- Michelle Aisya
- Aug 12, 2023
- 9 min read
Narasi Perjuangan
Perkenalkan, nama saya Michelle Aisya (dipanggil Michelle), mahasiswa baru angkatan 2023 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, jurusan Pendidikan Dokter. Selama 6 tahun terakhir, saya bersekolah di Mentari Intercultural School Bintaro, salah satu sekolah swasta di Tangerang Selatan, Banten. Setelah berbagai macam usaha dan perjuangan demi belajar kedokteran di UI — ditolak Talent Scouting, SNBT, PPKB — saya akhirnya diterima melalui jalur ujian tulis SIMAK KKI dan berhasil menempati salah satu kursi di konstelasi yang penuh bintang berkilau, yakni Fakultas Kedokteran UI. Alhamdulillah atas rezeki yang telah diberikan kepada saya sehingga dapat menyelami ilmu kedokteran di universitas yang tidak hanya penuh mahasiswa berprestasi, tetapi juga yang terbaik di Indonesia.
Bagi saya, kehormatan menjadi seorang dokter merupakan suatu perasaan agung yang tidak mungkin saya dapatkan di pekerjaan yang lain. Selama ini, kakek saya, yang menolak berhenti dalam dedikasinya terhadap merawat pasiennya hingga wafat, menjadi sosok panutan besar saya dalam berjuang menjadi mahasiswa kedokteran. Beliau menyemangati dan mengajarkan saya banyak tentang kehidupan, dan juga betapa berat perjuangannya untuk menjadi seorang dokter. Dalam kesadaran bahwa itulah bentuk pengorbanan dan kontribusi para dokter kepada masyarakat kita, saya mengerti sejak saat itu bahwa saya tidak dapat melihat diri saya di tempat lain selain kedokteran.
Tentunya, saya tidak selalu terpaku pada mimpi ini. Sejujurnya, awalnya saya masuk SMP kelas 1, saya belum tahu saya ingin menjadi apa nantinya. Masih kecil, aspirasi besarnya masih banyak sekali — ada sewaktu ingin menjadi pengacara, detektif, bahkan penyanyi. Seringkali keinginan saya terombang-ambing dengan suatu tontonan atau acara yang meninggalkan suatu kesan besar pada diri saya. Tidak hanya itu, banyak waktu dan energi saya pun habis untuk bertemu orang baru dan beradaptasi terhadap lingkungan yang baru dan jauh berbeda dengan apa yang saya terbiasakan. Namun, saya menjanjikan kepada diri saya hanya satu hal: untuk mempertahankan nilai dan dedikasi terhadap pelajaran saya dengan baik, sambil terus melangkah maju kepada masa depan yang lebih cerah.
Pada tahun selanjutnya, kami diminta untuk memilih mata pelajaran peminatan agar dapat menyesuaikan pilihan pelajaran untuk kurikulum IGCSE (International General Certificate of Secondary Education) dengan peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan bakat dalam sains, saya hanya memiliki keyakinan bahwa saya akan mengambil peminatan IPA. Namun, dimana pada saat itu kita hanya boleh mengambil dua pelajaran IPA dan satu pelajaran IPS, saya masih memiliki banyak keraguan tentang apa yang ingin saya lakukan di masa depan. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mengambil mata pelajaran yang sewaktu itu saya dapat pahami dengan lebih mudah, yaitu Biologi dan Fisika.
Sayangnya, keinginan untuk menjadi dokter barulah muncul pada tahun kedepannya lagi, yaitu pada kelas 3 SMP. Setelah menonton film dokumenter yang menceritakan pengorbanan para tenaga medis, berjudul “End Game” di Netflix, saya sungguh merasa bahwa bagi saya kedokteran dapat menjadi suatu pilihan karir dimana keyakinan dan rasa inginnya saya tempuh perjuangan itu begitu kokoh dan kuat. Akhirnya saya terdorong untuk bertanya-tanya tentang karir tersebut dan mempertimbangkan kesempatan saya dengan lebih serius. Dari latar belakang keluarga yang penuh dokter, saya merasa berterima kasih ada begitu banyak orang yang bersedia membimbing saya dalam perjuangan saya menjadi dokter.
