- Celine Olivia Alexandra
- Aug 11, 2023
- 15 min read
Updated: Aug 13, 2023
Narasi Perjuangan
Nama saya Celine Olivia Alexandra, biasa dipanggil Celine. Saya berasal dari SMA Santa Ursula Jakarta dan sekarang menjadi mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran Kelas Khusus Internasional Universitas Indonesia melalui jalur Talent Scouting. FKUI bagi saya merupakan suatu impian. Reputasi FKUI sebagai suatu kampus yang memiliki lulusan dokter-dokter yang berkapabilitas tinggi menjadi daya tarik, ditambah UI sendiri merupakan salah satu universitas terbaik di Indonesia. Namun, reputasi ini juga membawa dampak. Di mana fakultas kedokteran UI tidak hanya dikenal karena kualitas pendidikan dan lulusannya, melainkan juga karena reputasinya sebagai fakultas yang banyak diminati tetapi sulit dimasuki. Oleh karena itu, pandangan saya terhadap FKUI awalnya adalah sebagai suatu tempat yang di luar jangkauan. Memasuki UI, apalagi fakultas kedokterannya adalah sesuatu yang saya pikir hanya bisa saya capai di mimpi belaka. Tetapi memang mungkin karakter saya adalah seorang pemimpi, atau mungkin saya merasa tertantang oleh pemikiran saya itu sendiri, keinginan menjalani perkuliahan di FKUI memang menjadi sesuatu yang saya kesampingkan semasa SMP, tapi tidak pernah saya lupakan.
Pada awal masuk SMP saya memulai tahun ajaran dengan tekad baru; “Di masa SMP ini aku mau lebih aktif dan ambisius!” Jadi pada waktu salah satu teman saya mengusulkan untuk masuk Marching Brass (MB) bersama, saya menyetujui usulnya. Keputusan ini menjadi sumber berbagai pengalaman yang pahit dan sulit di masa SMP dan SMA saya. Tidak jarang di masa SMP saya menyesali keputusan saya yang satu ini. Tetapi di saat-saat tersebut saya mengingat kenangan-kenangan yang tidak kalah manisnya selama ikut Marching Brass. Oleh karena itu keinginan untuk keluar MB tidak pernah saya turuti, juga karena saya merasa ini sudah menjadi obligasi dan tanggung jawab bagi saya yang sudah menandatangani kontrak yang mengikat selama 6 tahun. Marching Brass bukan menjadi sumber kecemasan saya hanya karena latihan yang berat, masalah utamanya bagi saya justru datang dari penuhnya jadwal saya. Dengan banyaknya tugas dan ulangan yang perlu saya jalani, kesulitan membagi waktu dengan jadwal latihan menjadi masalah besar bagi saya yang sudah membulatkan tekad untuk mendapat nilai bagus di masa SMP. Namun memang benar perkataan dari St. Fransiskus Assisi “Start by doing what’s necessary; then do what’s possible; and suddenly you are doing the impossible.” Atau dibahasa Indonesiakan “Mulai dari melakukan apa yang perlu, lalu apa yang mungkin, dan tiba-tiba kamu akan melakukan apa yang tidak mungkin.” Dengan saya bekerja keras membagi waktu demi mempertahankan nilai sembari menyeimbangkan kegiatan ekstrakurikuler saya berhasil memenuhi tekad saya melampaui apa yang saya pikir mungkin.
