top of page
  • Youtube
Search
  • Mayra Cahyawaty
  • Aug 11, 2023
  • 8 min read

Updated: Aug 13, 2023

Narasi Perjuangan

Halo semua! Perkenalkan, nama saya Mayra Cahyawaty , biasa dipanggil Mayra atau May. Itulah nama yang diberikan oleh orang tua saya dengan harapan agar gadis yang lahir di bulan Mei ini kelak tumbuh menjadi seorang wanita yang bercahaya dan bahagia. Saya selalu percaya bahwa nama adalah sebuah doa. Alhamdulillah, tahun ini Allah memberikan saya kebahagiaan yaitu dengan diterimanya saya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) program reguler.


“Kalau sudah besar kamu mau jadi apa?”


Ya, memang itulah pertanyaan klasik yang kerap kali dilontarkan oleh orang dewasa kepada seorang anak kecil. Spontan saja, Mayra kecil yang berusia kurang dari sewindu itu menjawab bahwa jika sudah besar Ia ingin menjadi seorang dokter, profesi yang tidak terdengar asing di telinga anak-anak. Nyatanya, hal tersebut terlihat seperti jawaban spontan tanpa arti yang sebenarnya adalah sebuah mimpi. Keinginan untuk menjadi seorang dokter timbul setelah kali pertama saya menginjakkan kaki di rumah sakit dengan tujuan berkonsultasi ke dokter anak. Umumnya, anak kecil sulit dibawa ke dokter karena menurut mereka dokter identik dengan jarum suntik. Namun, Mayra kecil tidak merasa takut saat di bawa ke dokter.


Bagaimana tidak? Di akhir sesi konsultasi, dokter baik hati itu memberikan saya sebuah gelang dari manik-manik sebagai apresiasi atas keberanian saya untuk pergi ke dokter. Peristiwa tersebutlah yang menjadi latar belakang ketertarikan saya terhadap dunia kedokteran. Semenjak itu, saya gemar bermain dokter-dokteran dengan menggunakan berbagai macam alat kedokteran yang terbuat dari plastik dan memiliki warna yang beragam. Melihat antusias saya yang tinggi, orang tua saya memberikan saya sebuah stetoskop asli saat Mayra kecil berumur 7 tahun. Hingga saat ini, stetoskop tersebut menjadi penyemangat untuk saya dalam meraih impian menjadi seorang dokter.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) merupakan sekolah kedokteran ternama di Indonesia. Di mata orang, FKUI dicirikan sebagai fakultas kedokteran yang berisikan anak-anak pintar nan jenius. Perkataan tersebut membuat saya tidak berekspektasi lebih untuk menjadi bagian dari FKUI. “Dimana saja deh kuliahnya, yang penting jadi dokter.”, batin saya. Tak lama setelah itu, pola pikir saya berubah. Di suatu malam saya mendapat mimpi sedang mengambil jaket kuning dengan makara hijau bersama dengan teman-teman SMA. Betapa kagetnya saya saat terbangun dari mimpi tersebut. “Mungkin saja mimpi itu hanyalah sebuah bunga tidur belaka.”, pikir saya. Setelah kejadian tersebut, banyak hal yang seakan-akan menarik saya untuk berkuliah di FKUI. Berbagai video mengenai FKUI bermunculan dimana-mana, mulai dari for your page Tiktok hingga explore di Instagram. Setelah menggali info lebih dalam mengenai FKUI, saya semakin tertarik untuk menjadi bagian dari keluarga FKUI. FKUI telah melahirkan banyak dokter hebat yang cerdas dan handal. Perjuangan saya dalam menjadi bagian dari FKUI tidaklah dimulai sejak SMA, melainkan sejak SMP.


Tak terasa enam tahun sudah saya lewati. Mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk sebuah mimpi yang sekarang telah terwujud. Sebuah mimpi seorang anak berusia 13 tahun yang ingin menjadi bagian dari FKUI. Kilas balik saat saya kelas satu SMP, saya sudah memiliki target diterima di SMA negeri yang memiliki banyak kuota dan kesempatan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Oleh karena itu, saya berusaha semaksimal mungkin untuk fokus saat guru menjelaskan, mencatat dan meringkas, serta mengerjakan tugas-tugas demi mendapatkan nilai yang baik terutama di mata pelajaran biologi. Biologi merupakan mata pelajaran favorit saya pada saat itu karena dibandingkan menghitung, saya cenderung suka menghafal. Antusiasme yang tinggi saat belajar biologi terutama saat mempelajari organ manusia dan fungsinya membuat saya semakin yakin bahwa menjadi dokter merupakan salah satu tujuan hidup saya.


