- Annisa Alya Aditya
- Aug 12, 2023
- 9 min read
Perfection: For the Love and Victory of Humanity
“The art of medicine is long, Hippocrates tells us, "and life is short; opportunity fleeting; the experiment perilous; judgment flawed.”
― Siddhartha Mukherjee, The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer
Saya, yang lahir tahun 2004 di awal pertengahan bulan ke-delapan, dinyatakan lahir dalam kondisi sempurna, hampir prematur, dan selamat dari ambang-batas dilenyapkan oleh pre-eklampsia. Dokter ibu saya adalah eyang saya sendiri, SpOg, yang saya nobatkan sebagai malaikat penjaga saya. Lucunya, sebagai anak pertama, cucu pertama bagi kedua pasangan nenek dan kakek, serta ponakan pertama bagi saudara ibu dan ayah saya, nyatanya mereka semua juga jajaran malaikat penjaga saya. Mereka menetapkan nama saya; Annisa Alya Aditya, biasa dipanggil Alya, yang sedang menulis narasi ini, dengan mata lelah, badan lemas, kaki pincang, kepala yang pusing – dan jiwa yang semangat. Saya telah diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia jalur SIMAK KKI, “kampus perjuangan”, “kiblat ilmu kedokteran”, “fakultas tertua”, dan banyak lagi gelarnya, menjadikan hal ini sebuah kebanggaan dan kehormatan tersendiri bagi saya. Jelas lah, impian kecil saya terkabulkan, hal ini patut dirayakan….. bukan?
Antusiasme saya untuk belajar di fakultas kedokteran terbentuk sejak SMP. Saya merasa jaman SMP merupakan “masa kejayaan” saya. Saya dulu merupakan tipe murid yang kecewa berat jika mendapatkan nilai di bawah kepala sembilan. Tipe murid pekerja keras yang ingin terampil di berbagai bidang. Tipe murid yang rajin, kompetitif, serta dekat dengan Tuhan. Tipe murid yang sempurna di mata orang tua dan tetangga. Tipe murid… yang takut akan kesalahan.
Stereotipe utama seorang anak perempuan pertama adalah banyaknya tuntutan menuju kesuksesan. Kesuksesan secara fisik, mental, akademik, sosial, hingga spiritual. Prinsip ini saya tanamkan selama tiga tahun saya di SMP, prinsip bahwa saya dituntut. Semacam bentuk reverse psychology. Membuat saya menjadi murid yang terlihat percaya diri, yang ternyata tidak. Saya menjadi murid yang terlihat cerdas, yang ternyata tidak. Saya menjadi murid yang terlihat baik hati dan tidak sombong, ya, ternyata tidak juga. Hal ini karena hidup saya berpacu pada sosok seseorang yang saya anggap sempurna, versi diri saya yang paling sempurna. Saya hidup berandai-andai untuk menjadi sosok tersebut, doktrin anak perempuan pertama. Cantik, pintar, keren, bisa melakukan banyak hal, berani, dan juga… seorang dokter. Dokter, di mata saya, adalah bentuk profesi yang paling sempurna. Belajar ilmu yang saya sukai hingga akhir hayat, bertemu dan membantu berbagai macam orang dengan berbagai macam nasib yang harus saya bantu selesaikan, menjalani kehidupan seperti yang dikatakan orang-orang; kemenangan di dunia dan di akhirat. Tapi nyatanya, seiring saya beranjak dari SMP ke SMA, definisi dari “kemenangan” dan “sempurna” berubah sepenuhnya. Beriringan dengan menyadari bahwa saya tidak dituntut, namun saya menuntut diri saya sendiri.
Mulusnya perjalanan saya di SMP direkonstruksi oleh perjalanan kehidupan di SMA. Diterima di SMA Labschool Kebayoran berartikan saya akan bertemu dengan orang-orang sangat hebat. Betul, saya bertemu dengan orang-orang yang tidak hanya performa akademiknya setinggi langit, tapi juga ragam kelebihan individunya seluas samudera. Orang-orang yang sempurna, kata saya dulu. Sosok yang saya andai-andaikan ternyata ada wujud sebenarnya di dunia ini, ada banyak bahkan. Dengan ini, muncul keinginan besar untuk menjadi seperti mereka, saya ingin belajar dari mereka, saya ingin mencerminkan mereka, saya ingin menjadi lebih baik dari mereka. Saya di awal SMA menjadi lebih rajin, dengan keinginan masuk FK UI lebih tinggi, ingin lebih cerdas secara akademik dan sosial – saya ingin mengambil segalanya. Apakah saya berhasil? Tidak, belum. Munculnya pandemi COVID-19 menjadikan segala rencana saya untuk menjadi lebih baik hancur lebur. Saya mengalami kesulitan belajar online. Mata yang sakit, tubuh pegal-pegal, motivasi yang hilang, dan wishlist yang tidak terkabulkan. Gairah, hasrat, semangat dan antusiasme saya ikut lenyap, termasuk motivasi ingin diterima FK UI, FK sekalipun.