Kegiatan di kelas 7 SMP tentunya belum seberat apa yang nantinya akan saya perlu lalui di masa SMA. Sayangnya sepertinya saya agak kaget dengan padatnya jadwal saya di tahun ajaran baru dengan adanya tambahan MB karena nilai Bahasa Indonesia saya mengalami penurunan, di mana sebelumnya di masa SD Bahasa Indonesia adalah salah satu mapel dengan nilai yang paling bisa saya banggakan. Anehnya nilai saya yang lain malah mengalami kenaikan, mata pelajaran matematika yang dulu menjadi kesulitan utama saya di masa SD malah menjadi mapel saya dengan nilai yang terbaik. Pada akhirnya menggunakan kenaikan nilai saya itu sebagai dasar membangun rasa percaya diri saya berhasil mengubah pola pikir saya dan menyeimbangkan nilai saya kembali. Momentum inilah yang saya pergunakan dalam menjaga nilai saya di tahun-tahun selanjutnya. Sebenarnya sistem ranking tidak dikenal di SMA Santa Ursula, atau lebih tepatnya ada tetapi tidak diperlihatkan kepada murid atau orang tua / wali murid. Tetapi di kelas 7 wali kelas saya menghadiahkan murid dengan ranking 10 besar di kelas dengan pulpen saat pembagian rapor, jadi dari sanalah saya mengetahui bahwa saya adalah salah satu murid 10 besar di kelas. Meskipun begitu sejujurnya saya tidak terlalu memperdulikan hal tersebut, karena pada waktu itu saya merasa kalau ranking 10 besar di kelas tidak ada apa-apanya dibandingkan ranking paralel. Jadi, untuk kelas 8 dan seterusnya saya hanya belajar sebisa saya dan mencoba meraih nilai setinggi yang saya bisa.
GPMB 2018 menjadi salah satu peristiwa yang tidak akan pernah saya bisa lupakan, mungkin seumur hidup saya. Sejak pertama kali masuk PSUMB saya sudah berkali-kali diberitahu akan adanya pertandingan nasional ini, di mana PSUMB akan bertanding dengan MB lainnya dari seluruh Indonesia yang kebanyakan disponsori oleh institusi atau organisasi besar dan beranggotakan mahasiswa atau bahkan pemain-pemain professional. Gambaran bahwa kami, PSUMB, yang hanya beranggotakan murid-murid SMP dan SMA harus melawan mereka sejujurnya terasa menakutkan bagi saya. Tetapi saya tidak sempat merenung dalam rasa takut itu, karena Training Camp PSUMB semakin mendekat tiap harinya. Ingatanku akan tugas dan ulangan di kelas 8 tidak terlalu jelas, mungkin karena memang saya tidak mengalami kesulitan beradaptasi seperti di kelas 7 sehingga sekolah terasa lebih mudah, tapi saya rasa hal tersebut lebih bisa dikaitkan dengan beratnya Training Camp (TC) yang melampaui kesulitan apapun yang saya alami di sekolah. Mengingat pengalaman saya mengikuti M di kelas 7, latihan yang memotong jadwal belajar-mengajar di kelas tidak menjadi kejutan bagi saya. Tetapi, latihan dalam skala yang saya alami pada TC bukan hanya memotong jadwal saya belajar, tetapi juga waktu saya beristirahat di rumah. Sebelum liburan sekolah TC diadakan setiap akhir pekan, dengan 6 jam latihan pada hari Sabtu dan sekitar 12 jam latihan di hari Minggu. Jadwal ini membuat pembagian waktu saya sangat menantang. Tugas-tugas sekolah dan ekstrakurikuler yang biasanya bisa saya kerjakan pada akhir pekan tidak bisa lagi dikerjakan dengan sistem yang sama. Pekerjaan rumah sebisa mungkin kukerjakan di sekolah tepat saat guru menugaskannya, waktu istirahat di sekolah saya pakai untuk mencicil tugas ekstrakurikuler dan semua tugas yang perlu diketik saya kerjakan dan selesaikan di rumah sebisa mungkin pada hari penugasan agar tidak menumpuk. Namun, tantangan terbesar justru ada di masa liburan, tugas sekolah memang tidak ada, tetapi jadwal TC berubah dari akhir pekan saja menjadi setiap hari dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam. Setiap hari dimulai dengan latihan fisik; lari, pushup, ketangkasan, plank, dan masih banyak lagi. Ditambah waktu latihan panjang tanpa boleh duduk dan belum lagi hukuman yang diterima jika melakukan kesalahan berulang. Sepanjang liburan saya sampai tidak bisa lagi mengingat hari apa hari ini karena setiap harinya dipenuhi oleh latihan dan pergantian waktu hanya bisa didefinisikan oleh rundown latihan dan kapan latihan selesai. Beratnya itu semua membuat saya lupa akan rasa takut menghadapi Marching Brass lainnya dalam GPMB, tetapi tentu saja waktu pertandingan hanya akan semakin mendekat. Beberapa bulan sebelum GPMB senior-senior saya menceritakan prestasi di GPMB 2014. Pada waktu itu PSUMB meraih peringkat 3 divisi utama, peringkat 1 front ensemble, serta prestasi-prestasi lainnya. Saya sendiri merupakan anggota front ensemble, sehingga pada sesi bercerita itu senior saya menekankan kepada kami, angkatan di bawahnya untuk membangkitkan rasa bangga dalam diri kami sekaligus tanggung jawab untuk meraih kembali peringkat 1 front ensemble setelah hiatus PSUMB dari GPMB pada 2016. Saat itu adalah pertama kalinya setelah bulan-bulan TC saya merasa kalau mungkin saja peringkat 1 itu ada dalam gapaian kami.
