- Fathimah Azzahra
- Aug 12, 2023
- 8 min read
Updated: Aug 13, 2023
Narasi Perjuangan
Nama Lengkap : Fathimah Azzahra Nama Panggilan : Fathimah Asal Sekolah : SMA Negeri 3 Depok Program : KKI Jalur Masuk : Talent Scouting
Pernahkah kalian menyaksikan pertunjukan sulap dan merasa heran saat seekor kelinci muncul tiba-tiba dari dalam topi sang pesulap yang awalnya kosong? Dalam dunia kita, topi pesulap bisa diibaratkan seperti alam semesta, sedangkan kelinci melambangkan bumi kita, dan manusia adalah bagian dari ekosistem ini, seperti kutu-kutu kecil yang menghuni tubuh kelinci. Perbedaannya, kelinci dalam pertunjukan sulap tak menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari pertunjukan menakjubkan, sedangkan kita, manusia, menyadari bahwa kita merupakan bagian dari kreasi magis alam semesta. Beberapa individu membiarkan kesadaran ini berlalu begitu saja, tetapi ada juga yang dengan penuh semangat mendekati pesulap, seperti halnya ilmuwan dengan rasa ingin tahu yang menggebu, menciptakan daya tarik terhadap ilmu pengetahuan. Mereka ingin mengungkap misteri yang mengitarinya, apa yang sebenarnya terjadi dibalik keajaiban yang kasat mata dalam dunia kita.
Kesadaran tersebut mengilhami saya melalui guratan pena Jostein Gaarder, dalam buku best seller nya Dunia Sophie [1] yang menjelaskan dengan gamblang bagaimana individu dengan rasa keingintahuan yang meluap terus bergerak menyusun teka teki alam. Beberapa dari mereka menggali misteri angka dan matematika, sementara yang lain merenungkan esensi hubungan sosial antarmanusia. Ada pula mereka yang mencari jawaban dari teka-teki alam semesta dengan memahami diri mereka sendiri, menjelajahi bagaimana tubuh mereka berinteraksi harmonis untuk mewujudkan fungsi yang spesifik. Orang orang ini, yang kerap kali disebut juga sebagai “physician” tenggelam dalam kompleksitas tubuh manusia, dan telah sepenuhnya merubah wajah dunia melalui penemuan penemuan mereka dari berbagai penjuru dunia, dan pada era yang beragam pula. Di Indonesia, jejak para physician dimulai pada tanggal 2 Januari 1849 lewat Keputusan Gubernemen No. 22. [2] Ketetapan itu menjadi titik awal penyelenggaraan pendidikan kedokteran di Indonesia (Nederlandsch Indie), yang ketika itu dilaksanakan di Rumah Sakit Militer. Selang dua tahun kemudian, tepatnya pada bulan Januari 1851, dibuka Sekolah Pendidikan Kedokteran di Weltevreden. Titik terang semakin terlihat ketika lulusan sekolah tersebut digelari Dokter Djawa. Namun, sayangnya meski diberi titel dokter, lulusan sekolah tersebut “hanya” dipekerjakan sebagai Mantri Cacar. Nyaris 10 tahun lamanya dokter-dokter Indonesia harus menunggu untuk memperoleh wewenang lebih dari sekadar Mantri Cacar. Pada tahun 1864, meskipun masih di bawah pengawasan dokter Belanda, lulusan yang dihasilkan akhirnya dapat menjadi dokter yang berdiri sendiri. Kemudian, lebih dari 20 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1898, barulah berdiri sekolah pendidikan kedokteran yang disebut STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen). STOVIA menjadi tempat pertemuan dan kolaborasi antar dokter dan praktisi medis. Mereka berdiskusi, berbagi pengetahuan, dan mengembangkan solusi bersama untuk tantangan kesehatan yang kompleks. Begitu banyak jejak yang tertoreh, jejak-jejak keberanian dalam melawan penyakit, jejak penemuan-penemuan yang menggugah alam.
FKUI mengajarkan pada saya bahwa sejarah bukan hanya untuk diabadikan, tetapi untuk dihidupkan. Bagi saya, FKUI adalah jalan untuk mengenang, menghargai, dan meneruskan tongkat estafet besar ini. Saya ingin berjalan di kampus ini, tak hanya sebagai mahasiswa, tetapi sebagai pelajar sejarah yang tahu bahwa dalam setiap kisah yang saya tinggalkan, ada bagian dari diri saya yang tertinggal untuk selamanya, menjadi jejak jejak baru dalam perjalanan dunia medis. FKUI adalah medan tempur ilmu di mana saya, dengan sabit keingintahuan di tangan, siap untuk merobek tirai rahasia alam yang belum dikuak, berkontribusi dalam menyusun teka teki semesta.
