- Michelle Cahyaputri Windiarto
- Aug 11, 2023
- 15 min read
Updated: Aug 13, 2023
Narasi Perjuangan
Nama saya Michelle Cahyaputri Windiarto, biasa dipanggil Michelle. Saya berasal dari Sekolah Regina Pacis Bogor dan sekarang berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Kelas Reguler. Saya diterima sebagai mahasiswa FKUI melalui jalur SNBP atau jalur prestasi.
Hingga saat ini, diterima sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat saya bayangkan. Saat ditanya mengenai kampus dan profesi impian, mungkin mengatakan “menjadi dokter lulusan Universitas Indonesia” 7 tahun yang lalu hanyalah sekedar omongan yang ringan bobotnya. Kini, kalimat tersebut memiliki lebih banyak makna dan tanggung jawab yang harus dipikul.
Dari kecil, saya selalu menganggap FKUI sebagai fakultas yang menjanjikan setiap mahasiswanya sebuah harapan. Harapan tersebut bukan hanya harapan untuk menjadi orang yang sukses, namun orang yang dapat berbagi dan berkontribusi balik terhadap komunitas dan masyarakat. Meskipun bagi anak 11 tahun, segala informasi yang didapatnya merupakan sebuah hearsay, kala itu saya benar-benar percaya tanpa ragu bahwa FKUI merupakan sebuah ladang kesempatan dan harapan bagi siapapun yang bercita-cita tinggi.
Kini sebagai mahasiswa FKUI, meskipun sudah 7 tahun berlalu sejak pertama kalinya saya bermimpi untuk berkuliah di FKUI, pandangan dan perasaan saya terhadap FKUI tidak berubah sedikitpun. Tidak diragukan lagi bahwa FKUI sendiri merupakan universitas terbaik dan tertua di Indonesia yang menyediakan program pendidikan dokter. Saya percaya FKUI tidak hanya dipimpin oleh pendidik-pendidik yang kompeten dan berkualitas, namun juga pelayanan pendidikan yang memberikan banyak oportunitas dan kesempatan untuk berkembang bagi mahasiswanya. Selain itu, FKUI juga menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung proses pembelajaran mahasiswanya. Meskipun saya belum menjalani rangkaian aktivitas perkuliahan, saya banyak melihat mahasiswa FKUI yang menjadi delegasi untuk ajang perlombaan dan konferensi internasional sebagai perwakilan Indonesia. Hal tersebut membuat saya percaya bahwa FKUI memberikan bimbingan dan pengarahan bagi mahasiswanya untuk memaksimalkan potensi dirinya masing-masing. Menurut saya, adanya hal tersebut membuat FKUI sebagai fakultas yang mengakomodasi, membantu, merawat, dan mengasah kemampuan generasi bangsa.
Memperjuangkan FKUI tanpa henti bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Meskipun demikian, selama perjalanan meraih FKUI, saya tidak pernah patah semangat atau hilang harapan. Sebagian besar dari motivasi saya untuk masuk FKUI datang dari keinginan sendiri untuk menjadi bagian dari kampus yang terkenal akan kualitas pendidikan dan alumninya. Saya menanamkan rasa keinginan yang tinggi sedari kecil, sehingga saat SMA saya sudah memiliki mindset default dimana saya harus menjadi bagian dari FKUI. Agak idealis memang, tapi hal tersebut pada akhirnya menjadi bahan bakar dari semangat saya untuk terus berjuang.
Selama SMA, saya dipertemukan oleh orang-orang yang menjadi bagian dari Universitas Indonesia. Saat itu, saya aktif dalam klub debat inggris dan banyak dilatih oleh alumni sekolah yang menjadi debaters English Debate Society Universitas Indonesia (EDS UI). Saya juga dipertemukan oleh beberapa debaters EDS UI lainnya yang memiliki segudang prestasi. Meskipun bukan dari Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mereka memberikan saya kepastian bahwa UI memang dapat mengasah dan memberikan oportunitas bagi mahasiswanya untuk menjadi hebat dan berprestasi, layaknya debaters yang saya temui pada kala itu. Beberapa dari mereka merupakan role model yang menjadi inspirasi dan penyemangat saya untuk terus berjuang menjadi bagian dari UI. Biarpun mereka bukan berasal dari Fakultas Kedokteran, tentu tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat saya juga bisa mendapatkan kesempatan untuk berkarya dan berprestasi seperti mereka dalam bidang yang saya minati sendiri.