Di kampus Santa Ursula ada satu kutipan dari Santa Angela yang sudah menempel di benak semua angotanya, “Tidaklah cukup untuk memulai bila tanpa ketahanan.” Bagi saya yang sudah merupakan penduduk Santa Ursula sejak TK kata-kata ini sudah menjadi mantra sehari-hari yang muncul paling tidak seminggu sekali. Mungkin oleh karena semangat dan jiwa ini pula jika bertanya kepada alumni PSUMB manapun tentang hal penting apa yang kami dapat dari ekstrakurikuler ini jawabannya akan bervariasi. Tapi satu hal yang dapat kami semua setujui adalah bahwa hal tersebut bukanlah kemahiran bermain musik. Mungkin terdengar aneh karena aktivitas Marching Brass memang berpusat pada permainan musik, tetapi ilmu paling penting yang disediakan oleh organisasi ini lebih besar dan lebih banyak dari itu. Kerja sama, kedisiplinan, kejujuran, kerja keras, ketangguhan, dan tentunya ketahanan. Hal itu semua yang menjadi dasar perjuangan kami, dan juga alasan PSUMB meraih peringkat 1 divisi utama di tahun 2018 sekaligus peringkat 1 front ensemble beserta pencapaian lainnya. Saya masih ingat mengambil foto bersama dengan teman dan senior saya yang menangis setelah pengumuman sementara saya sendiri baru benar-benar merasakan pengaruh dari pengumuman itu esok harinya saat saya bangun tidur dan mulai menangis tanpa alasan yang jelas. GPMB 2018 menjadi pertanda akhir tahun serta datangnya semester baru bagi saya. Lucunya, setelah kesulitan yang saya alami di TC, semua tugas dan kegiatan akademik di sekolah tidak ada yang terasa berat bagi saya.