Saya menjadi hampa. Tidak ada lagi keinginan untuk menjadi dokter, menjadi sempurna. Tidak ada lagi keinginan untuk menang. Periode ini saya lalui dengan begitu berat namun juga begitu kosong. Mau jadi dokter kok punya masalah kayak gini?, saya pikir-pikir kembali cita-cita saya. Seiring SMA online berlalu, yang susah senangnya juga saya alami, saya melihat teman-teman saya yang juga mengalami hal yang sama, bahkan banyak yang kondisinya jauh lebih terpuruk dari saya. Teman-teman yang saya anggap sempurna di awal tadi. Oh, mereka juga manusia.
Kehampaan dalam diri saya saat itu digunakan untuk saya membentuk fondasi pemahaman saya terkait kesempurnaan dan kemenangan. Saya membentuk berbagai rumusan masalah dan hipotesis; Kenapa saya tidak berapi-api seperti saya di SMP? Kenapa saya ingin meraih kesempurnaan dan kemenangan? Apakah karena saya merasa dituntut untuk meraih itu semua? – yang terpusatkan pada pertanyaan terakhir – kenapa harus dokter?.
Waktu berlalu saya gunakan untuk berpikir. Terlalu banyak berpikir hingga tidak dapat melangkahkan satu kakipun. Saya yang tidak dapat memulai untuk mempersiapkan diri saya dengan maksimal demi mendapatkan FK UI, impian kecil saya, tidak juga diterima FK UI, buruknya juga, FK manapun yang saya daftarkan. Ah, this is it, tutur saya dengan putus asa. Saya lihat serangkaian kalimat yang terpaparkan pada laman penerimaan SIMAK di gawai saya, jalur terakhir penerimaan perguruan tinggi, tertulis bahwa saya diterima di Teknik Biomedik UI.
Saya yang memang saat itu tidak memiliki semangat lagi untuk menjadi dokter menerima kenyataan ini sebaik-baiknya. Saya syukuri, dan saya jalani. Menjalani rangkaian pembelajaran dengan mata kuliah yang tidak saya sukai; kalkulus yang menyulitkan, fisika dan praktikum yang menyedihkan, aljabar linear yang.. ah, sudahlah. Nilai-nilai yang saya peroleh di mata kuliah tersebut juga tidak sebaik nilai mata kuliah biologi, terapan biomedik, serta terapan kimia. Teman-temannya juga. Berbeda dengan di SMA, saya melihat mereka sebagai orang-orang yang tidak lebih sempurna dari teman-teman saya di SMA. Pandangan buruk saya terhadap mereka di awal tidak saya presentasikan langsung ke mereka, sehingga tidak ada yang menyangka bahwasannya saya tidak ingin menempatkan diri saya di kelompok atau komunitas apapun. Tapi, apa boleh buat, saya senang. Saya menemukan kebahagian saya kembali. Saya bertemu teman-teman baru yang bisa saya andalkan, saya bertemu senior-senior yang saya kagumi, dan dosen-dosen yang mendukung seluruh performa saya dan teman-teman saya. Saya bahkan didekati seseorang yang saya juga anggap tidak memenuhi kriteria “pasangan sempurna” bagi saya, tapi nyatanya, seorang inilah yang terus menarik saya kembali menjadi versi diri saya yang dulu saya kagumi tanpa ada tanda-tanda ia akan menyerah. Satu tahun saya di Fakultas Teknik saya menyadari bahwa, semua di dunia ini adalah sempurna.
Awal tahun pertama saya di kampus perjuangan, saya menjadi seseorang yang tidak karu-karuan. Saya menjadi orang yang berani mengambil resiko. Mencoba segala hal yang bisa saya pikirkan adalah motto hidup saya yang baru. Saya menyadari bahwa saya akan lebih banyak menyesali tidak melakukan banyak hal daripada saya menyesali hal-hal yang saya telah perbuat. Saya menjadi seseorang yang tidak takut kesalahan. Karena, tidak ada yang salah di dunia ini, semuanya sempurna. Saya menentukan target pencapaian yang besar selama di UI, mengincar dan menerkam peluang-peluang yang tidak jarang berlalu-lalang. Saya berhasil menjadi anggota Departemen Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM UI 2023, menjadi bagian dari organisasi yang terus mencetak sejarah. Dari departemen saya, saya bertemu dan mengetahui masalah-masalah yang dialami sebagian besar mahasiswa IKM UI. Sudah menjadi kewajiban saya untuk melihat ribuan wajah yang berbeda setiap minggunya, mereka yang memiliki masalah pribadi masing-masing, ujian hidupnya masing-masing hingga suka dukanya masing-masing. Terlepas dari perbedaan yang mereka miliki ini, tatapan saya ke mereka tidak pernah berubah, saya melihat mereka kedudukannya sama seperti saya. Mereka juga manusia. Manusia yang sempurna.
