanggung jawab.
Adapun secara normatif melalui pendekatan yuridis, dokter ideal juga berarti melaksanakan tugas dan amanah dengan sebaik-baiknya sebagaimana telah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dokter sebagai bagian dari tenaga medis memiliki beberapa kewajiban dalam menjalankan praktik kedokteran; 1) memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan pasien, 2) memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan, 3) menjaga rahasia kesehatan pasien, 4) membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan, 5) merujuk pasien ke tenaga medis atau tenaga kesehatan lain yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai[3].
Menjadi dokter yang ideal adalah tentang menjalankan misi pengabdian dengan hati yang tulus dan ikhlas. Dalam setiap tugas yang dokter ideal jalani, terimplementasikan nilai luhur yang ia yakini dalam setiap kata, perbuatan, dan pelayanannya kepada pasien. Nilai luhur inilah yang tak hanya menjadikan dokter sebagai penyampai nasihat tentang kesehatan dan pemberi resep obat pasien, namun lebih dari itu ia adalah pencerah dan penyalur spirit bagi orang-orang di sekitar; menebar harapan, menitipkan doa, sekaligus menjalankan bantuan untuk hidup pasien yang lebih baik hingga anak-anak dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan itu mampu meraih inspirasi serta menerima profil teladan dari diri seorang dokter. Lalu, bagaimana perspektif dasar terkait nilai luhur yang dianut seorang dokter? Afandi D4 dalam penelitiannya, memaparkan bahwa setidaknya ada dua hal yang melandasi nilai luhur profesi kedokteran, yaitu altruisme (tanpa pamrih) dan idealisme profesi. Prinsip altruisme sebagaimana diktum pada profesi kedokteran yaitu: “kepentingan pasien merupakan hal yang terpenting bagi dokter”. Altruisme juga merupakan salah satu ciri suatu profesionalisme yang artinya senantiasa mementingkan yang dilayani. Orang yang melaksanakan profesi luhur sekalipun mendapatkan nafkah (imbalan) dari pekerjaannya, namun itu bukanlah motivasi utamanya. Yang menjadi motivasi utamanya adalah kesediaan dan keinginan untuk melayani, membantu sesama umat manusia berdasarkan keahlian yang dimilikinya. Suatu kenyataan bahwa dokter hidup dan mendapat nafkah dari pelaksanaan profesi kedokteran atau dokter hidup dari pasien, sehingga dapat dibayangkan betapa tidak mudahnya bila hidup dengan berbasis pada altruisme. Di sinilah ujian bagi dokter atau profesi kedokteran apakah terus mulia atau tidak lulus ujian dengan membuang martabat. Adapun idealisme profesi diperlukan untuk mengatasi kesenjangan tingkat pengetahuan antara dokter dengan pasien sebagai salah satu bentuk upaya perlindungan masyarakat oleh profesi. Bentuk-bentuk idealisme profesi dapat diwujudkan dalam hal saling mengingatkan teman sejawat apabila melakukan kesalahan termasuk dalam hal ini adalah pembinaan oleh organisasi profesi. Idealisme profesi ini harus dimaknai secara positif oleh organisasi profesi untuk menjaga cita-cita luhur profesi itu sendiri.
Berbekal salah dua nilai luhur dokter tersebut, dapat dikatakan bahwa jiwa altruisme (tanpa pamrih) dan idealisme profesi akan dapat mengantarkan dokter sebagai profesi yang berkontribusi bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan prinsip altruisme yang dipegang seorang dokter, ia akan mendahulukan penanganan pasien atas nama kemanusiaan, mengedepankan keselamatan pasien dengan ilmu yang ia miliki sekalipun dalam kondisi yang tidaklah mudah, dan menjadi penjaga mental dan pembangkit semangat bagi pasien yang hampir berputus asa atas penyakit yang dialaminya. Nilai idealisme profesi pun harus dilestarikan dengan konsisten oleh dokter dalam ranah kesejawatan sebagai bentuk menjaga harkat dan martabat profesi kedokteran; dengan cara memupuk jiwa korsa di antara sesama dokter dan terbuka atas setiap kritik maupun masukan dari sejawat dokter lainnya untuk sebaik-baiknya memberikan pelayanan bagi pasien. Dua hal inilah yang ingin saya tumbuhkan dalam diri saya sejak masih menjadi mahasiswa kedokteran—untuk mampu ikut berpartisipasi dalam pelbagai giat pengabdian masyarakat dan menjadi penggerak spirit kesejawatan di antara sesama mahasiswa kedokteran—hingga mampu mengantarkan saya untuk dapat lebih dekat dengan apa yang saya cita-citakan; menjadi insan yang humanis, menempatkan diri sebagai seorang pengabdi yang tulus, dan berperan aktif menjadi agen perubahan bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk mampu mewujudkan ketiga hal tersebut, saya telah memetakan diri bahwa saya harus memiliki karakteristik yang saya butuhkan sebagai dokter ideal masa depan. Karakteristik tersebut di antaranya adalah humanis, ikhlas, berwawasan, berkomitmen, berdedikasi, dan nasionalis.