Satu-satunya hal yang menghancurkan euphoria kemenangan saya di tahun itu adalah berita bahwa kakak kedua saya, yang waktu itu masih duduk di bangku SMA, terkena meningitis. Secara spesifiknya yang dialaminya adalah bacterial meningitis1, infeksi pada meninges atau selaput otak yang menyebabkan pembengkakan. Pada kasus kakak saya, infeksi ini bersifat community acquired1. Menurut dokter yang memeriksa kakak saya sumber dari infeksi ini diperkirakan berasal dari kontaminasi makanan. Saya sendiri tidak menyaksikannya, tetapi menurut ibu saya saat ibu memasuki kamar kakak saat itu dia sudah dalam kondisi kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan busa. Kejang yang dialaminya begitu parah sampai-sampai ibu saya perlu ikut memeganginya saat scan MRI. Di saat itu dokter hanya memberi 4 pilihan; sembuh dengan kelumpuhan, sembuh dengan kebutaan, sembuh dengan kondisi vegetatif, atau tidak sembuh sama sekali. Tentu saja di antara semua pilihan itu tidak ada yang mengenakkan. Ibu saya bersikeras para dokter melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik bagi kakak saya. Sebagai metode pengobatan kakak saya harus diinfus dengan immunoglobulin2, antibiotik dosis tinggi, obat saraf, dan beberapa obat lainnya3. Tetapi saya sendiri tidak bisa melakukan apa-apa. Kerja keras yang saya banggakan tidak bisa saya gunakan untuk memperbaiki situasi ini, saya sendiri pada waktu itu hanyalah seorang murid SMP, semua kemenangan saya di tahun itu, semua prestasi apapun yang bisa saya raih tidak dapat bisa merubah fakta bahwa kakak saya dalam kondisi kritis. Jadi saya hanya melakukan apa yang mungkin saya lakukan, menangguhkan diri untuk saya sendiri dan seluruh keluarga saya dan berdoa. Meskipun saya tidak bisa berbuat apa-apa setidaknya saya ingin mengurangi beban yang ada dengan menjadi seorang anak yang bisa diandalkan, terutama karena orang tua saya tentunya tidak mau membebani saya dengan masalah ini, jadi saya sendiri melakukan yang terbaik yang saya bisa untuk tidak membuat masalah dan berdoa demi kesembuhan kakak saya. Tetapi Tuhan itu baik, keluarga saya mungkin bukan yang paling beriman atau paling banyak beramal, tetapi saya percaya yang Mahakuasa selalu memberi keajaiban saat kami benar-benar membutuhkannya. Kakak saya sembuh total. Bahkan dokter yang menangani kakak saya mengatakan bahwa kasus kakak saya ini ajaib. Tentunya peristiwa semacam ini bukanlah sesuatu yang ingin kuhadapi lagi. Tetapi setidaknya dengan mengambil sesedikit apapun hal positif yang mungkin saya dapatkan dari hal ini saya menjadi semakin sadar betapa berharganya waktu sependek apapun yang bisa saya gunakan untuk mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik. Kakak saya memang seseorang yang dulu selalu menjadi sumber kekesalan saya, tapi jika di masa-masa itu saya bisa melakukan apapun untuk membantunya saya yakin sangat sedikit kemungkinan saya tidak akan melakukannya. Perasaan tidak berdaya seperti itulah perasaan yang tidak ingin saya alami lagi. Dengan kesadaran baru inilah kelas 8 berakhir dan saya mulai menyambut kelas 9.
Sebagai kelas terakhir di jenjang pendidikan SMP, kelas 9 membawa kesan yang berbeda dari 2 kelas sebelumnya. Ambisi saya semakin memuncak dan kali ini saya benar-benar berniat mencapai nilai yang bagus. Perjuangan di tahun ajaran ini sampai ke titik tertinggi di saat ujian akhir tahun di mulai. Bukan hanya karena ujian itu saja, tetapi juga karena di saat yang bersamaan diumumkan kapan ujian masuk SMA Santa Ursula akan diadakan. Pengumuman ini menjadi sumber kecemasan bagi murid kelas 9 karena dikenal sulit dan berlangsung berjam-jam dengan istirahat hanya 1 kali. Mengetahui hal tersebut menjelang waktu ujian akhir teman-teman seangkatan saya mulai mengumpulkan testimoni kakak kelas mengenai ujian masuk dan apa saja yang perlu dipelajari sembari belajar untuk ujian akhir tahun. Saya sendiri sudah berniat mengikuti mereka dan mulai mempersiapkan ujian masuk, tetapidi salah satu hari ujian akhir guru BK SMP saya memberi pengumuman sebelum mulai tes hari itu untuk saya dan 9 anak lain untuk berkumpul menghadap beliau pada waktu istirahat antar tes. Saya sudah agak panik pada waktu itu karena umumnya anak-anak yang dipanggil guru BK melakukan kesalahan tertentu, padahal saya sendiri tahu saya seharusnya tidak dalam masalah apapun. Pada akhirnya saya mengerjakan tes hari itu dengan ketegangan yang agak melebihi rasa tegang saya biasanya dan pergi menghadap guru BK di jam istirahat. Di saat itu kecemasan saya terhapuskan karena ternyata kami dipanggil bukan untuk dimarahi, melainkan untuk diberi tahu kalau kami memiliki peringkat 10 besar di angkatan dan diperbolehkan masuk ke SMA Santa Ursula tanpa tes serta diberi kebebasan memilih jurusan yang kami inginkan. Program ini ternyata baru diterapkan pada tahun angkatan saya menduduki bangku kelas 9 sehingga saya terhitung cukup beruntung. Berhubung saya sendiri memang sudah bercita-cita menjadi dokter sejak TK saya tentunya memilih jurusan IPA, dan begitulah masa SMP saya berakhir, diikuti pandemi COVID-19.
