top of page
  • Youtube
Search
  • Laura Angelica Ribka Simanullang
  • Aug 11, 2023
  • 7 min read

Updated: Aug 13, 2023

Narasi Perjuangan


Laura Angelica Ribka Simanullang adalah nama yang diberikan orang tua saya ketika saya lahir, tetapi orang – orang biasanya memanggil saya ‘Laura’. Saya adalah lulusan dari SMA Unggul Del, sebuah sekolah yang terletak di daerah Sumatera Utara. Namun, saya lahir dan dibesarkan di Bekasi. Berkat doa dan perjuangan, saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lewat jalur SNBT.


Hingga saat ini, saya masih setengah percaya bahwa saya diterima di FKUI, fakultas kedokteran terbaik yang saya ketahui. FKUI memiliki sejarah yang memukau dan berpengaruh besar di dunia kesehatan. STOVIA adalah sebutan yang dikenal pada zaman penjajahan. Banyak orang – orang hebat yang merupakan bagian dari STOVIA. Baik mahasiswa maupun dosen dan staff pengajar, mereka bukan hanya bergerak di bidang pendidikan, tetapi juga peduli dengan permasalahan di negara ini. Di mata saya, FKUI bukan hanya sebagai penyalur materi atau tempat menempa ilmu. Namun sebagai tempat berinovasi, berkembang, dan belajar menjadi manusia yang bersedia menjadi pelayan di tengah – tengah masyarakat.


Di dalam keluarga besar saya, belum ada yang berprofesi sebagai dokter. Namun, sejak kecil, jika orang – orang bertanya mengenai cita – cita saya, saya pasti dengan yakin menjawab bahwa saya ingin menjadi dokter. Beberapa hal menjadi inspirasi saya untuk menempuh perjuangan masuk ke FKUI dan menjadi seorang dokter. Salah satunya adalah ibu saya. Ibu saya dulu adalah seorang bidan. Beliau membuka praktek di rumah kami. Setiap hari, jika saya selesai dengan kegiatan sekolah, saya pasti menyempatkan untuk melihat ibu saya membantu pasien – pasiennya. Mulai dari anak – anak yang demam hingga membantu seseorang melahirkan. Terkadang saya juga membantu beliau meracik obat. Pengalaman itu memberikan saya pandangan, saya ingin mengobati pasien juga seperti ibu saya. Saya ingin menjadi dokter pertama di keluarga saya dan merawat orang tua serta saudara saya ketika mereka sakit. Berbekal rasa ingin tahu, saya mencari dimana tempat terbaik untuk menempuh pendidikan hingga menjadi dokter. Dan itu adalah FKUI. Saya terdorong untuk masuk ke FKUI karena sejarahnya, alumninya, dan pembelajarannya. Saya juga yakin bahwa FKUI dapat memberikan saya pengalaman berharga yang akan membantu saya kedepannya.


Saya sudah memupuk usaha sejak di sekolah dasar dengan mempertahankan nilai yang bagus dan mengikuti lomba. Namun, semuanya mulai terasa saat saya berada di bangku SMP. Kelas tujuh saya tempuh dengan cukup baik. Saya juga mengikuti organisasi dan kepanitiaan dalam acara. Tidak jauh berbeda dengan di kelas delapan. Fokus saya bukan hanya mempertahankan nilai akademik, tetapi saya juga berusaha menyeimbangkan hal itu dengan mengembangkan bakat. Dulu saya sempat bermain biola dan bergabung dengan ekstrakulikuler tari tradisional. Kelas sembilan adalah masa yang cukup melelahkan. Setiap hari saya pulang sore karena belajar dan setiap minggu mengikuti kelas khusus pendalaman materi untuk ujian nasional. Disaat saya siap, COVID-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Angkatan saya terpaksa belajar di rumah dan ujian nasional dibatalkan. Saya sempat kecewa, tetapi tidak ada yang bisa saya lakukan.