Pun terjadilah pandemi COVID-19, dimana masyarakat sedunia terperangkap dalam ketakutan bagi keselamatan mereka. Berbagai pemerintah dari seluruh dunia berusaha bertindak cepat untuk menangani situasi COVID-19. Banyak kekurangan pada sistem medis diteliti kembali, dan perhatian kita sepenuhnya tertuju pada protokol kesehatan dan menjaga keselamatan dengan mengurangi kontak dengan yang terinfeksi. [1] Sementara itu, para tenaga medis dan mahasiswa kedokteran semua bekerja tanpa henti di lapangan, berjuang tengah kekacauan dan ketidakpastian terhadap keselamatannya untuk mengobati pasien.
Saya yakin bahwa begitu banyak orang telah terinspirasi oleh ketulusan para pahlawan tanpa tanda jasa ini, termasuk diri saya sendiri. Yang awalnya hanya sekadar keinginan dan aspirasi besar, berubah menjadi rasa tanggung jawab setelah menyaksikan pengorbanan para dokter pada masa COVID-19. Menurut studi yang dilakukan pada tahun 2021, jumlah staf medis di Indonesia sangat kurang untuk menangani arus masuk pasien, bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio dokter per 1000 pasien hanyalah 0.38. Belum lagi dipertimbangkan bahwa sekitar 22-26% dokter spesialis berdomisili di DKI Jakarta, hingga tidak ada distribusi yang memadai kepada daerah lainnya di Indonesia. [2] Dengan kesadaran atas hal tersebut, serta pengetahuan bahwa di antara lingkungan sekitar saya, mengejar profesi ini merupakan suatu hal yang saya memiliki kesempatan dan berani lakukan, saya tidak bisa mengabaikan maupun menyampingkan tanggung jawab saya.
Akan tetapi, pada saat itu, karena kenyamanan saya untuk belajar dalam bahasa Inggris, saya masih memiliki rencana untuk belajar kedokteran di luar negeri, dimana universitas internasional rata-rata mementingkan nilai atau sertifikasi kemampuan dalam pelajaran Biologi dan Kimia, bukan pelajaran Fisika. Namun, dengan kesadaran bahwa mengubah pilihan mata pelajaran di tengah tahun akan berkonsekuensi berat terhadap nilai saya, saya memutuskan untuk tetap mengambil mata pelajaran Fisika hingga akhir tahun. Masalah tersebut cukup menggoyahkan keyakinan saya bisa menempuh cita-cita menjadi mahasiswa kedokteran. Saya menghadapi banyak kekhawatiran, pertanyaan kepada diri sendiri, seperti “Apakah sudah terlambat? Saya sudah tertinggal materi pelajaran Kimia selama satu tahun; apakah benar-benar memungkinkan bagi saya untuk mengubah arah masa depan dalam waktu yang sependek ini?"
Merasa sedikit putus asa, saya membuat jajak pendapat dan mengeluarkan segala hati dan pemikiran saya untuk melakukan diskusi diantara beberapa teman terdekat saya mengenai perubahan pilihan mata pelajaran dari Fisika ke Kimia. Dengan banyak dukungan dari teman-teman maupun guru, semangat komitmen saya semakin berkobar. Saya menghabiskan hampir setiap hari, pagi dan malam, berusaha mengejar semua materi yang telah saya lewatkan dan meminta bimbingan dari guru Kimia IB (International Baccalaureate), karena beliau dulunya adalah wali kelas saya. Singkat cerita, saya mendapatkan nilai A* untuk IGCSE Kimia pada SMA kelas 1, bahkan menerima sertifikat untuk Most Improved. Sejak saat itu, saya percaya bahwa saya kuat menghadapi tantangan, dan harus bisa berani bermimpi lebih besar. Tahapan selanjutnya adalah persiapan masuk kuliah kedokteran.