Tentu saja, perjuangan yang saya lalui untuk berada di titik ini tidaklah mudah. Diperlukan banyak pengorbanan dan perjuangan agar bisa membuat keputusan yang bulat untuk berkuliah di FKUI, serta agar bisa diterima sebagai mahasiswa FKUI.
Selama SD hingga SMP, saya memiliki keputusan yang bulat untuk menjadi dokter. Kala itu, saya percaya bahwa saya harus membangun sebuah kebiasaan untuk fokus terhadap perjalanan studi saya. Pada saat kelas 6 SD, saya diperkenalkan pada mata pelajaran biologi untuk yang pertama kalinya. Setiap kelas biologi, saya ingat betapa senang dan semangatnya saya untuk menyelesaikan projek dan tugas yang diberikan oleh guru saya. Pada kala itu, saya dan teman-teman saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan praktikum belah kodok. Meskipun saya bukan tipe orang yang berani dengan binatang, namun saya ingat betapa senangnya saya saat dapat memegang pisau bedah dan bertindak seolah-olah saya adalah dokter bedah.
Keinginan untuk menjadi dokter pun diperkuat saat saya memasuki SMP. Pelajaran biologi yang saya pelajari menjadi semakin rumit dan kompleks, namun saya selalu merasa tertantang setiap saya dihadapkan oleh kasus-kasus yang dilontarkan oleh guru kami. Selain tertarik dalam biologi, saya juga memastikan untuk mempertahankan performa yang baik selama masa SMP. Saya mulai sadar bahwa saya perlu membangun reputasi akademik yang bagus, tidak hanya agar dipermudah dalam mempelajari pelajaran di tingkat berikutnya, namun agar saya dapat secara perlahan membangun karakter dan rutinitas belajar. Dengan menargetkan suatu hasil performa akademik, saya belajar untuk lebih mengenal diri saya, terutama mengenai bagaimana saya belajar, apa kekurangan saya, dan bagaimana saya bisa berkembang sebagai individu.
Saat memasuki masa SMA, saya mulai bimbang mengenai jurusan apa yang harus saya ambil. Hal ini bukan karena ketidaksukaan saya terhadap bidang kedokteran, namun saya ingin menggunakan waktu yang saya miliki untuk menjelajahi setiap jurusan sebelum membuat keputusan. Akan tetapi, saya masih bersikeras untuk dapat diterima di Universitas Indonesia tanpa jalur tes. Setelah menyaksikan jerih payah kakak saya saat belajar UTBK, saya membuat keputusan bulat untuk belajar dengan giat di masa SMA agar dapat diterima melalui jalur rapot. Kala itu, saya belum tahu jurusan apa yang saya minati, namun saya tahu bahwa saya sangat ingin berkuliah di Universitas Indonesia dan diterima tanpa jalur tes.
Saya memaksimalkan kebebasan yang saya dapatkan saat harus belajar dari rumah secara daring karena saya merasa memiliki lebih banyak kontrol atas waktu dan ruang yang saya miliki. Saya mulai mengikuti ekstrakurikuler debat inggris (Regina Pacis English Debating Society / REDS) karena saya ingin memanfaatkan potensi saya dalam berbahasa inggris. Alasan yang paling utama lagi, saya merasa bahwa komunitas debat merupakan komunitas yang dipenuhi oleh individu-individu revolusioner dan berpikiran terbuka terhadap segala opini dan ide. Karena baru berpindah sekolah, saya merasa sulit untuk beradaptasi dalam lingkungan baru dan menemukan komunitas dimana saya bisa bebas berpendapat dan berkarya. Dengan mengikuti REDS, saya memiliki wadah tersendiri untuk belajar mengenai isu-isu global dan mengekspresikan pikiran saya. Keikutsertaan saya dalam REDS juga berbuah hasil ketika saya mulai meraih beberapa kejuaraan di berbagai lomba setiap tahunnya. Bagi saya, meskipun saya masih bimbang dalam jurusan saya, saya bersikeras untuk membangun profil yang bagus, baik dalam segi IPA maupun IPS apabila saya memutuskan untuk lintas jurusan.
