- Nur Fauziyah Sofiatunnisa Tjaja
- Aug 12, 2023
- 10 min read
Updated: Aug 13, 2023
Narasi Perjuangan
Ingin Jadi Dokter, Karena Siapa?
Gadis kecil berumur lima tahun itu terheran-heran. Obsidiannya menjelajah ke arah timur, dimana tiga orang teman sekelasnya sedang menangis. Sang guru berada tepat di samping mereka, berusaha meredakan isak tangis itu. Akan tetapi, bukannya semakin padam, tangisan salah satunya bahkan mulai berubah menjadi raungan ketakutan. Salah satu temannya bahkan berteriak, “Aku tidak mau disuntik!!”. Sembari menyesuaikan posisinya dalam antrian pemberian vitamin A rutin tersebut, ia mulai berpikir, "Hal apa yang sebenarnya membuat air muka teman-temannya pucat pasi seperti itu? Siapa yang akan disuntik? Bukankah ini hanyalah pemberian vitamin A biasa? Apakah seseorang telah menakut-nakuti mereka dengan mengatakan bahwa dokter adalah ‘tukang suntik’? Lantas, adakah cara untuk mengatasi rasa ketakutan mereka?"
Perkenalkan, nama saya Nur Fauziyah Sofiatunnisa Tjaja. Keluarga dan teman sekolah saya sejak TK hingga SMP biasa memanggil saya Fia. Namun, saat SMA saya merasa ingin memiliki nama panggilan baru, jadilah saya memperkenalkan nama saya sebagai Aya kepada semua orang hingga saat ini. Saya adalah seorang mahasiswi S1 Reguler Pendidikan Dokter Universitas Indonesia angkatan 2023, yang juga merupakan alumni SMAN 78 Jakarta yang lulus pada tahun 2022 lalu. Di tahun 2022 pula, saya berkesempatan untuk menempuh pendidikan di program studi Gizi UI melalui jalur penerimaan SIMAK reguler. Saya sangat nyaman dalam menempuh satu tahun ajaran di prodi gizi tersebut. Akan tetapi, mimpi dan cita-cita saya yang sudah terbangun untuk menjadi seorang dokter sedari TK, tidak bisa saya lepaskan begitu saja. Karena itulah saya memutuskan untuk mengikuti Seleksi Nasional Berbasis Tes di tahun 2023 kemarin, yang kemudian mengantarkan saya selangkah lebih dekat untuk meraih cita-cita sebagai dokter. Ya, saya dinyatakan diterima di Program Studi Pendidikan Dokter UI pada tahun 2023 ini melalui jalur SNBT.
Sepanjang perjalanan akademis saya, FKUI selalu menjadi salah satu tujuan saya dalam menempuh pendidikan tinggi. Bukan hanya menjadi pionir dalam mencetak para dokter di Indonesia, FKUI sebagai fakultas kedokteran pertama dan tertua di Indonesia pun turut serta dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaannya. Dimulai dari sekolah dokter djawa yang kemudian berkembang menjadi STOVIA, FKUI tentunya telah berperan lebih dari sekedar lembaga akademik, tetapi juga merupakan tonggak perjuangan pemuda Indonesia [1]. Terlebih lagi dalam bidang medis dan kesehatan.
Menempuh pendidikan di FKUI selalu menjadi salah satu mimpi seorang Aya kecil. Seperti yang telah saya ceritakan pada pembuka narasi saya ini, cita-cita saya telah tumbuh sejak saya menduduki bangku taman kanak-kanak. Alasan awalnya sangat sederhana, saya ingin menjadi dokter untuk memperbaiki citra dokter di mata orang lain terutama anak-anak bahwa dokter itu menyeramkan dan suka menyuntik. Hingga seringkali saya jumpai banyak orang yang enggan memeriksakan dirinya ke dokter apabila mereka sakit.
