top of page
  • Youtube
Search
  • Fayara Aretha Kunaefi
  • Aug 12, 2023
  • 10 min read

Updated: Aug 13, 2023

Narasi Perjuangan


Sampai kelas dua belas pun, setiap kali saya ditanya, “kamu nanti kuliahnya mau ngambil apa?”, jawaban saya selalu sama: “hehe, belum tahu nih tante / om / kak / ibu / pak”. Karena itu, cerita saya bisa masuk FKUI bisa dideskripsikan sebagai suatu kejutan—tak hanya bagi saya, namun juga bagi orang-orang disekitar saya. Sebelum saya cerita lebih lanjut, izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu; nama saya Fayara Aretha Kunaefi, biasa dipanggil Faya. Saya berasal dari SMA Global Jaya, lulusan tahun 2023. Tahun ini, saya berhasil keterima di Fakultas Kedokteran, program studi Pendidikan Dokter Kelas Khusus Internasional (KKI), melalui jalur SIMAK KKI.


Dari dulu, saya selalu memandang Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia sebagai suatu destinasi yang… indah. Di bayangan saya, ini merupakan suatu tempat yang penuh dengan mahasiswa maupun guru-guru terbaik di Indonesia: ‘real-life superheroes’ yang tidak pernah lelah menempuh ilmu demi kebaikan masyarakat kami. Namun, saya tidak pernah mengkonotasikan destinasi tersebut dengan jalur hidup saya sendiri. Ini dikarenakan kelabilan saya mengenai cita-cita saya selama ini.


Karena kakek saya yang bekerja sebagai kardiolog, saya jadi menyaksikan secara langsung bagaimana seorang dokter harus mengutamakan pasiennya [1]. Pengalaman beliau juga membuat saya yakin bahwa, untuk masuk sekolah kedokteran (apa lagi FKUI), kita harus merealisasikan keinginan kita untuk menjadi dokter dari kecil. Sementara itu, saya adalah seseorang yang menyukai segala hal, tetapi tidak mempunyai satu “passion” spesifik yang bisa dikembangkan menjadi minat konkret. Jadi, dari awal, saya memang tidak pernah mikir bahwa sekolah kedokteran adalah sebuah opsi untuk diri saya. Alasannya sederhana: sebelum mulai apapun, saya sudah merasa ketinggalan.


Dari kecil saya memang sangat suka baca buku. Ibaratnya, waktu SD, saya tipe anak yang lebih nyaman baca sendiri di kamar, dan jadi takut disuruh kenalan sama orang baru. Saya juga tidak pernah mau mencoba hal-hal yang di luar zona nyaman saya. Untungnya, seiring berjalannya waktu, orang tua saya semakin mendorong saya untuk mencoba kegiatan-kegiatan berbeda. Awalnya mulai dari berbagai macam ekstrakurikuler: tennis, wushu, gambar, piano, gitar. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, saya mulai mengembangkan rasa percaya diri dan inisiatif saya untuk mencoba lebih banyak hal lagi.


Waktu SMP sampai SMA saya akhirnya memutuskan ikut kompetisi-kompetisi. Bukan dengan tujuan untuk menang, namun untuk tetap mengembangkan kemampuan saya untuk beradaptasi. Saya pertama ikut kompetisi debat karena ingin bisa lebih baik dalam berbicara, bekerja sama, dan berpikir kritis [2]. Karena dulu saya kecilnya pendiam, saya juga ingin mendorong diri supaya menjadi lebih berani dalam beropini. Walaupun awalnya saya ragu, rasa percaya diri semakin meningkat dengan setiap prestasi yang saya raih. Salah satu momen yang paling berkesan bagi saya adalah saat tim saya menang ‘2nd Place Overall’ dalam kompetisi debat internasional. Momen tersebut membuat saya sadar bahwa kemajuan tidak mungkin tanpa perubahan, dan perubahan selalu datang beriringan dengan ketidaknyamanan.