Mempertahankan prestasi bukanlah satu-satunya perjuangan yang saya lewati, namun saya juga harus mengalami beberapa fase eksplorasi diri dalam menentukan jurusan. Saat kelas 10, saya sempat ragu dengan keinginan saya untuk menjadi dokter, meskipun pelajaran biologi masih menjadi mata pelajaran yang paling saya minati. Saya merasa bahwa saya belum terlalu terbuka dengan jurusan lain, sehingga saya takut apabila saya merasa menyesal dengan pilihan saya nanti. Alhasil, saya sempat mempertimbangkan opsi karir lain seperti teknik kimia, karena saat itu saya juga mahir dalam mata pelajaran kimia. Meskipun sebagian besar minat saya juga berakar dari pengalaman mama saya sebagai dokter, saya mulai merasa tidak nyaman apabila identitas dan keinginan saya sebagai individu untuk menjadi seorang dokter hanya dilihat semata-mata sebagai “cikal-bakal anak dokter”, sehingga memang sudah tidak heran lagi dan sudah sepantasnya saya mengikuti jejak mama dan kedua kakak saya. Saya merasa bahwa saya harus membuktikan kepada orang lain bahwa saya juga dapat memiliki minat tersendiri terlepas dari keluarga saya. Dengan begitu, saya mulai menghindari apapun yang berbau kedokteran. Meskipun terdengar konyol, terdapat masa-masa dimana saya enggan untuk menonton serial TV mengenai kedokteran karena takut saya akan berubah pikiran (padahal pada saat itu saya sedang gemar-gemarnya menonton seri TV ‘The Good Doctor’).
Melihat saya kebingungan dalam memilih jurusan, papa saya sempat menyarankan saya untuk mengambil jurusan akuntansi. Ia melihat bahwa saya merupakan orang yang teliti dan telaten dalam urusan finansial. Dengan begitu, saya sempat memiliki tekad yang bulat untuk lintas jurusan dan mempelajari akuntansi di perguruan tinggi. Saat itu, saya sudah mengikuti kursus bimbel IPS sembari mengejar prestasi dalam lomba-lomba debat inggris untuk memperkuat profil saya agar dapat lintas jurusan. Selama 2 tahun berjuang di SMA, saya memiliki firasat yang baik dan niat yang bulat untuk lintas jurusan. Awalnya, saya tidak banyak bertanya-tanya dan langsung mengikuti saran papa saya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, saya semakin merasa ragu akan keputusan saya untuk lintas jurusan dan sempat berpikir untuk memilih jurusan kedokteran.
Saya sadar bahwa ternyata saya tidak minat dalam pelajaran akuntansi yang diajarkan di bimbel. Namun, pengalaman yang semakin membuat saya ragu adalah ketika mama saya sakit dan diharuskan untuk menjalankan rawat inap. Saya dan kedua kakak saya bergantian hari untuk menginap di rumah sakit untuk menemani mama saya. Setiap menjenguk mama di rumah sakit, saya mengamati pekerjaan dokter-dokter yang setiap pagi, sore, dan malam memeriksa keadaan mama di kamarnya. Saya memposisikan diri sebagai dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut dan benar-benar merasakan pengalaman saya saat saya datang setiap malam ke rumah sakit. Saya mulai mengamati lingkungan sekitar dan bertanya kepada diri saya sendiri apabila dalam 10-20 tahun kemudian saya masih ingin berada di lingkungan rumah sakit untuk mengabdi sebagai dokter.