Walau pada perjalanannya saya sempat sedikit merubah pikiran untuk menempuh pendidikan kedokteran di universitas lain, tetapi pada akhirnya FKUI punya magnet tersendiri untuk menarik saya kembali kepadanya. Lingkungan pembelajaran yang sangat mendukung, serta kredibilitas lulusannya yang tak perlu diragukan lagi, menjadi dua dari sekian banyak alasan saya melabuhkan diri pada FKUI sebagai tempat untuk menempuh pendidikan lanjutan. Satu titik yang membuat saya yakin bahwa saya ingin menjadi seorang mahasiswi FKUI adalah saat tahun 2018, yaitu ketika paman saya ditemukan meninggal dunia dalam mobilnya di Jalan Setiabudi Jakarta Selatan, jenazah beliau kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo untuk menjalani proses visum jenazah. Di unit forensik RSCM tersebut, saya memperhatikan bagaimana para dokter forensik lulusan FKUI dengan telatennya melakukan tugas mereka. Hal inilah yang meyakinkan saya bahwa menjadi bagian dari FKUI menjadi salah satu hal yang saya tuju di masa depan. Terlebih lagi, terdapat cukup banyak anggota keluarga saya yang merupakan alumni Universitas Indonesia. Walau bukan hanya dari Fakultas Kedokteran, mereka menjadi contoh nyata bagi saya agar semakin yakin untuk menempuh pendidikan di Universitas Indonesia itu sendiri.
Sedari TK, saya cukup dikenal sebagai siswi yang aktif dan berprestasi baik di bidang akademik maupun non-akademik. Akan tetapi, sejujurnya sejak TK hingga kelas 8 SMP, saya tidak pernah betul-betul merasakan ‘kerasnya’ belajar. Karena kedua orangtua saya tidak pernah menuntut banyak terhadap nilai-nilai akademis saya. Pun karena nilai saya juga tidak pernah terlalu rendah, sehingga mereka tidak pernah menegur ataupun mempermasalahkan nilai pelajaran saya, selama mereka masih melihat saya konsisten belajar.
Salah satu tantangan bagi saya baru saya rasakan saat saya harus tetap menjaga dan meningkatkan nilai saya saat kelas 9 SMP, dimana pada waktu itu saya terpilih untuk mewakili DKI Jakarta dalam Olimpiade Literasi Siswa Nasional yang dilaksanakan pada bulan September tahun 2018. Pada perlombaan tersebut, saya memang tidak keluar sebagai juara umum, ataupun juara harapan. Akan tetapi, saya amat bersyukur sebab saya dapat menjadi finalis 10 besar nasional yang terpilih dari para finalis provinsi lainnya. Setelah perlombaan tersebut, saya harus mengejar ketertinggalan saya dalam belajar di kelas, mengingat olimpiade tersebut memakan waktu lima hari karantina yang menjadikan saya harus izin dispensasi dari sekolah. Pada waktu itu, nilai TO saya bahkan sempat stagnan. Stagnan-nya nilai saya disini cukup mengkhawatirkan, terutama bagi papa saya. Karena menurut beliau, jika saya memang menginginkan masuk ke PTN apalagi FKUI, maka sebaiknya saya masuk ke SMA negeri yang berkualitas. Agar menyokong dan memudahkan jalan saya untuk meraih perguruan tinggi yang saya inginkan. Sejak saat itulah, saya menjadi sangat giat, rajin, tekun, dan serius dalam mempersiapkan UN SMP. Segala usaha saya pun terbayar dengan hasil nilai UN SMP tahun 2019 saya yang cukup memuaskan, bahkan hampir mencapai nilai sempurna.
Langkah saya pun berlanjut ke tingkat SMA, di mana SMA Negeri 78 Jakarta menjadi pilihan saya untuk menempuh pendidikan menengah atas. Terlebih lagi saya juga sangat bersyukur karena saya diterima di SMA tersebut melalui jalur prestasi Olimpiade Literasi Siswa Tingkat Nasional tadi, sehingga saya tidak perlu terlalu mengkhawatirkan seleksi menggunakan metode zonasi.