Kompetisi debat ini membantu saya menyadari kenikmatan yang saya rasakan setiap kali bekerja dengan sebuah tim untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sulit. Karena itu, waktu kelas 11, saya memutuskan ikut kompetisi investasi yang tingkatnya internasional walaupun saya tidak tahu apa-apa mengenai dunia finansial. Di kelompok saya, yang terdiri atas murid-murid terpintar di angkatan saya, saya menjadi anomali. Saking tidak kompetennya di awal-awal, saya memaksakan diri untuk perlahan-lahan mempelajari semua hal yang perlu saya ketahui. Rasa minder tersebut menjadi insentif yang lumayan kuat untuk belajar dengan giat supaya tidak ketinggalan yang lain. Dari pengalaman ini, saya sadar bahwa saya adalah tipe orang yang memang membutuhkan sedikit ‘pressure’ untuk mulai melangkah maju. Karena saya orangnya kadang-kadang terlalu santai, saya tidak boleh berada di lingkungan yang juga sama santainya.


Karena realisasi tersebut, selama SMA, saya bertekad untuk mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat, karena jika tidak, saya hanya akan bermalas-malasan saja. Saya akhirnya membuat sebuah ‘bucket list’ dengan semua hal yang ingin saya coba: menulis buku, mendirikan organisasi, bermusik, riset, dan mencari sumber penghasilan.


Saya memfokuskan riset saya seputar generasi muda Indonesia karena saya tertarik dengan topik-topik seperti ‘insecurities’, motivasi, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi rasa percaya diri seorang remaja. Singkat cerita, hasil riset ini saya jadikan fondasi dari wawancara yang saya lakukan dengan berbagai tokoh inspiratif dari Indonesia, termasuk Susi Susanti (atlet), Isyana Sarasvati (penyanyi), Batara Sianturi (CEO), dan Andian Parlindungan (Ustadz). Saya ingin tahu benang merah dari kesuksesan figur-figur tersebut karena mereka semua menemukan sukses di bidang yang berbeda-beda. Isi dari wawancara-wawancara tersebut saya kembangkan menjadi sebuah buku yang judulnya Berani Bermimpi.


Saya lalu mendirikan organisasi dengan bantuan teman-teman sekolah yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas edukasi di Indonesia. Kita bekerja sama dengan berbagai sekolah untuk mengedukasikan adek-adek yang lebih muda mengenai kesehatan, kesadaran lingkungan, dan topik-topik lain yang seringkali tidak diajarkan di kelas. Kita juga bekerja sama dengan organisasi lain dan ahli-ahli pediatri untuk membantu mencegah stunting di NTT. Bantuan yang bisa saya beri pada saat itu sebagai anak yang baru 15 tahun hanya sebatas menggalang dana, mendistribusi sumber daya lainnya (seperti daun moringa ataupun suplemen nutrisi), dan membangun sumur di berbagai lokasi yang belum memiliki akses ke air bersih. Namun, organisasi ini membuat saya sadar akan keinginan saya untuk bisa membantu dengan cara yang lebih ‘hands-on’, yaitu sebagai seorang dokter dengan ilmu yang bisa menyembuhkan, tidak hanya sekedar mencegah.


Di luar itu, saya juga sempat tampil dengan orkestranya om Erwin Gutawa, bekerja sebagai translator untuk acara G20, berkolaborasi dengan IPOT, dan magang di sebuah perusahaan manajemen. Tapi, tentunya, saya selalu meluangkan waktu untuk main. Semakin banyak aktivitas di jadwal saya, semakin saya paham betapa pentingnya menemukan keseimbangan di tengah segala kesibukan. Betapa pentingnya teman, keluarga, dan istirahat.


Menurut saya, semua kegiatan yang saya coba pada masa ini (meskipun tampaknya tidak ada korelasi diantaranya), berujung menjadi pemicu dari motivasi saya untuk daftar masuk FKUI.


Sampai awal kelas 12, saya masih tidak berani ikut seleksi FKUI. Hanya dari sisi akademik pun, saya sudah jauh ketinggalan; di sekolah, satu-satunya mata pelajaran IPA yang saya ambil adalah biologi (higher level)—matematika saja hanya standar level. Jadi, saat waktunya mulai nulis aplikasi universitas, saya malah daftar untuk jurusan sastra inggris di UK dan psikologi di Amerika Serikat. Karena universitas-universitas di Inggris sangat mementingkan nilai ujian dan potensi akademik, dan saya memang lebih pingin ke Inggris dari pada Amerika, fokus saya diambil alih oleh ujian sekolah dan karya sastra. Hari-hari saya dihabiskan membedah novel karya George Eliot, puisi-puisinya Wordsworth, dan diksi yang digunakan Chaucer. Akhir tahun 2022, saya ikut tes untuk masuk salah satu universitas impian saya dari kecil. Saya lolos sampai tahap akhir, yaitu wawancara, tetapi akhirnya tidak lolos seleksi. Walaupun memang ada sedikit rasa kecewa, momen ini mengingatkan saya bahwa apa yang saya inginkan belum tentu yang terbaik untuk saya. Di saat itu, saya mulai labil lagi. Mungkin sastra inggris bukan jalur yang tepat untuk saya…