Masa SMA adalah masa yang cukup berat jika boleh saya katakan. Alasan pertama, awalnya saya berat menjalaninya karena saya harus tinggal di asrama dan jauh dari orang tua. Kedua, saya merasa tidak cukup pintar untuk bersaing dengan anak – anak jenius dari berbagai daerah. Seleksi masuk SMA saja menurut saya sudah sangat melelahkan karena harus melawan 3000 lebih peserta. Untuk masuk ke SMA yang merupakan peringkat ketiga nasional pada saat itu, saya harus mengikuti empat rangkaian tes. Tes akademik, psikotes, kesehatan serta kebugaran, dan yang terakhir adalah wawancara. Demi menggapai cita – cita untuk masuk ke fakultas kedokteran di perguruan tinggi negeri, saya berusaha keras dan rela sekolah di tempat yang jauh dari rumah. Keadaannya semakin sulit karena waktu itu masih ada COVID yang melanda. Saya pikir setelah diterima, maka saya bisa sedikit tenang. Ternyata itu semua hanya imajinasi belaka. Tahun pertama merupakan tahun terberat karena adanya aturan Learn from Home (LFH) dan culture shock. Salah satunya adalah tentang remedial. Guru – guru dan kakak kelas saya berkata, “Bukan anak Del kalau belum pernah remedial.” Awalnya, saya tidak percaya. Seiring berjalannya waktu, saya sadar bahwa untuk mempertahankan nilai di atas standar saja sangat sulit. Jika biasanya di sekolah lain siswa yang meraih peringkat tinggi memiliki nilai rata – rata di atas 90, di sekolah saya, jika ada yang mendapat rata – rata 90 ke atas, sudah dipastikan dia adalah seseorang yang jenius.


Tingkat kedua sebenarnya tidak begitu menarik. Awalnya saya masih mengikuti kelas online selama dua bulan. Namun akhirnya harus masuk secara offline karena ada kegiatan ANBK oleh pemerintah. Saya sedikit sedih dan takut karena saat – saat yang tidak ditunggu sudah tiba, yakni masuk ke asrama. Sekolah saya memang berbasis asrama dan aturannya sangat ketat. Karena sudah menjalani beratnya kelas 10, saya mulai bisa mengikuti kegiatan akademik dengan baik, terbukti dengan nilai rata – rata yang terus meningkat, bahkan memeroleh peringkat di kelas. Fokus saya saat itu adalah mempertahankan grafik nilai agar bisa masuk ke daftar eligible untuk jalur undangan. Meskipun saya tahu bahwa sekolah saya tidak mendapatkan banyak kuota dari tahun ke tahun karena standar nilainya yang terlampau tinggi. Dari banyaknya yang mencoba, hanya belasan yang tembus dan jarang sekali ada yang berhasil masuk ke fakultas kedokteran.


Tingkat ketiga bisa dibilang adalah masa paling sibuk. Kegiatan sekolah dimulai dari pukul 7 pagi hingga 4 sore dan dilanjut dengan bimbingan hingga malam hari. Jika tidak bisa mengatur waktu dengan baik, mungkin saya tidak bisa bertahan pada saat itu. Lagi – lagi, saya masih berusaha untuk meningkatkan nilai rata – rata agar bisa masuk jalur undangan. Di saat itu, banyak keraguan yang mendatangi saya. Apakah saya mampu masuk ke fakultas kedokteran di PTN terbaik? Karena saya pikir, masih banyak siswa di sekolah saya yang performa belajarnya lebih baik daripada saya. Ketika pengumuman eligible keluar, saya senang karena berkesempatan mengikutinya. Dengan sikap yang realistis dan waspada terhadap perjanjian yang dibuat, saya tidak memilih UI sebagai pilihan saya. Jika ditanya menyesal atau tidak, ya, saya menyesal. Saya bahkan berdoa kepada Tuhan agar tidak meloloskan saya lewat jalur undangan. Meskipun sebagian dalam diri saya sedikit kecewa karena tidak dapat menikmati euforia diterima SNBP, saya juga bersyukur karena masih diberi kesempatan berjuang untuk FKUI di SNBT.