Pada awalnya jalan yang saya tempuh di SMA cukup mudah. Setidaknya, hingga saya menginjakkan kaki di bangku kelas 10 semester 2. Tepatnya pada bulan Maret 2020, dimana para siswa dan siswi dari seluruh Indonesia, bahkan kemudian satu dunia, harus dirumahkan karena adanya pandemi Covid-19. Disinilah titik kejatuhan saya dimulai. Sebagai seorang gadis remaja yang sangat aktif, bertahan di dalam rumah dan tidak diperbolehkan pergi kemanapun adalah sesuatu hal yang sangat asing bagi saya. Terutama karena satu dan lain hal yang tidak bisa saya sebutkan disini, mengantarkan saya pada salah satu keputusan paling ekstrim dalam hidup saya. Yaitu melepaskan seluruh nilai dan prestasi akademis saya. Ya, saya, dengan kesadaran penuh, memutuskan untuk tidak belajar lagi seperti sedia kala. Hal ini pula yang mengantarkan saya pada kemerosotan nilai-nilai saya di semester-semester selanjutnya. Terlebih lagi, karena nilai saya di semester pertama cukup tinggi, sehingga kemerosotan tersebut semakin jelas kenampakannya. Akan tetapi, kemerosotan nilai ini bukanlah hal yang paling parah, melainkan rasa malas dan ketidakpedulian saya terhadap diri saya sendiri lah yang menjadikan saya tidak memiliki cukup waktu untuk mengejar ketertinggalan saya saat saya “vakum belajar” selama sekitar tiga semester.
Memasuki semester kelima, atau semester gasal di kelas 12, mata dan hati saya mulai terbuka akan tujuan seseorang menempuh pendidikan yang sebenarnya. Mengutip dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara [2], tujuan utama pendidikan yaitu sesederhana untuk mencapai kemerdekaan. Saya juga menemukan jawaban tentang mengapa konsep pendidikan itu berkesinambungan, dan mengapa saya harus memegang satu alasan paling kuat untuk terus belajar. Yaitu, karena Allah Swt., Tuhan saya. Ya, se-simpel itu. Bukan karena orangtua saya, bukan karena teman-teman saya, bukan karena guru-guru saya, bahkan bukan karena rasa bangga saat pembagian rapor ataupun saat nama saya dipanggil sebagai siswi berprestasi di hadapan seluruh warga sekolah. Akan tetapi, sesederhana karena saya ingin menjadi hamba-Nya yang berguna untuk banyak orang. Dan jalan yang ingin saya tempuh untuk dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya adalah melalui ilmu, lebih spesifiknya ilmu di bidang medis. Hal-hal inilah yang mampu mematahkan pemikiran-pemikiran yang membuat saya menyerah pada prestasi akademis saya tiga semester sebelumnya. Ditambah pula dengan bergabungnya saya sebagai anggota Paskibraka Jakarta Barat tahun 2021, yang membuat saya semakin tertempa baik secara fisik maupun mental, dan membuat saya perlahan-lahan pulih dari seluruh pemikiran-pemikiran demotivatif tersebut.
Sayangnya, di waktu saya tersadar dan berusaha untuk bangkit kembali, saya sudah terlambat untuk mengejar ketertinggalan akademis selama ini. Karena itulah, tentu nama saya tidak tercantum dalam daftar nama siswa/siswi eligible SNMPTN. Saya bahkan lulus dari SMA dengan hasil yang sangat standar bahkan ada yang hampir di bawah kriteria kelulusan minimal. Tetapi tidak apa, pikir saya waktu itu. Saya masih memiliki kesempatan kedua untuk mengejar mimpi saya, yaitu melalui jalur UTBK-SBMPTN. Saya pun mulai mempersiapkan diri untuk menempuh ujian tertulis berbasis komputer tersebut. Akan tetapi, terdapat beberapa kendala yang sedikit mengganggu jadwal belajar saya, sehingga persiapan belajar saya dalam menghadapi UTBK waktu itu saya akui memang belum maksimal, hingga hasil SBMPTN saya menyatakan bahwa saya ditolak di kedua PTN pilihan saya, yaitu FKUI dan FK Udayana. Saya pun lanjut untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai jalur ujian mandiri.