Sembari menulis narasi ini, saya sadar bahwa minat saya terhadap kedokteran tidak pernah hilang. Namun, saya hanya bersikeras dalam menekan dan mengesampingkan minat tersebut selama bertahun-tahun. Akan tetapi, saya sadar bahwa rasa komitmen dan tanggung jawab saya lebih besar terhadap diri sendiri, dibandingkan terhadap orang lain. Saya merasa perlu untuk mengikuti apa yang saya inginkan dan bukan sugesti orang lain.
Pada akhirnya, saya memutuskan untuk banting setir dan mendaftarkan diri ke FKUI melalui jalur SNBP. Sejujurnya, pada saat itu saya tidak ada perasaan ragu atau khawatir apabila tidak diterima melalui jalur SNBP. Mendaftarnya pun pada saat sudah mendekati tenggat waktu karena saya menghabiskan banyak waktu mempertimbangkan apakah saya harus lintas jurusan atau lebih baik mengambil jurusan kedokteran. Hal tersebut membuat saya lelah secara mental dan emosional sehingga pada saat mengunggah berkas SNBP, saya tidak terlalu memikirkan diterima atau tidak. Selain mendaftar melalui jalur SNBP, saya juga mengikuti pendaftaran Talent Scouting untuk masuk program kelas internasional. Meskipun orang tua saya sempat merasa terbebani secara finansial apabila saya masuk kelas internasional, mereka tetap mendukung dan mendorong saya untuk mendaftar agar saya bisa menjadi mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia. Kala itu, saya dibantu oleh kakak kelas saya yang telah diterima melalui jalur Talent Scouting pada tahun sebelumnya. Saya dibantu mulai dari penulisan esai hingga berlatih wawancara. Semakin hari saya semakin khawatir dan ragu akan hasil SNBP dan Talent Scouting. Saya mulai sadar bahwa apabila saya tidak diterima di kedua jalur tersebut, maka saya harus bertarung di SNBT. Sementara itu, selama ini saya tidak terlalu memfokuskan diri untuk belajar SNBT karena saya sibuk mengejar prestasi dalam lomba-lomba debat untuk memaksimalkan peluang saya agar diterima melalui jalur rapot.
Di hari pengumuman SNBP, kenangan yang saya miliki mungkin tidak memiliki kesan yang dalam seperti orang lain. Pada hari itu, saya baru selesai ujian sekolah mata pelajaran fisika dan inggris. Sepulang sekolah saya menunggu hingga jam 15:00 untuk pengumuman. Anehnya, saya tidak merasa gugup ataupun takut, semua yang terjadi pada hari itu berlalu begitu cepat. Meskipun demikian, hingga saat ini saya sangat bersyukur atas diterimanya sebagai mahasiswa FKUI Kelas Reguler melalui jalur SNBP. Saya merasa bahwa masa-masa sulit yang saya lalui pada akhirnya berbuah hasil yang sesuai dengan impian saya sejak dulu.
Setelah masuk FKUI, tentunya saya mengharapkan adanya transformasi diri agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Setelah diterima di FKUI, saya ingin menjadi lebih strategis dan bijak dalam mengalokasikan waktu. Sebelumnya saat masih SMA, saya sadar bahwa mengorbankan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi istirahat dan kebutuhan lainnya untuk belajar, merupakan sebuah strategi yang mungkin kurang cocok di FKUI. Walaupun akan harus ada pengorbanan, saya merasa bahwa mengalokasikan waktu untuk menjaga kesehatan fisik dan mental saya sama pentingnya dengan upaya untuk mengejar performa akademik. Maka dari itu, setelah diterima di FKUI, saya berkomitmen untuk mengubah cara dan waktu saya belajar dengan lebih disiplin terhadap penggunaan waktu.
Setelah masuk FKUI, saya harap dapat mengembangkan potensi akademik saya dengan fokus belajar dan mengejar performa yang memuaskan setiap semesternya. Tidak hanya akademik, saya juga beraspirasi untuk meraih prestasi di dalam dan di luar bidang kedokteran. Dengan berkontribusinya saya di FKUI, saya berharap bisa membanggakan nama FKUI baik dari segi nasional maupun internasional.