Saya semakin serius mengikuti bimbingan belajar, mengerjakan latihan soal setiap hari, dan mengerjakan soal tryout hingga tengah malam. Yang ada di benak saya pada saat itu bahwa jalur SNBT adalah satu – satunya jalur yang bisa saya coba, mengingat kondisi ekonomi keluarga saya yang masih memiliki banyak tanggungan. Tentu, saya tidak mau membebankan orang tua lebih banyak lagi. Setiap kali ditanya, “Rencana cadangan ingin mencoba mandiri apa?,” tidak pernah sekalipun saya jawab. Ada banyak keraguan yang hinggap di dalam hati saya. Apalagi saat saya melihat berbagai pembahasan soal SNBT di media sosial dan mengetahui bahwa beberapa jawaban saya salah. Saya bahkan hampir saja mengikuti jalur PPKB karena tidak percaya diri. Namun, tepat sebelum akan membayar biaya pendaftaran, saya baru ingat bahwa besoknya adalah pengumuman SNBT. Saya mengatakan kepada orang tua saya bahwa saya masih mau menunggu hasilnya dulu. Hingga pada tanggal 20 Juli 2023, hari yang ditunggu – tunggu, doa saya dan semua orang terkabul. Saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Perasaan saya pada saat itu lega dan sangat senang. Saya berhasil mewujudkan salah satu mimpi saya. Saya bisa membuat orang tua saya bangga.


Perjuangan saya yang panjang dan tidak mudah didasarkan oleh sebuah komitmen yang saya pegang. Yakni saya tidak akan menyerah melawan banyak orang untuk meraih mimpi saya. Awalnya, sebelum saya masuk FKUI, saya hanya berpikir bahwa saya harus belajar dan terus belajar untuk menggapai cita – cita saya. Saya rela mengorbankan masa SMA yang seharusnya diwarnai oleh indahnya kehidupan remaja dengan tinggal di asrama dan belajar keras setiap hari. Dan itu semua membuahkan sebuah hasil. Dengan diterimanya saya di FKUI, komitmen baru yang lahir di dalam diri saya yakni memanfaatkan kesempatan yang telah diberikan oleh Tuhan dengan tetap rendah hati, belajar bukan hanya tentang materi, tetapi menjadi orang yang bijak dan bertanggung jawab. Saya berharap bahwa dalam beberapa tahun kedepan, saya mampu meraih cita – cita saya yakni menjadi dokter yang baik dan hebat. Saya juga berharap bahwa saya dan teman – teman FKUI angkatan 2023 bisa lulus dan bekerja bersama di masa yang akan datang.


Tentu, kami semua kelak ingin menjadi dokter yang tidak hanya baik dalam segi keterampilan klinis, tetapi pandai berkomunikasi dan memberikan pengaruh. Kami ingin menjadi seorang dokter yang ideal. Ideal (1) sendiri berarti seseorang memenuhi suatu ekspektasi atau standar terhadap suatu hal. Tugas utama seorang dokter adalah melayani pasien. Menurut pasien sesuai dengan sudut pandang mereka, selain memenuhi nilai – nilai luhur dan aturan, dokter yang ideal adalah seseorang yang cakap dalam mengobati dan tahu bagaimana membangun kepercayaan serta hubungan intrapersonal dengan pasiennya (2,3). Dari beberapa nilai luhur yang ada, nilai yang saya highlight adalah altruisme serta akuntabilitas, yakni peduli dan bertanggung jawab (4,5). Dokter yang baik harus bisa membangun keyakinan di dalam diri pasien serta menunjukkan rasa empatinya dalam menjalankan amanat. Dokter yang ideal juga harus bisa menangani pasien yang berasal dari latar belakang yang berbeda – beda.6 Dengan demikian, dokter yang ideal adalah dokter yang rela berkorban, bijak, dan dapat diandalkan.