Sebagai seorang dokter ideal tak dapat dilepaskan pula dengan menjalankan peraturan berupa kode etik kedokteran secara murni dan konsekuen. Dokter ideal harus menjunjung tinggi kode etik kedokteran, baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif[5]. Sifat promotif dijabarkan dalam beberapa ketentuan; selalu memelihara kesehatannya, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Adapun sifat preventif termanifestasikan dalam kewajiban dokter untuk bekerja secara independen dan profesional dalam ukuran yang tertinggi dan menghormati hak-hak pasien. Sifat kuratif berarti sanksi atas pelanggaran etika dokter, sedangkan sifat rehabilitatif berupa pemulihan hak-hak profesi bagi dokter yang tidak terbukti melakukan pelanggaran etika atau bagi dokter yang telah selesai menjalani sanksi etika. Menjadi kewajiban bagi saya sebagai dokter ideal masa depan untuk mampu mengikuti peraturan kedokteran di keempat sifat kode etik tersebut.
Seluruh cita-cita dan harapan yang saya miliki adalah omong kosong jika tidak diikuti dengan perencanaan yang jelas dan terukur. Oleh karena itu, saya telah menyusun rencana yang harus saya kerjakan selama menjalani masa perkuliahan. Rencana jangka pendek yang saya miliki selama melewati masa pre-klinik adalah dapat mengikuti setiap proses pendidikan dokter di FKUI dengan sistematis, terstruktur, dan dapat secara konsisten mempertahankan prestasi akademik yang baik hingga mampu lulus dengan predikat cumlaude. Terlibat dalam berbagai organisasi yang relevan dengan minat saya di bidang penelitian medis dan pengabdian masyarakat pun tidak luput dari bucket list yang harus saya tuntaskan. Dua hal itulah yang menjadi jalan ampuh bagi saya untuk dapat berperan dalam memajukan kualitas pelayanan kesehatan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia. Untuk dapat mewujudkan rencana selama masa pre-klinik tersebut, saya harus memiliki kesadaran untuk mampu mengelola energi dan waktu yang saya miliki agar setiap kewajiban dan rencana pengembangan diri selama berkuliah di FKUI dapat terlaksana dengan baik serta mampu berjalan beriringan dengan upaya pembangunan relasi selama berkuliah di UI. Saya pun akan membangun kesejawatan yang kuat dengan rekan-rekan di FKUI dengan aktif dalam setiap aktivitas kelompok maupun angkatan, menjadi pribadi yang ramah, peduli, serta mengimplementasikan nilai-nilai kepemimpinan yang sudah saya dapatkan di jenjang pendidikan sebelumnya.
Bagi sebagian mahasiswa kedokteran, masa klinik atau koas mungkin akan menjadi saat yang sangat menyibukkan. Akan tetapi, bagi saya masa klinik adalah kesempatan untuk belajar secara langsung dalam menangani pasien berbekal ilmu kedokteran yang telah didapatkan; untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya dari para dokter yang ahli di bidangnya, memupuk kesejawatan lebih jauh dengan rekan-rekan FKUI melalui frekuensi pertemuan yang intens selama koas di rumah sakit, dan titik persiapan saya dalam merealisasikan cita-cita saya untuk menaruh pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Saya berniat melaksanakan koas dengan jiwa yang positif, niat yang ikhlas, dan pastinya sabar menghadapi setiap tantangan yang datang silih berganti hingga mampu mengantarkan saya untuk mendapatkan gelar dokter dari FKUI dengan kompetensi yang sangat baik dan siap terjun mengabdi kepada masyarakat. Ada keinginan besar saya untuk bisa mewujudkan janji pengabdian di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Saya ingin mengimplementasikan ilmu saya untuk orang-orang yang tak seberuntung kita dalam menerima pelayanan kesehatan; mereka yang tinggal di daerah rawan penyakit menular, hidup dalam masyarakat dengan kesediaan dokter kompeten yang sangat minim, dan anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran inspirator yang nyata di tengah-tengah mereka.