Teruntuk angkatan FKUI 2023, saya berharap kami dapat saling mendukung dan mendorong sesama untuk belajar dan berkembang bersama menjadi individu yang sukses dan berkarakter. Saya juga berharap kami dapat menjadi angkatan yang tidak hanya mementingkan kepentingan individu, namun memiliki inisiatif untuk peduli terhadap sesama teman seperjuangan. Terakhir, saya berharap FKUI 2023 dapat saling merangkul dalam menjadi penerus generasi bangsa yang berkarya secara positif dan berkontribusi terhadap bidang kesehatan Indonesia di kemudian hari.
Dalam perjalanan saya menjadi dokter, saya percaya bahwa terdapat nilai dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang dokter ideal. Care-provider, decision-maker, communicator, community leader, dan, manager. Kelima trait tersebut dibahas oleh Mayo Institute sebagai hasil yang dipaparkan oleh WHO mengenai kualitas yang dimiliki oleh seorang dokter ideal (Qualities of a 5 star Doctor) [1]. Disimpulkan bahwa seorang dokter tidak hanya harus mempertimbangkan keadaan fisik seorang pasien, namun juga kesehatan mental dan sosialnya.
Selain berorientasi sebagai healthcare provider, seorang dokter harus mempunyai kualitas seorang pemimpin dan manajer. Profesor Namita Kumar [2] memaparkan mengenai gagasan yang dimiliki oleh General Medical Council, dimana seorang dokter harus menerima sebagian porsi akuntabilitas dan bekerja untuk mengembangkan sistem pelayanan kesehatan. Meskipun pekerjaan utama seorang dokter adalah untuk mengeksekusi pelayanan kesehatan, seorang dokter masih bekerja didalam sebuah organisasi dan sistem. Keterlibatan seorang dokter dalam manajemen rumah sakit bukan berarti mengubah peran dokter sebagai healthcare provider, melainkan memberikan dokter kesempatan untuk memimpin dan mengembangkan suatu sistem berdasarkan bekal pengalaman klinis yang dimilikinya.
Selain memiliki bekal teori dan klinis yang baik, kemampuan mengambil keputusan dengan cepat dan tepat juga sangat diperlukan seorang dokter, terutama pada situasi-situasi yang membutuhkan penanganan yang cepat. Seorang dokter akan sering berurusan dengan keadaan yang mempertaruhkan nyawa pasien, sehingga membuat keputusan yang tepat dalam waktu yang singkat sangat diperlukan untuk keselamatan pasien [3].
Tidak kalah penting, dengan kemampuan komunikasi yang baik, seorang dokter dapat lebih memahami keluhan dan kekhawatiran sang pasien. Tidak jarang pula seorang dokter harus mengabarkan adanya berita buruk kepada pasien. Kemampuan berkomunikasi yang baik dapat membuat suasana yang lebih kondusif agar pasien tetap merasa semangat untuk menjalani pengobatan. Dengan begitu, apapun jenis kabar yang diberitakan kepada pasien, pasien tetap bisa merasa dipedulikan dan diperhatikan [4].
Tentunya, seorang dokter tidak dapat memenuhi obligasinya sebagai pengabdi masyarakat tanpa didasari oleh nilai-nilai luhur yang tertanam pada dirinya. Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) [5], seorang dokter yang ideal memiliki sifat Ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan dan ketuntasan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan dan cinta Indonesia. Dikatakan pula bahwa sifat-sifat tersebut mencerminkan gambaran dokter yang bijaksana dan menjadi panutan masyarakat.
Selain dari apa yang dicantum dalam KODEKI, menurut saya, nilai luhur yang dimiliki oleh seorang dokter ideal adalah nilai altruisme dan advokasi. Seorang dokter yang ideal merupakan advokat bagi pasiennya, dimana ia akan selalu menyuarakan dan memperjuangkan kebutuhan pasien. Nilai luhur tersebut menjamin bahwa seorang dokter akan selalu bersikeras untuk mempertahankan kualitas hidup dan penanganan optimum bagi sang pasien [4].