Saya sendiri ingin menjadi dokter yang bisa menyembuhkan penyakit serta membuat pasien saya sendiri nyaman untuk bercengkerama. Saya ingin menghilangkan rasa takut orang – orang terhadap berkunjung ke dokter untuk mengecek kesehatan mereka. Saya juga ingin menjadi dokter yang berintegritas dan memiliki rasa empati yang tinggi. Rencana saya selama menjalani preklinik adalah belajar dengan konsisten dan disiplin agar dapat menerapkan setiap materi yang diajarkan dengan baik, khususnya di koas nanti. Saya juga akan berusaha keras mempersiapkan diri selama klinik serta mempertajam keterampilan hingga saya menjadi dokter dan membantu banyak orang. Saya berharap dengan menjadi dokter, saya bisa menjadi seseorang yang bermanfaat di tengah – tengah masyarakat dan dapat membuat inovasi di bidang kesehatan.


Untuk adik – adik yang ingin menjadi bagian dari FKUI angkatan 2024, ketahuliah bahwa perjuangan tidak akan mengkhianati hasil. Tidak ada yang bisa saya katakan selain belajarlah dengan giat dan jangan pernah lupakan Tuhan. Tanpa Tuhan, kalian tidak akan diberikan kesempatan berharga untuk berjuang, meskipun kalian adalah orang – orang yang pintar dan berwawasan. Jangan pernah menyerah hanya karena beban dan tekanan. Tetap rendah hati jika Tuhan mengabulkan doa kalian. Selamat berjuang!







Referensi:

  1. Kamus Besar Bahasa Indonesia [Internet]. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; c2016. Ideal; [cited 2023 Aug 8]. Available from: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ideal

  2. Borracci RA, Álvarez Gallesio JM, Ciambrone G, Matayoshi C, Rossi F, Cabrera S. What patients consider to be a 'good' doctor, and what doctors consider to be a 'good' patient. Rev Med Chil [Internet]. 2020 July 15 [cited 2023 August 7];148(7):930-938. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33399677/

  3. Dopelt K, Bachner YG, Urkin J, Yahav Z, Davidovitch N, Barach P. Perceptions of practicing physicians and members of the public on the attributes of a "good doctor". Healthcare (Basel) [Internet]. 2021 Dec 31 [cited 2023 August 8];10(1):73. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8775310/

  4. Grundnig JS, Steiner-Hofbauer V, Katz H, Holzinger A. 'Good' and 'bad' doctors - a qualitative study of the Austrian public on the elements of professional medical identity. Med Educ Online [Internet]. 2022 December [cited 2023 August 8];27(1):2114133. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9423859/

  5. Afandi D. Nilai-nilai luhur dalam profesi kedokteran: suatu studi kualitatif. Jurnal Kesehatan Melayu. 2017 Sep 19;1(1):25.

  6. Rukadikar C, Mali S, Bajpai R, Rukadikar A, Singh AK. A review on cultural competency in medical education. J Family Med Prim Care [Internet]. 2022 August 30 [cited 2023 August 8];11(8):4319-4329. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9638640/

 
 
 

Recent Posts

See All
Satria Dwi Nurcahya

NARASI PERJUANGAN Halo salam kenal semua! Perkenalkan nama saya Satria Dwi Nurcahya, biasa dipanggil Satria. Arti dari nama saya...

 
 
 
Algio Azriel Anwar

Narasi Perjuangan Halo perkenalkan, namaku Algio Azriel Anwar. saya adalah fakultas kedokteran program studi pendidikan kedokteran dari...

 
 
 
Tresna Winesa Eriska

Narasi Perjuangan “Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah...

 
 
 

1 Comment


Masry Simanullang
Masry Simanullang
Oct 25, 2023

Selamat ya nak,semoga apa yang kamu cita citakan dapat tercapai.Jangan lupa berdoa dan hormat selalu kepada orang tua.

Like

© 2023 FKUI Gelora

bottom of page