Liburan masuk SMA yang panjang, serta adanya pandemi COVID-19 menjadi sumber kesulitan beradaptasi bagi saya dan seluruh penduduk dunia yang harus mengganti sistem kerja mereka agar bisa dilaksanakan secara daring. Hal ini menjadi salah satu faktor kesulitan saya secara akademik di kelas 10. Namun faktor lainnya menurut saya adalah yang menjadi alasan utama kelas 10 begitu sulit bagi saya. Ibu saya sejak dulu memiliki alergi yang sama dengan saya, yaitu alergi debu. Tetapi di waktu karantina pandemi itu entah kenapa reaksi sesak napas yang dialami beliau menjadi lebih parah. Situasi nilai saya di kelas 10 akhirnya membaik setelah saya berhasil beradaptasi secara optimal terhadap sistem belajar daring, tetapi kondisi ibu saya tetaplah seperti sebelumnya. Hal ini berlanjut hingga di awal 2021 di mana semua rasa cemas saya memuncak. Berdasarkan data Kemenkes pada tanggal 18 Februari 2021 di DKI Jakarta terdapat 343 kasus baru COVID-19 yang dilaporkan4. Di antara 343 orang-orang tersebut adalah kedua orang tua saya dan kakak kedua saya. Kakak kedua saya beruntung, kondisi tubuhnya pada waktu itu masih sangat baik sehingga gejala yang dialaminya tidak parah dan bisa karantina mandiri di rumah. Tetapi orang tua saya tidak bernasib sama. Ibu saya pada waktu itu langsung masuk ICU dengan saturasi oksigen yang hanya 77%. Ayah saya awalnya nampak lebih sehat, tetapi berdasarkan hasil scan paru-paru yang diterima saya dan kedua saudara saya kondisi paru-paru ayah bahkan lebih buruk daripada ibu. Sesungguhnya kondisi ini sangat mengena bagi saya dan keluarga, sulit mendeskripsikan perasaan saya saat mengetahui bahwa kedua orangtua saya harus dirawat di rumah sakit tanpa kepastian akan kesembuhan mereka. Kedua kakak saya meyakinkan kalau mereka akan baik-baik saja, tetapi saya merasa sangat sulit untuk tetap optimis terutama saat mengetahui kedua orangtua saya harus diopname. Hal ini seharusnya tidak mengejutkan saya karena kondisi kedua orang tua saya waktu itu sudah cukup buruk, tetapi masa-masa tanpa keberadaan mereka di rumah tetap menjadi salah satu masa tersulit dalam hidup saya. Sekali lagi saya dalam situasi tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa berdoa setiap malamnya memohon kesembuhan orang tua saya. Ayah saya diopname selama seminggu, pada saat itu ibu saya belum berhenti diopname. Beliau baru keluar dari rumah sakit pada bulan April. Ayah saya yang saya ketahui sebagai seseorang yang begitu kuat terlihat sangat lemah saat pertama kali pulang ke rumah, bukan hanya secara fisik, karena saya juga tahu bahwa kecemasan akan kami dan ibu pasti membebani beliau secara mental. Tetapi dibandingkan lemasnya ayah di saat itu kondisi fisik ibu saat baru keluar dari rumah sakit lebih buruk lagi. Beliau memang sudah tidak dalam kondisi kritis, tetapi virus yang menyerang tubuhnya meninggalkan komplikasi berupa long COVID-19 yang efeknya masih dirasakan sampai sekarang5. Stase post-acute dari COVID-19 ini menyebabkan dyspnea5-7, arthralgia5, 7, dan kesulitan konsentrasi5, 8 bagi ibu saya. Kondisi ini memang diketahui bisa berlangsung selama beberapa minggu, bulan, atau bahkan tahun5. Tetapi tentu saja meskipun dengan segala kesulitan ini ibu saya tetap berusaha untuk bisa menjalankan keseharian secara normal. Jadi saya pun kembali berusaha melanjutkan masa SMA saya di kelas 11 dan 12 dengan menjalankan segala hal sebaik yang saya bisa.