Naik ke kelas 8, tahun terburuk dalam hidup saya. Beberapa nilai mata pelajaran turun akibat kasus bullying yang saya alami. Mulai dari panggilan tak pantas yang mereka buat untuk saya, hingga meja yang ditaburi oleh bekas rautan pensil setiap harinya saat periode ujian tengah semester. Sedih? Kesal? itu wajar. Bahkan hal tersebut telah menjadi luka lama yang membekas sampai saat ini. Tetapi, air mata saya terlalu berharga untuk hal yang tidak berguna. Berbekal doa, usaha, dan keikhlasan, pada tahun 2020, saya dapat lulus dari SMP dengan nilai yang memuaskan. Buah manis dari usaha tersebut mengantarkan saya untuk dapat diterima di sebuah SMA negeri favorit di Jakarta, yaitu SMAN 34 Jakarta.


Memasuki lembaran baru dan berstatus sebagai murid SMA, dengan seragam putih abu saya pun berusaha untuk beradaptasi di lingkungan baru. Menjadi seorang murid di SMA negeri favorit bukanlah hal yang mudah dan tentunya tidak dapat disepelekan. Melihat persaingan yang ketat, intensitas belajar pun saya tingkatkan dari yang sebelumnya belajar hanya saat ada ulangan harian menjadi belajar hampir setiap hari untuk me-review materi atau hanya sekedar latihan soal. Rutinitas belajar seperti itu sudah saya terapkan sejak awal kelas 10, dengan harapan mendapat nilai berpedikat A, masuk peringkat eligible, dan diterima di FKUI melalui jalur undangan.


Naik ke kelas 11, saya mengimbangi kegiatan akademik dengan beberapa kegiatan non akademik berupa lomba, ekstrakurikuler, dan webinar. Di tengah kesibukan tersebut, saya tetap berusaha untuk dapat membagi waktu di kegiatan akademik. Alhamdulillah, usaha dan doa saya berbuah manis. Selama semester satu hingga semester tiga saya mendapatkan peringkat satu di kelas maupun di angkatan. Tibalah semester empat, dimana peringkat saya turun menjadi peringkat dua. Wajar saja, semester empat merupakan semester tersibuk bagi saya. Olimpiade kimia, lomba MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), hingga program kerja organisasi memenuhi pikiran saya pada saat itu. Sampai akhirnya tubuh saya terserang penyakit tifus dan demam berdarah yang mengharuskan saya untuk dirawat inap kurang lebih lima hari sebelum periode ujian semester. Prinsip saya, belajar itu bisa kapanpun dan dimanapun. Di rumah sakit, dengan tangan yang terinfus, saya tetap mengikuti pembelajaran melalui Zoom Meeting dan bertanya sekaligus berdiskusi dengan teman mengenai materi yang akan diujikan. Belajar di rumah sakit merupakan salah satu perjuangan yang tak akan pernah saya lupakan di kelas 11.


Naik ke kelas 12, saya mendaftarkan diri ke sebuah lembaga bimbingan belajar untuk mempersiapkan SNBT dan mandiri. Mengingat peringkat saya yang turun di semester empat, saya semakin giat belajar demi mengejar peringkat satu di semester lima sekaligus mempersiapkan kemungkinan terburuk jika ditolak di jalur SNBP. Bak laptop yang dapat menjadi panas akibat dipakai secara terus menerus, di suatu titik saya mengalami burnout akibat terlalu memforsir diri. Tak lama, kejenuhan tersebut hilang setelah saya mendapatkan kata-kata penyemangat dari teman-teman dan tentunya nasihat dari orang tua. Ya, betul. Saya kembali menjadi seorang Mayra yang bercita-cita menjadi dokter pertama di keluarganya.