Karena alasan pribadi, saya secara tiba-tiba terpaksa menyesuaikan diri kepada target baru, yaitu masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Walaupun banyak ketidakpastian dan kecemasan yang merisaukan diri saya, saya berusaha untuk tetap setia terhadap tujuan sejatiku, yaitu untuk menjadi seorang dokter. Saya tetap melanjutkan kurikulum IB Course pada SMA kelas 2 dan kelas 3, agar tetap dapat terbuka kesempatan terhadap studi di universitas luar negeri. Tetapi, tujuan pertama saya menjadi masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sampai sekarang, saya yakin bahwa melalui pelajaran, kesempatan dan fasilitas yang saya dapatkan dari fakultas kedokteran yang paling bergengsi se-Indonesia, saya dapat tumbuh dan berkembang menjadi seorang dokter yang berprestasi dan mampu berkontribusi besar terhadap peningkatan kualitas pengobatan medis di Indonesia.
Meluangkan waktu untuk bisa bolak-balik mempelajari dua kurikulum dengan bahasa yang berbeda sedikit mempersulitkan perjalanan saya menuju Fakultas Kedokteran. Akan tetapi, saya penuh keyakinan atas pengorbanan tersebut, agar dapat memastikan bahwa saya memiliki banyak kesempatan untuk memperjuang Fakultas Kedokteran. Dalam jarak waktu 2 tahun, saya berusaha semaksimal mungkin belajar untuk ujian IB, dan juga nyicil untuk SNBT, lalu ujian SIMAK. Saya juga mempersiapkan diri untuk Jalur Prestasi, dengan aktif berorganisasi, dan juga mengikut banyak rangkaian acara dan lomba.
Awal tahun 2023, saya ditolak UI melalui jalur Talent Scouting. Semalam sebelum tanggal pengumuman, saya mendapat kabar bahwa calon mahasiswa yang lolos tahap pertama dihubungi terlebih dahulu untuk jadwal rangkaian tes MMI dan MMPI. Saya menangis, merasa campur aduk, dan benar-benar terkejut oleh berita tersebut. Pada saat itu, jalur Talent Scouting merupakan harapan terbesar saya, terutama karena diperuntukkan program internasional dimana pelajaran rata-rata dilaksanakan dalam bahasa Inggris. Banyak teman-teman dan keluarga mencoba menghiburkan saya, dengan mengatakan, “Kan hasilnya belum keluar”, walaupun menurut saya, harapan tersebut kurang realistis. Akhirnya, saya hanya memutuskan untuk menerima kekurangan saya, lalu mengolah rasa berat hatinya menjadi produktivitas.
Selanjutnya, saya bersiap-siap untuk jalur SNBT. Sejujurnya, saya tidak memiliki banyak harapan karena secara relatif kurang fasih dalam bahasa Indonesia. Apalagi jika soalnya suka sengaja dibuat mengecohkan, karena bertujuan untuk menguji kemampuan berpikir dengan cepat dan kritis. Meskipun pelaksanaan ujian diubah menjadi hanya TPS oleh Pak Nadiem, saya juga menyadari bahwa keketatan juga akan menjadi jauh lebih kecil karena banyak yang jadi ingin mencoba. Ketika membuka halaman pengumuman, saya hanya bisa tersenyum saat membaca kata-kata yang sering dicemaskan oleh para pejuang PTN: “Jangan putus asa! Tetap Semangat!”. Pada saat itu, saya meyakinkan diri bahwa Tuhan memiliki jalur yang berbeda untuk saya. Di tengah-tengah ini, pihak sekolah mendadak menghubungi saya karena mendapatkan kuota PPKB dari UI. Dengan senang hati, saya berterima kasih diberikan kesempatan mencoba ulang dan mempersiapkan diri sambil belajar untuk SIMAK.
Sebetulnya, saya hanya berencana untuk mengambil SIMAK yang reguler, bukan yang KKI. Mengilas balik, duit yang sudah saya habiskan untuk jalur masuk UI sudah banyak sekali, apalagi ditambah bayar UKT kelas yang KKI. Akan tetapi, ibu saya bersikeras minta saya coba daftar saja. Satu hari setelah pelaksanaan ujian SIMAK KKI, saya menerima pesan Whatsapp dari sekretariat pendidikan FKUI, menyatakan lolos tahap pertama dan kemudian diberikan jadwal untuk tes interview MMI dan MMPI. Saya sangat terkejut ketika membaca notifikasi itu, terisi dengan pesan yang sama — pesan yang sebelumnya membuat saya tersedu-sedu.