Di tahun 2022 kemarin, saya mendaftarkan diri pada jalur mandiri di cukup banyak PTN. Diantaranya adalah UI, ITB, ITS, UB, Undip, UNS, Unsoed, Unpad, UNY, serta Unair. Dari ke-sepuluh PTN tersebut, saya dinyatakan diterima di lima PTN berbeda dalam program studi yang berbeda-beda pula. Yaitu, Gizi UI, Farmasi ITB, Aktuaria ITS, Gizi UB, serta Biologi UNY. Saya sempat bimbang dalam memilih antara prodi Gizi UI dan Farmasi ITB. Dengan mempertimbangkan bahwa saya memang masih ingin mengikuti UTBK di tahun setelahnya, serta lokasi dan dana, maka pada akhirnya saya memilih untuk menempuh studi di Gizi UI pada tahun 2022 kemarin. Menempuh gap year secara penuh bukanlah pilihan bagi saya. Karena sifat saya yang sangat aktif tadi, ditambah kondisi saya di keluarga sebagai anak tunggal, mengharuskan saya untuk tetap bersekolah agar dapat bersosialisasi.
Selama menempuh pendidikan di Gizi UI selama satu tahun ajaran, saya telah mempelajari cukup banyak hal. Bukan hanya perihal akademis, tetapi juga ilmu sosial. Terutama dari pertemanan dan solidaritas di angkatan Gizi UI 2022. Teman-teman terdekat saya pun sangat suportif terhadap niat saya mengikuti UTBK-SNBT lagi. Walau kami sempat cukup bersedih mengingat besarnya kemungkinan bagi kami tidak bisa bertemu sesering sebelumnya, tetapi saya tetap bersyukur sekali kepada Tuhan karena telah ditakdirkan untuk mengenal mereka. Terlebih lagi ketika masuk ke semester dua, dua orang teman saya yang bernama Hilal dan Izam, yang juga sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti UTBK-SNBT di tahun ini untuk mengejar program studi kedokteran, mengajak saya untuk mengikuti salah satu program bimbingan belajar yang cukup populer bersama mereka. Saya ingat sekali waktu itu saya bahkan sempat menjuluki Hilal sebagai “sales” bimbel saking persuasifnya ia dalam mengajak saya. Setelah melalui beberapa pertimbangan dan tentunya dengan persetujuan orangtua, saya pun memutuskan untuk mengikuti program Superintensif UTBK-SNBT yang diselenggarakan bimbel tersebut. Hingga saat ini, tidak pernah saya menyesal menerima ajakan mereka. Selamanya saya akan selalu bersyukur karena telah dipertemukan dengan mereka berdua. Walau saat ini kami harus menempuh pendidikan kedokteran di universitas yang berbeda, doa serta dukungan saya akan selalu menyertai mereka dan teman-teman saya lainnya.
Kembali ke Program Superintensif UTBK-SNBT tadi, program tersebut berlangsung selama sekitar dua bulan, sejak akhir Maret hingga dilaksanakannya UTBK-SNBT pada Mei 2023. Selama mengikuti program tersebut, saya dituntut untuk bisa membagi waktu se-cerdik mungkin. Karena selain harus mengerjakan setidaknya empat paket soal setiap harinya dari bimbel, saya juga tetap harus menyeimbangkan persiapan belajar saya untuk ujian akhir di prodi Gizi. Saya ingat, saya bahkan seringkali mengerjakan paket-paket soal di kereta, di motor, atau bahkan saat sedang menunggu makanan saya datang di restoran. Lucunya, saya malah sangat menikmati proses belajar seperti itu. Proses pembelajaran yang memang sedari awal penuh dengan motivasi untuk maju dan berproses dari dalam diri saya sendiri tanpa paksaan orang lain. Saya pun melaksanakan UTBK pada 25 Mei 2023. Setelahnya, saya hanya dapat berdoa dan ber-tawakkal kepada Allah Swt agar mendapat hasil terbaik.