Perjuangan saya mempertahankan dan memperbaiki nilai di masa SMA cukup sulit, ditambah persaingan di SMA saya semakin sengit. Di kelas 11 pendidikan di SMA Santa Ursula masih dilakukan secara daring sampai di pertengahan tahun ajaran mulai dilakukan pembelajaran hybrid sampai akhirnya dilaksanakan aktivitas pembelajaran secara offline seluruhnya. Perlu saya akui kalau pembelajaran secara tatap muka memang terasa lebih efektif karena informasi yang saya dapat di pertengahan kelas 11 dengan sistem luring lebih mudah saya pahami. Perbedaan yang terasa lebih drastis adalah di kelas 12 di mana nilai saya akhirnya mulai mengalami peningkatan. Dengan waktu pendaftaran kuliah yang semakin mendekat tekad saya menjadi semakin bulat untuk memasuki universitas yang saya inginkan. Semasa SMP UI memang terasa tidak mungkin saya capai, tetapi di masa SMA ini dengan berbagai pengalaman yang sudah saya lalui memasuki FKUI masih tampak sulit, tapi saya pada saat itu merasa bahwa sesulit apapun sesuatu hal tersebut pasti tetap mungkin dilakukan, sekecil apapun kemungkinan tersebut. Saya memang akan perlu bekerja keras, dan bagi saya dibandingkan sulitnya merasakan ketidakberdayaan saya saat tidak bisa membantu keluarga sendiri. Jika gagal pun saya hanya perlu gigih dan tangguh mencoba, dan ketangguhan sudah bagai teman lama bagi saya. Jadi saat saya berhasil masuk daftar eligible, saya tetap mengingat banyaknya saingan saya untuk masuk FKUI dan tetap menyiapkan diri demi UTBK. Bentuk persiapan itu bagi saya adalah mengikuti bimbel BTA 45. Di periode saya mengikuti bimbel tersebut saya mendengar kabar bahwa pendaftaran Talent Scouting dibuka dan bagi orang-orang yang berminat diharapkan untuk menghubungi guru BK. Saya sendiri memang sebenarnya sudah berniat memasuki KKI karena keinginan untuk bisa mencari ilmu sampai ke negara lain yang juga didukung orang tua. Oleh karena itu saat diberi kesempatan mendaftarkan diri saya mengambilnya dan mengikuti prosedur yang perlu dilakukan. Saya sempat agak panik karena belum mengikuti IELTS, tapi tes tersebut berhasil saya lalui dengan nilai yang mencukupi sehingga setelah membuat motivation letter saya berlanjut menunggu pengumuman tahap 1. Setelah mendapat pengumuman tersebut saya menyiapkan diri melalui tahap 2, yang untungnya dapat saya lalui dengan cukup baik. Selanjutnya adalah waktu menunggu pengumuman yang cukup menegangkan, dan saat waktunya datang hasilnya dapat saya lihat bahwa saya lolos. Tentunya hasil ini membuat saya dan keluarga sangat bahagia. Bagi saya sendiri hasil ini terasa seperti bayaran atas segala usaha dan kesulitan yang saya alami di tahun-tahun sebelumnya.