Saya tadinya memandang sastra inggris sebagai sebuah jurusan yang bisa membantu saya lebih memahami kemanusiaan dan lika-liku kehidupan. Karena, setiap kali kita mempelajari sebuah karya sastra, kita ikut paham konteksnya, dari segi politik, sejarah, hingga sosial. Walaupun saya labil akan mewujudkannya, saya sudah tahu dari awal bahwa minat terbesar saya adalah untuk mempelajari kehidupan. Saya jadi ingat kata-kata yang disampaikan om Batara di wawancaranya: “When you have been blessed, it is your duty to become a blessing for others”. Jika diberkati, saya ingin ilmu yang saya dapatkan selama kuliah untuk bisa digunakan demi kebaikan orang lain. Habis introspeksi lagi lebih lanjut, saya sampai pada kesimpulan bahwa pendidikan dokter adalah jurusan yang lebih selaras dengan keinginan saya. Proses pemikiran ini memantapkan keinginan saya untuk menjadi bagian dari FKUI. Namun, motivasi terbesar saya tetaplah orang-orang terdekat saya.


Karena tidak lolos talent scouting, saya akhirnya memutuskan untuk ikut SIMAK KKI. Tentunya, pilihan untuk ikut tes ini penuh dengan rasa takut dan pesimis. Tes SIMAK KKI diadakan pada tanggal 25 Juni. Sedangkan, sampai akhir Mei saya masih harus fokus ujian sekolah. Dalam jangka waktu kurang lebih 1 bulan, saya harus bisa mengejar materi SIMAK yang belum pernah saya pelajari sebelumnya. Ini merupakan tantangan yang sangat besar; saya tidak tahu apapun mengenai fisika atau kimia, dan kemampuan matematika saya pas-pasan. Bahkan, biologi pun merupakan sebuah tantangan karena kurikulum SIMAK jauh lebih dalam dari kurikulum sekolah saya. Meskipun demikian, saya terus berdoa dan tetap belajar dengan sesungguhnya. Walaupun peluang saya untuk diterima sangatlah kecil, setidaknya masih ada kesempatan. Saya yakin bahwa jika ini memang jalannya, pasti akan ada saja pintu yang terbuka.


Karena persiapan untuk SIMAK harus tetap jalan beriringan dengan wisuda, prom, dan senior trip angkatan saya, pembagian waktu menjadi hal yang paling penting. Supaya bisa tetap menikmati keseruan liburan, saya memilih untuk menjadwalkan waktu les di pagi hari, sehingga waktu revisi cukup dari jam 7 sampai 11 pagi saja. Tanpa Ms. Ayun, Ms. Ganesh, Ms. Mel, dan Kak Andrew, saya tidak mungkin sampai titik sini. Karena guru-guru les yang luar biasa, proses persiapan saya menjadi suatu pengalaman yang penuh keseruan; setiap pelajaran menarik dan menyenangkan, tidak pernah jadi beban.


Sampai hari tes, pengetahuan saya mengenai fisika dan kimia secara teori masih sangat dasar. Namun, karena setiap hari saya nyicil latihan beberapa soal, saya sudah lumayan kenal dengan jenis-jenis pertanyaan yang mungkin keluar. Saya akhirnya dapat menjawab 14/15 pertanyaan di bagian biologi. Untuk kimia, saya menjawab 8/15. Tapi, untuk bagian matematika, saya hanya jawab 3/15, dan fisika 2/15. Habis tes, saya langsung pasrah karena menurut saya nilai saya tidak mungkin mencukupi. Lucunya, kepasrahan ini malah menghilangkan semua kekecewaan. Apapun hasilnya, saya tidak akan rugi; tidak ada ilmu yang sia-sia.