Seluruh proses tadi akhirnya mengantarkan saya menjadi mahasiswi program studi Pendidikan Dokter Universitas Indonesia 2023. Tepatnya pada pengumuman hasil UTBK-SNBT di tanggal 20 Juni lalu. Perasaan saya bercampur aduk saat itu. Bahagia sudah tentu, ditambah mama saya yang selalu mengingatkan saya untuk memperbanyak rasa syukur. Karena sesungguhnya hasil yang saya terima tidak dapat terjadi tanpa izin dari Allah Swt.
Proses penerimaan tersebut tentunya hanyalah titik awal dari lembar baru perjalanan hidup saya di FKUI. Kedepannya, terdapat setidaknya tiga hal yang sangat ingin saya tingkatkan dalam hidup saya. Yang pertama, manajemen waktu, kedua, belajar berempati terhadap orang lain, dan yang ketiga yaitu belajar untuk selalu bersyukur kepada Allah Swt. Karena apapun yang saya lakukan tidak akan bisa terjadi jika tanpa izin-Nya. Pun, sebelumnya saya menyadari betul bahwa saya adalah seorang anak yang seringkali ditegur oleh orangtua saya karena seringkali menunda-nunda pekerjaan. Karenanya, saya akan belajar untuk mendahulukan urusan terpenting sesuai skala prioritas saya kedepannya. Serta belajar berempati kepada orang lain, karena kedepannya sebuah tugas mulia sebagai dokter tidak akan bisa saya jalankan dengan baik apabila saya tidak memiliki empati tinggi terhadap orang lain. Saya juga berharap agar saya, bersama dengan 249 teman-teman di FKUI lainnya dapat terus berproses dan bekerja bersama dengan kompak dan sejalan kedepannya.
Di masa mendatang, saya sangat berharap agar dapat menjadi seorang dokter yang ideal. Bagi saya, dokter yang ideal adalah dokter yang memiliki empati tinggi, serta dapat mengaplikasikan ilmu medis yang telah ia kuasai kepada pasien-pasiennya kelak [3]. Dokter yang ideal bagi saya juga adalah dokter yang melayani pasiennya dengan tulus sepenuh hati, dan tetap memperhatikan prinsip-prinsip bioetik kedokteran [4]. Beberapa karakter yang saya harap dapat terapkan di masa mendatang mencakup 3 K, yakni Kesantunan, Kesejawatan, dan Kebersamaan [5]. Saya ingin, agar di masa mendatang saya juga memiliki kemampuan komunikasi terutama terhadap pasien yang sangat baik serta image sebagai dokter yang ramah. Sehingga, bahkan dari saat pertama kali pasien saya berkonsultasi dengan saya, mereka seakan mendapat sugesti bahwa beban penyakitnya telah berkurang drastis atau bahkan seakan-akan telah sembuh. Hal ini sejalan dengan gagasan saya yang ingin merubah citra dokter yang dianggap menyeramkan bagi beberapa orang seperti yang telah saya jelaskan tadi. Selain itu, saya juga memiliki gagasan untuk membuat suatu alat medis di masa depan. Yang berfungsi seperti alat suntik, namun bekerja seperti mekanisme saat kita digigit oleh nyamuk. Sehingga rasa sakitnya tidak terasa, namun obat atau anestesi tersebut tetap bisa diinjeksikan kepada pasien.