Alhamdulillah, berkat doa dan dukungan keluarga serta teman-teman, di semester lima saya mendapatkan peringkat satu eligible. Sejujurnya, mendapatkan peringkat satu belum sepenuhnya membentuk ketenangan dalam diri saya, mengingat peralihan sistem penerimaan dan pembobotan nilai yang baru, dari yang sebelumnya hanya dinilai dari rata-rata enam mata pelajaran menjadi penilaian terhadap rata-rata seluruh mata pelajaran ditambah dengan rata-rata dua mata pelajaran terkait jurusan yang diminati. Sembari menunggu pengumuman, tak henti-hentinya saya berdoa kepada Allah, meminta agar diterima di fakultas kedokteran yang terbaik untuk diri saya.


Waktu berjalan dengan cepat, dan tibalah saatnya hari pengumuman SNBP. Pada tanggal 28 Maret 2023, hari yang paling bahagia untuk diri saya dan keluarga. Tangisan haru dan ucapan selamat membanjiri saya karena diterima di salah satu fakultas kedokteran terbaik di Indonesia, yaitu FKUI. Saya menyadari, inilah jawaban dari doa yang telah saya panjatkan kurang lebih selama enam tahun terakhir. Menapakkan kaki di balairung dengan mengenakan jaket kuning bermakara hijau menjadi adegan yang sampai saat ini masih terasa seperti mimpi. Timbul rasa bangga sekaligus haru, melihat teman-teman yang dahulu menjadi teman belajar hingga larut malam, sekarang berkumpul dan berfoto bersama mengenakan jaket kuning di depan gedung rektorat.


“Bersyukur” adalah sebuah kata yang ada di benak saya saat itu. Sebagai fakultas kedokteran tertua dan terbaik di Indonesia, FKUI memiliki kurikulum modern yang terpusat pada mahasiswa (student centered). Tak heran jika FKUI ramai akan pendaftar pada setiap tahunnya. Mengetahui bahwa FKUI menorehkan segudang prestasi baik di kancah nasional maupun internasional, tumbuh perasaan semangat, harapan, serta dorongan dari dalam diri saya agar dapat melanjutkan dan mempertahankan prestasi-prestasi luar biasa tersebut. Dengan diterimanya saya di FKUI, saya akan berusaha mengoptimalkan serta meningkatkan soft skills maupun hard skills yang saya miliki. Menjadi seorang mahasiswa bukan hanya mengedepankan segudang prestasi, tetapi juga menjunjung tinggi moralitas. Saya berharap dapat menjadi mahasiswa FKUI yang berprestasi baik di bidang akademik maupun non-akademik dengan mengedepankan sifat disiplin dan peduli akan sesama1. Tidak seperti di SMA, saya akan belajar secara sistematis dengan membuat jadwal belajar yang lebih terorganisir.


Usai menjalani masa pre-klinik dan menyandang gelar S.Ked, terbitlah masa Co-Ass dimana seorang dokter muda akan dibimbing dan diarahkan oleh dokter pembimbing dalam melakukan suatu tindakan medis. Artinya, sebagai dokter muda kita akan berhadapan secara langsung dengan pasien dan mempraktikkan teori maupun keterampilan klinis yang telah dipelajari2. Saya berharap dapat mengisi masa koas saya dengan menjadi seorang dokter muda yang memiliki tekad dan keinginan kuat untuk belajar dari pengalaman. Pengalaman-pengalaman itulah yang kelak akan mengantarkan saya menjadi seorang dokter yang handal di masa depan.


Berbicara mengenai kehidupan setelah sumpah dokter, hal yang terpikirkan adalah gaya dan sikap seorang dokter terhadap pasiennya. Cita-cita dan harapan saya adalah menjadi seorang dokter yang profesional dan berempati. Kompetensi utama seorang dokter adalah profesionalisme. Profesionalisme dalam kedokteran menciptakan hubungan positif yang tinggi terhadap pasien3. Menurut pandangan saya, seorang dokter hebat, bukanlah seorang dokter yang pintar, tetapi seorang dokter yang bermoral. Profesi dokter membutuhkan kesiapan dalam menolong orang yang membutuhkannya sehingga membutuhkan moralitas yang tinggi.