Saya tiba-tiba dapat kabar bahwa saya lolos tahap seleksi awal dan akan ikut wawancara (MMI). Saya awalnya tetap pasrah karena saya kira wawancaranya akan sangat akademis. Sejujurnya, saya tidak ngerti apa-apa mengenai inovasi, legislasi, atau kontroversi di dunia medis, dan pengetahuan ini tidak mungkin saya kebut dalam jangka waktu yang hanya sekitar 4 hari. Karena itu, persiapan wawancara saya tidak optimal. Tidak tahu kenapa, setiap kali saya mencoba jawab contoh pertanyaannya, saya tidak bisa fokus. Akhirnya, persiapan saya hanya sekedar nonton beberapa contoh MMI, dan mencari tahu cara kerja sistem stasiun-stasiunnya. Sehari sebelum wawancara, saya pergi ke Bandung untuk nonton pertandingan sepak bola. Ya… Tambah pasrah lagi. Karena macet, saya akhirnya sampai rumah di Jakarta jam 2:30 pagi, 3 jam sebelum saya harus bangun dan berangkat ke Depok. Saking ngantuknya, saya mencapai titik dimana saya tidak gugup sama sekali. Jika misalnya nanti ada pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, saya memutuskan untuk jujur saja, dari pada ngomong berputar-putar tanpa substansi. Yang penting kan, kedepannya, saya bersedia untuk belajar apapun yang belum saya ketahui di saat ini. Ternyata, wawancaranya tidak akademik sama sekali! Walaupun saya tidak tahu jika jawaban saya ‘benar’ atau tidak, setidaknya pengalamannya seru. Saya semakin jatuh cinta dengan FKUI.


Rasa gugup kembali saat hasil seleksi diumumkan pada tanggal 5 Juli. Hari itu lumayan sibuk. Saya magang dari jam 11 pagi sampai jam 7 malam, dan habis ngantor, ada acara makan malam bersama teman-teman saya. Saya tahu, jika memang rezeki saya bukan di FKUI, saya harus berusaha untuk menerima hasilnya sebaik mungkin. Tapi, saking gugupnya, saya seharian menghindari melihat hasil seleksi saya. Karena sampai jam 8 malam saya masih belum mau membuka pengumumnya, orang tua saya akhirnya mengecek duluan (tanpa bilang-bilang) menggunakan NPM saya. Tiba-tiba, saya dapat WA di grup keluarga, “Selamat, Anda dinyatakan sebagai calon mahasiswa baru Universitas Indonesia”. Alhamdulillah.


Di saat itu, saya bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Masuk FKUI hanyalah awal dari perjalanan yang panjang. Saya tahu bahwa perjuangan kedepannya akan penuh dengan tantangan-tantangan yang lebih berat lagi. Namun, saya berharap bahwa diri saya dan angkatan FKUI 2023 akan bisa menjalani kuliah dari awal sampai akhir dengan keringanan hati dan semangat yang terus membara.


Menurut saya, dokter yang ideal tidak hanya memiliki ilmu dan kompetensi medis, tetapi juga harus memiliki kode etik yang kuat. Nilai luhur yang seorang dokter harus anut termasuk integritas, belas kasihan, dan tentunya, komitmen terhadap pasien dan profesi [3]. Saya sangat mengagumi filosofi-filosofi hidup kakek saya karena selalu didasarkan oleh keinginannya untuk membantu orang lain. Dari beliau, saya belajar bahwa rasa kepedulian dan empati ini tidak bisa dipalsukan. Selain itu, seorang dokter ideal dapat berkontribusi terhadap masyarakat dengan cara mengedukasi orang tentang kesehatan, berpartisipasi dalam penelitian medis, dan tentunya, memberi perawatan yang berkualitas. Intinya, dokter ideal harus mempunyai keinginan untuk selalu belajar, namun harus selalu ingat bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang lebih besar [4].


Sebelum diterima di FKUI, hidup saya penuh kelabilan. Dalam satu sisi, kelabilan ini memberi saya perspektif dan pengalaman-pengalaman yang sangat bervariasi. Semua pengalaman ini menjadi satu untuk membentuk pandangan hidup saya di saat ini, jadi tidak ada sedikitpun yang saya sesali. Namun, selama di FKUI, saya berkomitmen untuk lebih mengenal diri saya dan perlahan-lahan memutuskan secara spesifik apa yang saya inginkan di masa depan. Saya berharap bisa menjadi seorang dokter yang kompeten secara akademis, tetapi yang lebih penting lagi, saya ingin selalu bersedia untuk mendengarkan dan berempati dengan pasien saya [5].