Selain itu, seorang dokter yang ideal memiliki nilai altruisme yang nampak dalam kehidupan profesionalnya. Wu et al. [6] memaparkan mengenai penemuan Shaw et al. yang membahas bahwa sifat altruisme mendorong pelayan kesehatan untuk melayani pasien meskipun terdapat risiko terhadap pelayan kesehatan itu sendiri. Wu et al. juga menjelaskan tanggapan Haigh yang membahas bahwa setiap pelayan kesehatan memiliki rasa peduli terhadap pasiennya, dan meletakan sifat altruisme sebagai dasar dari kehidupan profesionalnya demi kemanusiaan.
Dengan kualitas dan nilai luhur yang dimilikinya, seorang dokter yang ideal berkontribusi terhadap masyarakat dengan berorientasi dalam patient-centered care (PCC) dan evidence-based treatment di tahap pelayanannya. Evidence-based treatment merupakan sebuah orientasi pelayanan dimana seorang dokter dapat mengkombinasikan bukti ilmiah menurut kondisi pasien dan preferensi pasien untuk menghasilkan pengobatan yang paling efektif dan efisien [7]. Orientasi tersebut menjamin bahwa bukti ilmiah berdasarkan studi konstruktif dan hasil tes memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan rekomendasi dari seorang ahli, sehingga evidence-based treatment menimbang bukti ilmiah sebagai suatu hal yang lebih konkrit dalam membuat keputusan. Terhadap masyarakat, seorang dokter dapat berkontribusi dengan memberikan pengobatan yang objektif. Meskipun demikian, evidence-based treatment harus diimplementasikan bersamaan dengan patient-centered care. Rosa [8] membahas mengenai 8 dimensi PCC yang dicetus oleh Picker Institute dan Harvard School of Medicine. 8 dimensi tersebut adalah menghormati pilihan dan penilaian pasien, dukungan emosional, kenyamanan fisik, informasi dan edukasi, berkelanjutan dan transisi, koordinasi pelayanan, akses pelayanan, dan melibatkan keluarga dan teman. Singkatnya, PCC menjamin keterlibatan pasien dalam proses menggenerasikan opsi pengobatan yang akan dijalani. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan atas preferensi/pilihan pasien. Menurut saya, seorang dokter yang ideal tidak hanya berkontribusi dengan mengembangkan rencana pengobatan yang optimum, tetapi yang juga dapat mempertimbangkan keadaan mental sang pasien. Saya percaya bahwa seorang dokter yang ideal dapat memahami bahwa kualitas hidup seseorang tidak hanya diukur dari kesehatan fisiknya, namun juga tingkat kebahagiaan dan kepuasannya.
Saya percaya bahwa saya akan menghabiskan banyak waktu di hidup saya untuk menimba ilmu. Di masa-masa tersebut, saya ingin bisa belajar menjadi orang yang tidak hanya mementingkan diri sendiri dan tidak melihat pertolongan dan pengorbanan sebagai sistem cost and benefit. Saya ingin menjadi dokter yang memiliki rasa peduli dan empati yang mendalam sehingga saya selalu bisa menemukan kebahagiaan dalam setiap pengorbanan, baik di dalam atau di luar konteks pekerjaan. Akan tetapi, saya ingin menjadi dokter yang kritis dan berani untuk mempertanyakan suatu isu. Saya ingin menjadi dokter yang dapat membuat perubahan secara struktural dimanapun saya ditempatkan. Hal ini dapat dimanifestasikan dalam bentuk kontribusi di bidang pelayanan kesehatan atau manajemen suatu sistem. Saya ingin menjadi dokter yang fleksibel dan dapat berkontribusi sebagai pelayan kesehatan, serta pengembang sistem pengobatan dan pelayanan. Selain itu, apabila saya memiliki pengalaman dan wawasan yang cukup, saya juga ingin merintis sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang kesehatan dan pendidikan, serta mendirikan fasilitas kesehatan di daerah tertinggal di Indonesia. Saya ingin dapat membagi hasil kerja keras saya untuk masyarakat Indonesia. Menurut saya, keinginan utama saya sebagai dokter di masa depan adalah saat saya memiliki ilmu, pengalaman, dan power yang cukup untuk membuat perubahan struktural dalam menanggulangi isu kesehatan di Indonesia.