Sepanjang tiga tahun masa sekolah menengah pertama, saya menjumpai berbagai kisah menarik dari mereka yang terlibat dalam petualangan ilmu pengetahuan. saya menyaksikan narasi unik beragam individu, masing-masing menorehkan lembaran sejarah dengan bidang ilmu sebagai persembahan puzzle yang tak ternilai. Seperti misalnya tokoh pada zaman kuno, Thales, dengan teorema nya yang mengatakan bahwa air adalah dasar dari segala sesuatu. Yang kemudian disanggah oleh Anaximander dengan pemikiran bahwa alam berasal dari segala sesuatu yang berlawanan, yang terus berperang satu sama lain. Panas membalut yang dingin sehingga yang dingin itu terkandung di dalamnya. Dari yang dingin itu terjadilah yang cair dan beku. Yang beku inilah yang kemudian menjadi bumi.
Ada pula Pythagoras dengan rumusan matematika nya. Dan Heraclitus dengan hasil perenungan yang ia kemukakan dengan ucapannya “panta rhei kai uden menei” yang berarti, "semuanya mengalir dan tidak berlaku sesuatupun yang tinggal tetap." Ia tak henti henti nya menggambarkan hukum perubahan seperti air yang mengalir, "Engkau tidak mampu turun dua kali ke sungai yang sama," demikian ia katakan, karena air di sungai selalu mengalir sehingga yang kita sentuh kedua kali bukanlah air yang sama yang baru saja melewati tubuh kita. Kisah kisah historis semacam ini saling menyusun, saling melengkapi dengan koreksi, hingga terbentuklah hukum hukum alam yang saat ini kita ketahui.
Terbuai oleh petualangan-petualangan ini, memasuki tahun pertama sekolah menengah atas mengantarkan saya ke dalam dunia rumpun sosial, dimana narasi narasi historis membuka cakrawala berpikir, melatih saya untuk memahami masa lampau sebagai bekal dalam merumuskan masa depan.
Namun masuknya saya ke dalam fase kehidupan baru, ternyata diwarnai dengan munculnya momen momen yang menghadirkan perasaan khawatir terhadap kapabilitas diri saya, yaitu ketika melihat seseorang mengalami kecelakaan, atau orang yang berada dalam kondisi kritis di rumah sakit, atau ada keluarga yang terbaring lemah menggantungkan nasib pada situasi yang tidak dapat diandalkan sepenuhnya.
Di saat-saat seperti itulah, kesadaran akan keterbatasan pengetahuan saya tentang dunia medis mencengkram dengan begitu kuatnya. Saya merasa terbatas. Kerisauan ini, pada akhirnya, menanamkan tekad bulat dalam diri saya untuk menjadi seorang dokter. Saya begitu terilhami bahwa pengetahuan adalah kunci solusi dalam berbagai situasi kritis tersebut. Sebagaimana memilih potongan puzzle dalam mengungkap misteri alam semesta, pengetahuan memberi kita pandangan baru dan mengungkapkan solusi-solusi yang dahulu tersembunyi.
Dengan usaha yang tidak mudah, menghadapi huru hara, saya akhirnya memindahkan diri ke rumpun ilmu pengetahuan alam. Saya akhirnya mendapat kesempatan untuk mengejar mimpi saya. Itu tidak lepas dari dukungan para guru yang begitu peduli pada cita cita dan impian saya. Hari ini, saya mungkin tidak akan menulis narasi perjuangan di kampus ini, jika dua tahun yang lalu para guru dan kepala sekolah menengah atas negeri 3 depok tidak melihat kuatnya determinasi saya untuk meraih mimpi.
Lalu mundur sedikit lebih jauh, saya pun mungkin tidak mampu mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi manapun tanpa peran Bapak Ali Badrudin M.Pd., Direktur SMP Islam Binakheir, yang telah menyelamatkan nasib pendidikan saya yang hampir berhenti di masa itu. Alhamdulillah, alih alih berhenti, saya justru mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara di Universitas Indonesia, untuk Fakultas Kedokteran, Program Kelas Khusus International.