Saya sangat bersyukur atas keberhasilan ini dan untuk ke depannya saya berniat dan berkomitmen untuk menjadi seseorang yang lebih percaya diri, aktif berkegiatan dalam lingkungan sosial, dan semakin bisa menyalurkan diri dalam semua tugas saya demi kepentingan banyak orang. Hal-hal inilah yang saya sadari masih kurang dalam diri saya yang terkadang masih kurang percaya diri dan pasif dalam lingkungan sosial, dan merupakan hal-hal yang akan berusaha saya ubah dengan masuknya saya di UI. Harapan saya adalah komitmen-komitmen dan tekad saya selama di UI bisa terpenuhi dan segala pengetahuan yang saya dapatkan bisa semakin mendekatkan saya pada mimpi dan tujuan saya menjadi seorang dokter. Harapan ini akan saya doakan bisa penuhi bersama dengan seluruh angkatan FKUI 2023 dan saya juga berharap semua aspirasi kami angkatan ‘23 bisa kami capai bersama dan lulus bersama menjadi angkatan yang sukses, solid, dan utuh.
Bagi saya gambaran seorang dokter yang ideal adalah seorang dokter yang mampu mendengarkan keluhan pasien dan memberikan penanganan yang terbaik bagi pasiennya. Bagi saya seorang dokter ideal adalah figur yang menjadi aspirasi bagi mereka yang menjalani pendidikan dokter dan seseorang yang memenuhi angan-angan pasien akan seorang dokter yang mampu menangani masalah mereka dengan manusiawi dan sesuai etika serta hukum yang berlaku. Dokter yang ideal sebaiknya bisa menempatkan kepentingan kesehatan masyarakat di atas kepentingan pribadi yang hanya berdasarkan ego mereka, memegang nilai luhur kemanusiaan, keadilan mau membantu tanpa memandang bulu atau harta, serta menjunjung tinggi perkembangan pengetahuan demi kebaikan bersama. Dengan menjadikan hal-hal tersebut sebagai pegangan seorang dokter yang ideal akan mampu meningkatkan kesehatan masyarakat sehingga berkontribusi dengan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya tanpa membebani lingkungan sekitarnya. Gambaran inilah yang akan menjadi cita-cita saya selama mempelajari ilmu kedokteran, yaitu seseorang yang bisa berpegang teguh pada prinsip, berpikir jernih, dan bisa mengambil keputusan bagi kepentingan bersama.
Selama preklinik saya berencana untuk meraih nilai setinggi yang saya bisa dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan usaha yang sungguh-sungguh agar bisa mendapatkan hasil maksimal dan mempergunakan waktu preklinik seefektif mungkin agar bisa mendapat ilmu sebanyak-banyaknya yang bisa saya gunakan untuk memenuhi rencana saya di fase klinik. Dalam menjalankan rencana ini saya akan memaksimalkan kinerja saya dengan membagi waktu sebaik-baiknya agar bisa mencapai rasio ideal demi menyeimbangkan pengerjaan tugas, belajar, dan istirahat sehingga bisa memenuhi rencana saya dengan tanggung jawab dan kerja keras. Tentunya untuk mencapai nilai yang baik saya juga perlu memperhatikan segala informasi yang saya dapatkan dan berusaha menyerapnya sebaik mungkin. Rencana saya selama klinik atau menjadi dokter adalah untuk menjadi seseorang yang bisa memenuhi pandangan saya akan dokter yang ideal dalam batasan yang memungkinkan atas dasar hukum dan lingkungan. Demi mencapai rencana ini saya akan perlu mempergunakan segala ilmu dari masa preklinik yang harus saya dapatkan melalui upaya maksimal serta mempraktekkannya dalam berkarir sambil tetap memegang teguh prinsip-prinsip yang bagi saya menjadikan seorang dokter ideal serta mendorong teman-teman seperjuangan saya untuk bisa melakukan hal yang sama. Untuk mencapai hal tersebut saya juga tetap harus menjaga keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan pribadi sebagaimana sebaiknya agar bisa berada pada kondisi mental dan fisik yang memadai demi menjalankan tugas dengan pikiran jernih. Sejalan dengan rencana jangka panjang ini saya berharap masyarakat bisa merasakan peningkatan dalam tenaga kerja kesehatan yang bisa diandalkan sehingga pada akhirnya bisa meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan rasa aman dalam menjalani kehidupan mereka dengan pelayanan kesehatan yang dianggap terpercaya dan memadai.