Sebagai mahasiswa preklinik, saya ingin fokus mempertahankan IP dan IPK yang memuaskan setiap semesternya, dengan meluangkan lebih banyak waktu luang untuk belajar dengan giat dan rajin. Saya juga ingin mencoba untuk ikut serta dalam bidang riset medis. Riset medis merupakan suatu bidang yang saya belum pernah saya perjuangkan selama SMA. Saya akan mencoba untuk ikut serta dalam bidang riset medis dengan berpartisi dalam organisasi Asian Medical Student Association (AMSA) agar dapat mendapatkan bimbingan yang tepat. Apabila memungkinkan, saya tetap ingin berkontribusi dalam komunitas debat di UI. Meskipun terdengar idealis dan mustahil bagi seorang anak kedokteran untuk ikut serta dalam debat yang mungkin tidak memiliki korelasi yang nampak dalam bidang medis, saya masih ingin mengembangkan potensi saya dalam berpendapat. Kedepannya, saya ingin berkontribusi dalam mengembangkan sistem kesehatan di Indonesia. Untuk itu, saya perlu mempersiapkan diri saya agar bisa berpikir logis, kritis, dan terbuka. Selama masa preklinik, saya juga ingin memaksimalkan kesempatan saya untuk belajar dasar-dasar klinik di kedokteran. Saya akan mencapai hal tersebut dengan banyak bertanya dan belajar dari mama saya yang merupakan seorang dokter. Saya juga akan meluangkan waktu saya untuk berkunjung ke rumah sakitnya agar dapat mendapatkan gambaran mengenai kehidupan klinik seorang dokter.
Selama masa klinik, saya akan fokus dalam mendalami masa kuliah dan masa menjadi co-assistant. Saya akan lebih banyak meluangkan waktu untuk belajar dengan rehat dalam urusan organisasi, debat, dan riset. Fokus saya saat masa klinik adalah untuk menuntaskan kuliah dan lulus ujian akhir hingga bisa praktek. Karena masa pembelajaran klinik di kuliah akan lebih menuntut waktu dan energi, saya akan memastikan bahwa di setiap waktu luang yang saya punya, saya akan gunakan untuk mendapatkan istirahat yang cukup. Saat saya sudah menjadi dokter yang memiliki banyak pengalaman, selain praktek di berbagai rumah sakit, saya ingin mendirikan rumah sakit saya sendiri. Saya ingin mendirikan beberapa fasilitas kesehatan di daerah-daerah tertinggal di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, saya bertekad untuk sekolah hingga S3 dan menamatkan masa studi saya dengan penghargaan. Saya juga ingin membangun banyak koneksi, terutama dengan pemerintah, agar dapat ikut membantu memperbaiki sistem dan fasilitas kesehatan di Indonesia. Dengan dibangunnya fasilitas kesehatan di Ibu Kota Nusantara (IKN) [9], saya bertekad untuk membantu pemerintah dalam mengembangkan pelayanan dan fasilitas kesehatan.
Saya harap dengan berkontribusinya saya dalam bidang kesehatan sebagai dokter, terdapat perkembangan dalam pemerataan akses fasilitas dan sumber daya kesehatan. Dengan perbandingan rasio dokter terhadap pasien di angka 1:4000 di daerah Papua dan Maluku [10], terlihat bahwa Indonesia masih kekurangan tenaga kesehatan di daerah-daerah tertinggal. Saya berharap perjalanan saya sebagai dokter dapat meningkatkan ketersediaan pelayanan kesehatan di daerah-daerah tersebut sehingga dapat mensejahterakan masyarakat. Kedepannya, saya juga berharap akan ada penurunan dari kasus stunting di Indonesia. Terhitung pada tahun 2018, hampir sebanyak 3 dari 10 anak berusia di bawah 5 tahun di Indonesia mengalami stunting [11]. Namun, perbaikan dari angka stunting di Indonesia juga berhubungan dengan pendidikan yang diterima oleh wanita, terutama mengenai pengasuhan anak. Hal tersebut didukung oleh penemuan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan wanita, semakin besar kecenderungan stunting pada anaknya [12]. Dengan begitu, saya juga berharap upaya untuk menurunkan stunting di Indonesia dilakukan secara bersamaan dengan pemberdayaan wanita, terutama dalam bidang pendidikan.