Dunia kedokteran tanpa landasan etik yang luhur membuat seolah-olah hubungan antara pasien dengan dokter hanya sebatas simbiosis mutualisme pada dunia bisnis4. Dokter yang ideal adalah dokter yang memiliki empati tinggi. Empati merupakan kemampuan untuk berbagi perasaan atau pengalaman orang lain dengan membayangkan seperti apa rasanya berada dalam situasi yang sedang dialami orang tersebut. Empatilah yang memicu seorang manusia untuk membantu orang lain. Begitupun dengan dokter, rasa empati tersebutlah yang mendorong seorang dokter untuk dapat berkontribusi dan membantu masyarakat5. Oleh sebab itu, sebagai calon dokter saya ingin meningkatkan rasa empati dalam diri saya agar kelak saya dapat menjadi dokter yang handal, mengobati pasien dengan penuh keikhlasan, tidak pamrih, dan dapat menjadi perantara Tuhan untuk dapat menyembuhkan banyak pasien. Selain itu, saya mempunyai rencana untuk membangun sebuah klinik kesehatan gratis tanpa dipungut biaya apapun agar pelayanan kesehatan bersifat merata dan adil terhadap seluruh manusia, bagaimanapun kondisinya.


Teruntuk teman-teman FKUI Angkatan 2023, saya berharap agar tetap menjaga solidaritas dan pantang menyerah apapun keadaan yang akan kita hadapi di kemudian hari, sesuai dengan jargon Gelora, “Bangkit Bersinergi, Setia Mengabdi”. Teruntuk adik-adik yang sedang berjuang untuk masuk ke fakultas kedokteran, bermimpilah setinggi mungkin sesuai cita-cita dan keinginan dari diri sendiri. Terkadang, hasil tidak selalu sesuai dengan ekspektasi dan usaha. Satu hal yang saya ingin tekankan. Hampir gagal, bukan berarti telah gagal. Dalam kehidupan, ada yang namanya kemustahilan, ada pula yang namanya keajaiban. Sesuatu yang terlihat mustahil di mata seorang insan, bukan berarti mustahil di mata Tuhan. Sebagai manusia biasa, kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Diterima atau tidaknya sebuah doa bergantung pada takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Ingatlah, bahwa apapun yang kita dapatkan di masa depan, pahit ataupun manis, itulah karunia terbaik dari Tuhan untuk hambanya.




Daftar Referensi :

1) Nurpratiwi H. Membangun karakter mahasiswa Indonesia melalui pendidikan moral. Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosil Indonesia [Internet]. 2021 Feb 23 [cited 2023 Aug 6];8(1):29-43. Available from : https://journal.uny.ac.id/index.php/jipsindo/article/view/38954


2) Dewi IK, Nasir M, Salma. Optimisme dan hardiness pada dokter muda di Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh. Psikoislamedia Jurnal Psikologi [Internet]. 2019[cited 2023 Aug 6];4(1):48-56. Available from : https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/Psikoislam/article/download/6349/3836

3) Irnanda CP, Wanasida AS. Profesionalisme dokter dan kepuasan pasien di rumah sakit dan klinik Kota Malang. Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS. Dr. Soetomo [Internet]. 2022 Oct [cited 2023 Aug 6];8(2): 287-296. Available from: https://jurnal.stikes-yrsds.ac.id/index.php/JMK/article/download/1026/243


4) Nuraeni Y, Sihombing LA, Triyunarti W. Hubungan hukum antara dokter dan pasien. Pemuliaan Hukum [Internet]. 2020 Apr [cited 2023 Aug 6];3(1):53-57. Available from: http://ojs.uninus.ac.id/index.php/Pemuliaan/article/download/1029/910


5) Wijaya RS, Indrayeni. Pengaruh narsisme dan empati dalam pengambilan keputusan etis pada mahasiswa akuntansi. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Dharma Andalas [Internet]. 2021 Jan [cited 2023 Aug 6]; 23(1):140-160. Available from : https://jurnal.unidha.ac.id/index.php/JEBD/article/view/211/138



 
 
 

Recent Posts

See All
Satria Dwi Nurcahya

NARASI PERJUANGAN Halo salam kenal semua! Perkenalkan nama saya Satria Dwi Nurcahya, biasa dipanggil Satria. Arti dari nama saya...

 
 
 
Algio Azriel Anwar

Narasi Perjuangan Halo perkenalkan, namaku Algio Azriel Anwar. saya adalah fakultas kedokteran program studi pendidikan kedokteran dari...

 
 
 
Tresna Winesa Eriska

Narasi Perjuangan “Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah...

 
 
 

Comments


© 2023 FKUI Gelora

bottom of page