Terakhir adalah pesan dari saya untuk adik-adik kelas yang ingin masuk FKUI. Banyak hal yang akan terasa tidak mungkin di saat kita baru memulai melaksanakan sesuatu. Misalnya masuk UI mungkin tampak seperti angan-angan yang jauh. Tetapi kalau dilihat dari sudut pandang yang lain banyak hal dalam kehidupan sehari-hari kita yang mungkin bagi kita terasa sulit tetapi setelah diusahakan berulang kali tetap akan membuahkan hasil, dan sebenarnya prinsip tersebut berlaku pada hampir semua hal dalam hidup. Kegagalan dan kesulitan yang kita alami mungkin terasa seperti ribuan batu yang jatuh menghujani kita. Tetapi menjadi keputusan bagi kita sendiri untuk tetap terkubur dalam ribuan batu tersebut atau untuk bangkit, menggali jalan keluar dan menjadikan semua batu itu sebagai pijakan untuk mencapai harapan kita. Tidak ada kegagalan yang sia-sia, hanya perlu tekad, ketangguhan, dan usaha demi mengubah kegagalan itu menjadi sesuatu yang bermakna. Jadi cobalah segala cara yang baik yang ada demi mencapai tujuan kalian, perjuangan hanya akan berhenti saat kalian kehilangan semangat dan putus asa.
Daftar Pustaka
Runde TJ, Anjum F, Hafner JW. Bacterial meningitis. StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan– [updated 2023 Apr 27; cited 2023 Aug 5]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470351/
Arumugham VB, Rayi A. Intravenous Immunoglobulin (IVIG). StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan- [updated 2022 Jul 4; cited 2023 Aug 6]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554446/
Griffiths MJ, McGill F, Solomon T. Management of acute meningitis. Clin Med (Lond) [Internet]. 2018 Mar [cited 2023 Aug 6];18(2):164-169. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6303447/
Manuhutu R. Situasi terkini perkembangan Coronavirus disease (COVID-19) 19 Februari 2021. Jakarta: Kementrian Kesehata republic Indonesia; 2021 Feb 19 [cited 2023 Aug 6]. Available from: https://infeksiemerging.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/situasi-terkini-perkembangan-coronavirus-disease-covid-19-19-februari-2021
Koc HC, Xiao J, Liu W, Li Y, Chen G. Long COVID and its management. Int J Biol Sci [Internet]. 2022 Jul 11 [cited 2023 Aug 6];18(12):4768-4780. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9305273/
Grewal JS, Carlsten C, Johnston JC, Shah AS, Wong AW, Ryerson CJ. Post-COVID dyspnea: prevalence, predictors, and outcomes in a longitudinal, prospective cohort. BMC Pulm Med [Internet]. 2023 Mar 13 [cited 2023 Aug 6];23(1):84 Available from: https://bmcpulmmed.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12890-023-02376-w
Sapkota HR, Nune A. Long COVID from rheumatology perspective - a narrative review. Clin Rheumatol [Internet]. 2021 Nov 30 [updated 2022 Feb; cited 2023 Aug 6];41(2):337-348. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8629735/
Fong T. Brain fog: memory and attention after COVID-19 [Internet]. Cambridge: Harvard Health Publishing. 2022 Mar 17 [cited 2023 Aug 6]. Available from: https://www.health.harvard.edu/blog/brain-fog-memory-and-attention-after-covid-19-202203172707
Comments