Selepas mewujudkan janji pengabdian di daerah 3T itu, saya punya rencana untuk mengembangkan keilmuan saya di bidang global health karena besar harapan saya mampu menjadi bagian dari putra putri bangsa yang kelak menjadi decision maker terhadap hal-hal vital yang harus diperjuangkan, seperti pelayanan kesehatan yang memadai sebagai hak yang harus diterima oleh setiap penduduk di negeri ini. Selain itu, saya pun sangat tertarik dengan pengembangan penelitian di bidang bedah dan kardiologi mengingat cita-cita besar yang saya miliki untuk bisa menjadi dokter spesialis bedah toraks, kardiak, dan vaskular atau BTKV. Besar doa saya agar rencana untuk bisa menjadi dokter spesialis BTKV, peneliti, dan pengambil kebijakan di sektor kesehatan dapat terwujud dan tercapai beriringan. Harapan-harapan saya tersebut tak lain dan tak bukan adalah untuk mendorong diri saya agar tetap memiliki semangat dalam berjuang membangun kondisi bangsa yang lebih baik di sektor kesehatan; tidak ada lagi orang kecil yang kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, seluruh warga negara menerima perlindungan kesehatan dalam menjalankan pekerjaan dan aktivitas mereka, serta meratanya kesediaan dokter di seluruh daerah di Indonesia. Sekalipun banyak yang ingin saya capai, hal ini tak pernah menggugurkan keyakinan saya bahwa itu bukanlah hal yang mustahil untuk diraih. Semoga Allah Subhanahu wa ta'ala mengijabah doa-doa yang tak luput selalu saya panjatkan.
Diterima sebagai mahasiswa kedokteran di FKUI mendorong saya untuk berkomitmen menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Berubah menjadi diri saya yang lebih bijak dibanding saya yang sebelumnya. Saya akan memperbaiki diri saya menjadi pelajar yang tidak hanya fokus terhadap diri saya sendiri, namun menjadi pelajar yang peduli terhadap rekan-rekan belajarnya; menjadi pelajar yang membantu dengan tulus saat yang lain membutuhkan dan bekerja dengan pembagian tugas yang jelas tanpa rasa ingin mendominasi. Saya berharap dapat menjalankan pendidikan dokter di FKUI dengan lancar, mampu melewati setiap ujian dan tantangan di setiap prosesnya dengan semangat, dan mampu berkontribusi bagi UI maupun dunia melalui pelbagai kesempatan seperti kompetisi, konferensi, maupun aksi pengabdian. Adapun untuk rekan-rekan sejawat, Gelora FKUI 2023, jadilah angkatan yang dapat mempertahankan solidaritas yang kuat dan terus saling mendukung satu sama lain dalam satu kesatuan visi menjadi dokter ideal di masa depan. Dan bagi adik-adik yang ingin belajar di FKUI dan sedang membaca narasi ini, teruslah ingat bahwa menjadi dokter berarti harus siap mengemban tugas yang besar karena kita akan bekerja dengan melibatkan nyawa dan keselamatan pasein. Perjuangan agar bisa masuk FKUI bukanlah proses yang mudah, namun ingatlah bahwa Tuhan selalu memudahkan jalan bagi orang-orang yang sabar dan tekun dalam berjuang. Teruslah yakin bahwa adik-adik akan bisa lolos FKUI dengan jalur terbaik yang telah disiapkan oleh-Nya. Selalu ada jalan untuk mewujudkan niat yang mulia sebagaimana niat luhur untuk bisa menjadi dokter.
Sebagaimana kutipan Buya Hamka yang saya cantumkan di awal narasi ini, bahwa sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa menciptakan kesengsaraan sebagaimana manusia merasakan sakit adalah agar kita mengetahui betapa berharganya merasakan nikmat sehat. Nikmat sehat inilah yang kadang dilalaikan oleh banyak orang. Saat kita diuji oleh suatu penyakit, kita perlu sadar bahwa sesungguhnya bersamaan dengan penyakit itu datang pula obat yang mampu meredakan bahkan menyembuhkan secara total penyakit yang kita alami. Adapun dokter yang berkompeten mengambil peran krusial dengan menjadi kepanjangan tangan atas jalan kesembuhan yang Tuhan berikan. Dokter pula yang menjadi penyalur spirit atas pasiennya. Dengan menjadi dokter masa depan, saya bertekad dapat menjadi harapan atas mereka yang membutuhkan hingga dapat meyakinkan pasien saya bahwa hidupnya berarti dan selalu terberkati.
Referensi:
Hamka B. Tasawuf modern. Jakarta: Republika Penerbit; 2020 Jun 4.
Sugono D, Sugiyono, Maryani Y, Qodratillah MT, Sitanggang C, Hardaniwati M, et al. KBBI daring [Internet]. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; 2016 Oct 28 [updated 2023 Apr; cited 2023 Aug 7]. Available from: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ideal
Dewan Perwakilan Rakyat. UU kesehatan. Jakarta: Sekretariat Negara; 2023. 300 halaman. Report No.:17 tahun 2023.
Afandi D. Nilai-nilai luhur dalam profesi kedokteran: suatu studi kualitatif. Jurnal Kesehatan Melayu. 2017;1(1):26-9.
Andrianto W. Kode etik kedokteran indonesia sebagai penjaga profesionalitas dokter. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2022 Des 5 [cited 2023 Aug 8]. Available from: https://law.ui.ac.id/kode-etik-kedokteran-indonesia-sebagai-penjaga-profesionalitas-dokter-oleh-wahyu-andrianto/
Comments