Rencana jangka pendek saya selama preklinik lumayan sederhana; saya ingin memperoleh pengetahuan medis yang kuat. Untuk mencapai tujuan ini, yang paling penting adalah disiplin. Saya harus bisa membagi waktu saya dan membangun keterampilan studi yang efektif dan cocok untuk diri saya. Saya akan memanfaatkan sumber daya perpustakaan UI yang sangat luas, dan juga bekerja bersama anggota-anggota FKUI, guru maupun murid, untuk selalu mengembangkan pengertian saya tentang konsep-konsep medis. Di luar kegiatan akademik, saya akan berusaha untuk meluaskan wawasan saya dengan cara menjalin hubungan sosial dan profesional yang baik dengan rekan-rekan sekelas maupun fakultas.


Walaupun saya belum tahu ingin jadi spesialis apa, tentunya saya ingin menjadi dokter yang terampil dan empatik. Setiap pasien mempunyai kisah yang unik; saya berharap untuk selalu bersedia untuk mendengarkan dan memberikan dukungan dengan seksama. Kedepannya, saya akan terus memperdalam pengetahuan medis saya melalui literatur, penelitian, dan berpartisipasi dalam konferensi serta diskusi dengan ahli-ahli di bidangnya. Semoga saya bisa berkolaborasi dengan dokter-dokter keren untuk terus meningkatkan kesejahteraan negara kita. Saya juga akan berusaha untuk aktif melibatkan diri dalam inisiatif kesehatan masyarakat. Sebaliknya, saya harap masyarakat juga akan lebih sadar akan pentingnya menjaga kesehatan. Terakhir, walaupun sibuk, saya akan selalu ingat untuk beristirahat, berolahraga, dan bersosialisasi supaya dapat memberikan perawatan yang optimal kepada pasien.


Pengalaman saya masuk FKUI telah mengajarkan saya untuk tidak pernah berprasangka buruk terhadap hidup. Setiap langkah, termasuk momen-momen dimana kita merasa stagnan, adalah bagian dari sebuah proses yang kita harus jalani. Jadi, kepada adik-adik yang mungkin juga mau masuk FKUI atau masih labil dengan masa depannya: it’s okay. Usaha penting, tapi hasil jangan terlalu dipikirin. Jalanin aja pelan-pelan. Nikmati prosesnya. Jika hasil tidak sesuai harapan, ingat bahwa Allah mempunyai rencana yang lebih baik lagi untuk kita. Eventually, all the pieces fall into place.


Daftar referensi:

1. General Medical Council. The duties of a doctor registered with the general medical council [Internet]. General Medical Council. 2019. Available from: https://www.gmc-uk.org/ethical-guidance/ethical-guidance-for-doctors/good-medical-practice/duties-of-a-doctor

2. Rodger D, Stewart-Lord A. Students’ perceptions of debating as a learning strategy: a qualitative study. Nurse Education in Practice. 2020 Jan;42:102681.

3. Huber A, Strecker C, Kachel T, Hoge T, Hofer S. Character strengths profiles in medical professionals and their impact on well-being. Frontiers in Psychology. 2020 Dec 23;11.

4. Govindarajan V, Ramamurti R. Why the world needs doctors with these 3 qualities [Internet]. Harvard Business Review. 2018 [cited 2023 Aug 9]. Available from: https://hbr.org/2 018/08/why-the-world-needs-doctors-with-these-3-qualities

5. Yang N, Xiao H, Wang W, Li S, Yan H, Wang Y. Effects of doctors’ empathy abilities on the cellular immunity of patients with advanced prostate cancer treated by orchiectomy: the mediating role of patients’ stigma, self-efficacy, and anxiety. Patient preference and adherence [Internet]. 2018 Jul 24 [cited 2023 Aug 9];12:1305–14. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6 063254/

 
 
 

Recent Posts

See All
Satria Dwi Nurcahya

NARASI PERJUANGAN Halo salam kenal semua! Perkenalkan nama saya Satria Dwi Nurcahya, biasa dipanggil Satria. Arti dari nama saya...

 
 
 
Algio Azriel Anwar

Narasi Perjuangan Halo perkenalkan, namaku Algio Azriel Anwar. saya adalah fakultas kedokteran program studi pendidikan kedokteran dari...

 
 
 
Tresna Winesa Eriska

Narasi Perjuangan “Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah...

 
 
 

Comments


© 2023 FKUI Gelora

bottom of page