Teruntuk siapapun yang sedang berjuang untuk masuk FKUI, percayalah bahwa setiap usaha yang dilakukan merupakan suatu hal yang berarti, apapun hasilnya nanti. Jangan pernah bilang tidak mungkin dan tidak bisa apabila kamu benar-benar ingin mencapai impianmu. Mungkin proses berjuangnya tidak mudah dan kadangkala tidak menenangkan hati, tapi percayalah bahwa segala suatu hal tidak ada yang abadi, termasuk rasa lelah dan putus asa. Perjuangkan mimpimu dengan penuh percaya diri dan jangan terpengaruh oleh orang lain yang meragukan dirimu. Jangan sibuk dengan urusan orang lain dan fokuslah terhadap dirimu sendiri. Jangan juga jadikan “diterima FKUI” sebagai tujuan akhir dari perjalananmu. Dengan begitu, apapun hasilnya nanti (masalah diterima atau tidaknya), kamu tetap akan berkembang sebagai individu dan memetik hasil dari pengalamanmu.
Referensi
5 Star doctor [Internet]. Mayo Institute of Medical Sciences. [cited 2023 Aug 8]. Available from: https://mimsup.org/5-star-doctor/
Kumar N. Essential tools for the job: why physicians need to improve medical leadership and management. Royal College of Physicians [Internet]. 2018 Oct 8 [cited 2023 Aug 8]; Available from: https://www.rcplondon.ac.uk/news/medical-leadership-management-essential-being-physician
Masic I. Medical decision making - an Overview. Acta Informatica Medica [Internet]. 2022 Sep 1;30(3):230–5. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9560052/
What makes a good doctor? 7 surprisingly useful skills for physicians [Internet]. Grenada: St. George’s University. 2023 [cited 2023 Aug 12]. Available from: https://www.sgu.edu/blog/medical/what-makes-a-good-doctor/
Ranakusuma T, Nasser M, Budiningsih Y, Soetedjo, Gunawan S. Kode etik kedokteran indonesia [Internet]. 2012. [cited 2023 Aug 8]. Available from: https://mkekidi.id/wp-content/uploads/2016/01/KODEKI-Tahun-2012.pdf
Wu Y, Fu Q, Akbar S, Samad S, Comite U, Bucurean M, et al. Reducing healthcare employees’ burnout through ethical leadership: the role of altruism and motivation. International Journal of Environmental Research and Public Health [Internet]. 2022 Oct 12;19(20):13102. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36293679/
Tenny S, Varacallo M. Evidence based medicine. [Updated 2022 Oct 24]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470182/
Rosa EM. Patient centered care di rumah sakit konsep dan implementasi [Internet]. 1st ed. Bantul: LP3M; [cited 2023 Aug 8]. Available from: http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/24189/Buku%20PATIENT%20CC%20%281%29.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Rokom. Kemenkes bersama komisi IX DPR RI pastikan penyiapan fasilitas kesehatan di ibu kota nusantara (IKN) [Internet]. 2023 [cited 2023 Aug 9]. Available from: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230202/0742321/kemenkes-bersama-komisi-ix-dpr-ri-pastikan-penyiapan-fasilitas-kesehatan-di-ibu-kota-nusantara-ikn/
Why It Matters - lack of healthcare services in indonesia’s remote areas [Internet]. [cited 2023 Aug 9]. Available from: https://www.doctorshare.org/en/why-it-matters
Nutrition [Internet]. United Nations International Children’s Emergency Fund. [cited 2023 Aug 11]. Available from: https://www.unicef.org/indonesia/nutrition
Laksono AD, Wulandari RD, Amaliah N, Wisnuwardani RW. Stunting among children under two years in Indonesia: does maternal education matter? PLOS ONE. 2022;17(7). doi:10.1371/journal.pone.0271509
Comments