Dengan semangat hati, saya langsung menyiapkan diri dan mempelajari sistem tes interview MMI. Saya menonton banyak referensi dan panduan dari YouTube, serta melatihkan diri untuk siap menerima dan menjawab pertanyaan dengan lancar. Pada hari-H, saya mendatangi gedung RIK (Rumpun Ilmu Kesehatan) untuk pertama kali. Saya dihantui dengan rasa takut ketika melihat betapa banyak orang yang datang pada hari itu untuk interview. Sore hari itu juga, hasil PPKB diumumkan, sehingga rasa takutnya hanya berlipat ganda. Tetapi saya percaya bahwa apapun yang terjadi, selama hari ini saya usahakan yang terbaik, InsyaAllah hasilnya akan baik. Alhamdulillah, tes MMI berjalan dengan lancar, dan akhirnya keterima menjadi mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sebetulnya, sejak dahulu, saya menanggapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai “the land of the prestigious”, dimana beragam individu yang cemerlang dapat berkumpul, bersatu, dan berkreatifitas untuk membentuk masa depan yang lebih cerah bagi komunitas kedokteran dan bidang medis di Indonesia. Ketika saya pertama kali bertemu dengan teman-teman seangkatan yang akan menemani saya berjuang dan melangkah maju di jalan panjang menjadi seorang dokter, serta kakak-kakak tingkat yang hebat dan luar biasa, saya menyadari bahwa pandangan saya terhadap Fakultas Kedokteran UI yang awalnya hanya asumsi, ternyata benar. Setiap mahasiswa FK UI merupakan suatu individu yang bersifat pekerja keras, penuh giat, dan penuh kasih, hingga mempertahankan nama baik mereka. Dengan hal ini dalam pertimbangan, saya sangat bangga bisa menyebutkan diri saya sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UI, dan semangat sudah diberikan kesempatan untuk belajar dan menempuh perjalanan ini bersama dengan teman-teman dan kakak-kakak tingkat.
Selama saya menjalani masa studi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ada beberapa komitmen perubahan yang ingin saya lakukan agar dapat mempertahankan nama baik dan menjaga prestasi FKUI. Beberapa dari komitmen tersebut itu termasuk menjadi lebih rajin dan niat, aktif berdiskusi, pandai mengatur waktu, dan juga berempati terhadap satu sama lain. Sebelumnya, saya merasa bahwa tata cara pelaksanaan proses kehidupan saya di sekolah kurang teratur, dan hal tersebut dapat menahan diri saya dari menemukan true potential saya di hidup perkuliahan nanti. Saya berharap bahwa saya bersama dengan angkatan FK UI 2023 dapat berkembang menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri sambil mengejar prestasi dan melewati rintangan, dan mendedikasi seumur hidup kita kepada menjadi seorang dokter yang ideal.
Menurut St. George’s University School of Medicine, dokter yang ideal itulah seseorang yang melaksanakan kewajiban dengan terorganisir dan teliti, pandai berkomunikasi dan berkolaborasi, penuh empati dan rasa ingin tahu, serta gigih dalam mengadvokasikan hal yang terbaik untuk pasien mereka. [3] Kualitas-kualitas tersebut selaras dengan nilai-nilai utama dalam Budaya FKUI-RSCM (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), yaitu integritas, professionnalisme, kepedulian, kolaborasi, dan keunggulan. [4] Seorang dokter yang dapat menerapkan semua sifat-sifat tersebut patut dicontohi, pantas disebut sebagai dokter ideal, dan sesungguhnya memiliki kemampuan untuk berkontribusi terhadap masyarakat dengan merawatkan yang terjatuh sakit, meningkatkan kualitas pengobatan di Indonesia melalui riset, dan juga memperjuangkan belajar ilmu kedokteran hingga wafat.