Dan izinkan saya untuk mengajak anda mundur lebih jauh lagi, untuk mengetahui bahwa, sosok Pak Ali yang sangat berjasa, hadir dalam hidup saya melalui perjuangan ayah dan ibu saya, yang telah memberikan wadah belajar terbaik, sehingga saya dapat bertemu dengan guru guru berhati mulia, dan berada pada lingkungan yang terus mendorong saya pada cerahnya masa depan. Sehingga dengan diumumkannya kelulusan saya pada jalur Talent Scouting Faculty of Medicine, menjadi buah manis bagi perjuangan mereka dalam mengusahakan pendidikan. Saya sepenuhnya menyadari, bahwa keberhasilan ini juga merupakan dampak dari orangtua, keluarga, guru, dan teman yang senantiasa membentuk dan menopang saya.
Setelah sampai pada pintu masuk ke FKUI, komitmen saya semakin tumbuh kuat. Saya ingin menjelajahi ilmu dengan hasrat yang tak terbatas, mengikuti jejak tokoh-tokoh terkemuka yang telah menorehkan sejarah dan menciptakan rumusan esensi seorang dokter. Saya ingin menjalani setiap pelajaran dengan dedikasi penuh, merangkai ilmu seperti potongan-potongan puzzle yang membentuk gambar besar misteri alam. Saya ingin menjadi katalisator perubahan, pendorong inovasi dan riset, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Di sisi lain, saya pun merenungi fakta yang tidak bisa diabaikan: banyak ilmuwan yang telah mendedikasikan seumur hidup untuk penelitian, namun hasil penemuan yang mereka ciptakan tidak sama jumlah nya dengan upaya mereka dalam menemukannya. Ini adalah sebuah refleksi, mengingatkan kita akan makna mendalam dari eksplorasi ilmiah. Dalam dunia yang didominasi oleh hasrat pencapaian dan persaingan, saya berharap kita semua dapat menemukan kebahagiaan dalam merenung, menelusuri, dan memahami konsep-konsep yang membentuk dasar ilmu pengetahuan. Dengan menganalisis dan menggali lebih dalam, kita mungkin menemukan bahwa kesejatian ilmu terletak pada penerimaan terhadap kompleksitasnya, bukan sekadar hasil akhir yang mencolok.
Menjadi seorang dokter tidak hanya berarti menjadi seorang pembelajar, atau seorang yang mengobati penyakit saja. Dokter yang ideal sejatinya lebih lengkap dari yang mungkin kita bayangkan. Imajinasi tentang seorang dokter sejati diwarnai oleh beberapa tokoh bersejarah, seperti misalnya Albert Schweitzer yang memiliki gambaran puitis, ia menggambarkan dokter ideal sebagai "pelayan cinta" yang mendedikasikan diri untuk melayani manusia dan meringankan penderitaan.[3] Ia menekankan pentingnya motivasi batin yang kuat dan semangat pelayanan yang tulus dalam praktik kedokteran.
Ada pula Florence Nightingale, meskipun lebih dikenal sebagai perawat, ia memberikan pandangan yang amat vital untuk dimiliki seorang dokter, Nightingale menggarisbawahi pentingnya sikap perhatian, kepedulian, dan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien, serta peran dokter dalam menciptakan lingkungan penyembuhan yang optimal.
Tidak hanya dari benua eropa, pandangan yang amat menginspirasi dan turut membangun para dokter menjadi ideal pun dikemukakan oleh Ibnu Sina, filsuf paling berpengaruh di era pra-modern. Ia menekankan pentingnya pengetahuan medis yang luas dan mendalam.[4-5] Dokter, menurutnya tidak hanya mampu mengobati penyakit, tetapi juga harus memiliki pengetahuan filosofis dan moral yang kuat untuk memahami keseimbangan tubuh dan jiwa pasien. Dan tentu saja, dari yunani kuno, tempat lahirnya para pemikir, lahir pula tokoh yang kemudian diberi gelar sebagai Bapak Kedokteran. Hipokrates, mengajarkan bahwa seorang dokter harus memiliki etika yang tinggi, menjunjung nilai-nilai integritas, serta mengutamakan kepentingan pasien di atas segalanya.[6] Ia mengajarkan arti penting mendengarkan dan berempati terhadap pasien dalam upaya penyembuhan.