Untuk menggapai cita-cita dan gagasan-gagasan saya tadi, tentunya dibutuhkan kemampuan sebagai seorang dokter yang mumpuni. Saya berencana untuk meningkatkan fokus saya selama belajar dan membiasakan diri untuk me-review materi pembelajaran secara konsisten setiap harinya. Sehingga saya memiliki pemahaman terhadap seluruh materi kedokteran yang sangat kuat dan mengakar, serta tidak tergesa-gesa dalam mempersiapkan diri apabila akan menempuh ujian. Cara-cara inilah yang saya harapkan dapat mengantarkan saya meraih nilai keseluruhan yang memuaskan nantinya.
Adapun, rencana saya yang lebih jauh lagi, yaitu saya sangat termotivasi untuk membuat ‘rumah sehat’, yaitu suatu pusat pelayanan kesehatan terpadu, yang memiliki sistem dan alur pelayanan kesehatan secara mandiri, yang menerapkan sistem subsidi silang dan tidak bergantung pada pihak manapun [6]. Sehingga dapat mencakup dan menolong lebih banyak orang yang membutuhkan bantuan medis di luar sana. Kenapa dinamakan rumah sehat? Sederhananya, karena menurut saya nama itu adalah suatu doa dan pengharapan. Sehingga, saya ingin siapapun yang berkunjung dan berobat ke pusat kesehatan milik saya kelak dapat selalu termotivasi untuk menjadi sehat setelah berkunjung ke pusat kesehatan tersebut.
Dan kepada teman-teman ataupun adik-adik penerus yang ingin masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pesan saya hanya satu, yaitu tentukan niat awal dan tujuanmu. Mengapa ingin masuk ke FK, terlebih lagi mengapa harus FKUI? Setelah kamu mengetahuinya, pegang terus niat dan tujuanmu sebagai motivasi terbesar dalam memperjuangkan cita-citamu sebagai dokter. Dengan niat, usaha yang tekun, serta doa dan dukungan dari orangtua dan teman-teman, Insyaallah saya yakin kalian dapat meraih mimpi kalian, sebesar apapun itu. Saya harap, teman-teman dan adik-adik dapat memetik sedikit pelajaran dari cerita saya, yang pada akhirnya, apabila ada yang bertanya pada saya, “kamu mau jadi dokter, karena apa dan untuk siapa?” dengan santai saya akan menjawab, “karena Allah, untuk menjadi hamba-Nya yang berguna untuk banyak orang.”
Referensi :
Hoesein R, Tanzil M. Sejarah - FKUI [Internet]. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2019. Available from: https://fk.ui.ac.id/sejarah.html
Jaziroh Y. SEBUAH REFLEKSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN [Internet]. sman16garut.sch.id. SMAN 16 Garut; 2022 [cited 2023 Aug 12]. Available from: https://sman16garut.sch.id/read/31/sebuah-refleksi-pemikiran-ki-hajar-dewantara-tentang-pendidikan
Brennan D. What Is a Physician? [Internet]. WebMD. 2021 [cited 2023 Aug 12]. Available from: https://www.webmd.com/a-to-z-guides/what-is-physician
Allen M. Bioethics [Internet]. National Institute of Environmental Health Sciences. 2021 [cited 2023 Aug 12]. Available from: https://www.niehs.nih.gov/research/resources/bioethics/index.cfm#:~:text=What%20is%20Bioethics
Rokom. 3 Karakter ini Harus Dimiliki Seorang Dokter [Internet]. Sehat Negeriku. Kementrian Kesehatan; 2018 [cited 2023 Aug 12]. Available from: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20181215/4928833/3-karakter-harus-dimiliki-seorang-dokter/#:~:text=Maka%20dalam%20melaksanakan%20tugas%20keprofesiannya
Mahendradhata Y, Trisnantoro L, Listyadewi S, Soewondo P, Marthias T, Harimurti P, et al. The Republic of Indonesia Health System Review [Internet]. World Health Organization. Asia Pacific Observatory on Health Systems and Policies; 2017 [cited 2023 Aug 12]. Available from: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/254716/9789290225164-eng.pdf
Comments