Perjalanan hingga kita menjadi sosok yang pantas mengenakan gaun dokter selayaknya panjang dan sulit. Sebenarnya, hasil penerimaan saya menjadi mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hanya merupakan titik awal dari perjuangan belajar seumur hidup. Oleh karena itu, ada beberapa rencana yang ingin saya tetapkan agar saya tetap bertanggung jawab terhadap janji saya ketika mulai perjuangan ini. Selama masa preklinik, saya akan berusaha untuk beradaptasi dengan baik dengan menciptakan keseimbangan yang efektif antara hidup dan pelajaran sebagai mahasiswa kedokteran. Selain itu, saya juga berencana menjadi lebih aktif pada acara kemahasiswaan. Dengan menggabungkan diri kepada organisasi untuk mahasiswa kedokteran, seperti CIMSA (Center for Indonesian Medical Students' Activities), maupun AMSA (Asian Medical Students’ Association), saya berharap bisa menemukan banyak orang yang sepemikiran untuk diajak berkolaborasi, maupun menginisiasi dan merencanakan berbagai proyek untuk meningkatkan kualitas bidang medis di Indonesia.
Jika sudah mencapai masa klinik, saya ingin berdedikasi sepenuhnya, menggunakan ilmu yang telah saya dapatkan, dan berusaha mengobati sebanyak mungkin pasien, apapun itu penyakitnya, terlepas dari latar belakangnya. Di Amerika Serikat, banyak minoritas merasa mengalami penundaan sengaja untuk proses pengobatan COVID-19, dimana 20.3% termasuk orang Asia Timur/Asia Tenggara. [5] Kalau di Indonesia, selain permasalahan kekurangan dokter untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, ada juga banyak warga di daerah terpencil yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses ke rumah sakit. [6] Saya berharap bahwa pada jangka panjang, saya bisa mengambil spesialis dan membantu agar seluruh masyarakat Indonesia semua bisa mendapatkan akses yang sama terhadap pengobatan.
Terakhir, sebagai pesan untuk adik-adik kelas yang ingin memperjuangkan masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hidup selalu dipenuhi dengan banyak ketidakpastian. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Hidup tidak ada yang bisa diprediksikan, dan tidak akan selalu berjalan sesuai keinginan kita. Meskipun begitu, jika kita selalu berusaha kerja keras dan bersungguh kepada nilai dan moral yang kita bawakan selama perjuangan kita, kita akan selalu merasa puas, terlepas dari hasil akhirnya.
Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan semangat, dan semoga sukses! Saya mendoakan yang terbaik untuk angkatan 2024. Salam Gelora dari Angkatan 2023!
Daftar Pustaka
Davis B, Bankhead-Kendall BK, Dumas RP. A review of covid-19’s impact on modern medical systems from A Health Organization Management Perspective. Health and Technology. 2022 Mar 25;12(4):815–24. doi:10.1007/s12553-022-00660-z
Mahendradhata Y, Andayani NL, Hasri ET, Arifi MD, Siahaan RG, Solikha DA, et al. The capacity of the Indonesian healthcare system to respond to COVID-19. Frontiers in Public Health. 2021 Jul 7;9. doi:10.3389/fpubh.2021.649819
What makes a good doctor? 7 surprisingly useful skills for physicians [Internet]. St. George University’s School of Medicine; 2021 [cited 2023 Aug 10]. Available from: https://www.sgu.edu/blog/medical/what-makes-a-good-doctor/
Visi Misi [Internet]. Faculty of Medicine Universitas Indonesia; [cited 2023 Aug 10]. Available from: https://fk.ui.ac.id/visi-misi.html
Zhang D, Li G, Shi L, Martin E, Chen Z, Li J, et al. Association between racial discrimination and delayed or forgone care amid the COVID-19 pandemic. Preventive Medicine. 2022 Sept;162:107153. doi:10.1016/j.ypmed.2022.107153
Laksono AD, Wulandari RD, Rohmah N, Rukmini R, Tumaji T. Regional disparities in hospital utilization in Indonesia: A cross-sectional analysis data from the 2018 Indonesian basic health survey. BMJ Open. 2023 Jan 3;13(1). doi:10.1136/bmjopen-2022-064532
Comentários