Dengan kualitas kualitas tersebut, dokter tidak hanya menyembuhkan dengan tindakan klinis atau obat obatan, mereka memberikan dukungan emosional dan perawatan yang holistik. Kualitas hubungan antara dokter dan pasien tidak hanya berfokus pada aspek fisik, tetapi juga mendalam ke dimensi psikologis dan sosial. Sehingga peran mereka tidak terbatas pada ruang medis, melainkan meluas menghampiri masyarakat. Mereka menjadi penghubung antara kompleksitas ilmu kedokteran dan dunia, mendekatkan informasi medis yang kompleks ke dalam bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Dengan begitu, mereka membantu masyarakat memahami kondisi kesehatan mereka sendiri, memungkinkan pasien membuat keputusan yang lebih baik terkait perawatan dan pengobatan yang akan mereka jalani.
Konsep besar ini menginspirasi saya sepenuhnya untuk menjadi dokter yang utuh, seorang dokter yang sesuai dengan pesan para pemikir dan tokoh bersejarah. Kriteria kriteria tersebut menjadi prinsip yang saya pegang teguh, tanpa rasa cukup untuk terus berkembang.
Saya percaya bahwa itu semua harus saya tanamkan sejak berada pada fase pendidikan yang baru saja saya mulai ini. Sebagai seorang mahasiswa, saya ingin menikmati waktu yang saya miliki untuk tenggelam pada dalam nya keajaiban tubuh. Menghabiskan waktu untuk menjadi seorang pembelajar. Mengikuti jejak penelitian yang dirintis oleh umat manusia, merupakan kenikmatan yang tidak mungkin saya dustakan.
Saya pun percaya, semakin bertambahnya ilmu yang saya miliki, semakin terang pula visi saya kedepan. Dengan pengetahuan yang saya miliki hari ini, saya bercita cita untuk turut membangun perubahan. Saya ingin bekerja sama dengan rekan rekan sejawat untuk mengedepankan pencegahan dengan memberikan edukasi tentang pola hidup sehat dan tindakan pencegahan penyakit. Sehingga rumah sakit tidak hanya didatangi oleh masyarakat yang lesu menanggung penderitaan, namun lebih banyak orang yang datang dengan ceria untuk melakukan pengecekan kesehatan dan berbagai tindakan preventif lainnya.
Dengan terlibat dalam kampanye kesehatan masyarakat, mengadvokasi kebijakan yang mendukung akses universal terhadap layanan kesehatan berkualitas. Hingga rumah sakit tidak lagi menjadi tempat yang hanya dituju oleh mereka yang telah sakit, tetapi juga mereka yang sedang menjaga kesehatan nya.
Saya ingin menutup narasi ini, dengan menyampaikan sedikit pesan bagi para calon sejawat, mereka yang mungkin saat ini masih berkesempatan untuk mengenakan baju putih abu abu. Saya ingat ketika SMA ada banyak sekali momen ketika hari terasa melelahkan, pikiran dan hati yang kadang kala terbebani oleh ketidakpastian dan harapan. Namun hari hari itu akan berlalu, fase kalian berada di SMA adalah 3 tahun, tidak akan lebih ataupun kurang, sehingga yang tersisa adalah pilihan, bagaimana kalian akan mengisi 3 tahun yang akan terasa singkat itu. Dan berdasarkan apa yang saya alami, cara yang paling indah bukanlah dengan sekadar mengejar angka diatas kertas, tetapi dengan menikmati setiap momen belajar, merasakan puasnya memahami hal baru setiap hari, dan berusaha memahirkan diri dalam setiap hal baru itu.
Pelajari dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu, perluas wawasan kalian dengan percaya diri. Karena mengejar angka yang sempurna kerap kali hanya menciptakan beban dan kejenuhan, sementara ketika mengejar kesempurnaan dalam pemahaman, maka nilai sempurna itu akan dengan sendirinya mengikuti.
Daftar Pustaka
Gaarder J. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat. Edisi ke-25. Penerbit Mizan; 2021 Jun 3.
Abdul Muthalib A. Sejarah Kedokteran Indonesia: Dari Masa ke Masa. Badan Penerbit FKUI (BP FKUI); 2017 Oct 15.
Williams R. Albert Schweitzer: A Life of Service and Philosophy. The Philosopher's Corner [Internet]. 2017 [citied 2023 Aug 12];8(2). Available from: https://www.philosopherscorner.org/schweitzer-life-philosophy.
Johnson A, Brown C. Ibnu Sina's Contributions to Medicine and Philosophy. J Med Philos [Internet]. 2019 [citied 2023 Aug 12]44(3):245-260. Available from: https://www.jmedphil.com/ibnusina-contributions.
Garcia M. Ibnu Sina and Hipokrates: Parallel Contributions to Medicine. Penerbit Academic Press; 2020.
Smith J. Hipocrates: The Father of Medicine. Penerbit MedPress; 2015.
Comments