Kembali ke diri saya dan pertanyaan terakhir saya. Kenapa harus dokter? Tentunya tidak karena saya menyukai pelajaran biologi, atau karena nilai biologi saya bagus selama di SMP dan SMA, well yes, tapi itu jawaban cliché. Biologi adalah ilmu yang terus berkembang yang memiliki definisi dan kaitan erat dengan ilmu medis. Untuk memahami satu bab tentang anatomi dan fisiologi manusia secara mendalam, saya harus memahami keseluruhan ilmu medis hingga akar-akarnya. Saya harus memahami bab selanjutnya, yang juga berkaitan dengan bab selanjutnya, yang juga berkaitan dengan tiga bab sebelumnya, dan seterusnya. Pemahaman yang terus-menerus inilah yang saya kagumi dalam ilmu medis. Pemahaman bercabang tapi tetap terpusatkan oleh konsep medis. Selama saya mengumpulkan pengayaan materi mengenai ilmu medis, saya juga menyadari bahwa ilmu kedokteran bukan hanya tentang biologi dan sains. Ide tersebut bisa saya kaitkan dengan saya yang mendapati diri saya gemar mempelajari tentang manusia. Manusia-manusia yang kesempurnaannya memiliki bentuk yang berbeda-beda. Konsep ilmu medis tidak pernah terlepas jauh dari mempelajari tentang kemanusiaan ini. Tidak pernah terlepas jauh dari sentimen, perjuangan, dan kondisi kesehatan orang-orang. Orang-orang di dunia ini berhak mendapatkan dokter yang simpatik dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka membutuhkan orang-orang yang dengan senang hati rela membuat orang lain merasa lebih baik, yang tidak malu untuk memperlihatkan ketidaksempurnaan mereka – kemanusiaan mereka – dan yang selalu ingin belajar lebih banyak tentang bidang keahlian mereka untuk menjadi versi terbaik diri mereka sendiri. Dokter seperti itulah yang saya cita-citakan. Mempelajari kesempurnaan melalui buku-buku standar bentuk manusia “sempurna” yang berujung menghidupkan yang tidak sempurna [mereka yang sakit]. Mengedepankan kesempurnaan etika medis, yang berujung lebih banyak mengalami kekecewaan dan duka. Memahami bahwa “kemenangan” bukanlah target kehidupan. Memanusiakan manusia dan menjalankan kehidupan adalah arti kemenangan hidup sebenarnya.
“I’m human, we all are – all doctors are – and grieving is a natural part of medicine. If you deny that, again, you’d get into this trap of curing and victory. I think grief is very important”
― Siddhartha Mukherjee
Memahami ketidaksempurnaan dari kesempurnaan manusia, dan sebaliknya, adalah suatu hal yang perlu saya tekuni. Menurut saya, konsep awal ini lah yang membentuk dokter ideal. Pembentukan ide ini saya dapati dari sosok yang saya kagumi, Dr. Siddhartha Mukherjee. Buku Siddhartha Mukherjee pertama saya, sekaligus buku non-fiksi genre medis pertama saya adalah buku The Emperor of All Maladies: A biography of Cancer. Beliau menulis buku ini sebagai bentuk penjelasan ke salah satu pasiennya, seorang wanita berumur 56 tahun dengan abdominal sarcoma yang telah mengalami dua remisi, menanyakan apa yang sedang ia lawan. Cerita pasien-pasiennya yang ia selundupi di beberapa halaman di bukunya menegaskan bahwa untuk menjadi dokter ideal adalah tidak hanya dengan mengobati penyakit, tapi mengobati pasien yang memiliki penyakitnya. Sebagai tambahan, pada studi yang dilakukan oleh Dopelt, K. Bachnery, Y. G. dan kawan-kawan pada jurnal Perceptions of Practicing Physicians and Members of the Public on the Attributes of a Good Doctor [2021, December 31] pasien saat ini mengandalkan kemampuan ilmiah, klinis, dan etis dokter. Komitmen dokter terhadap kesejahteraan pasien menjadi dasar terciptanya kepercayaan di antara mereka. Berdasarkan studi tersebut, dua aspek tenaga kesehatan – keterampilan profesional dan teknis serta kemanusiaan dan kemampuan interpersonal – mewakili rangkaian cabang-cabang keterampilan yang berbeda. Kemampuan dokter untuk dapat terhubung dengan pasien serta mendapatkan kepercayaan mereka adalah dengan mengimplementasikan dan melampaui kedua aspek tersebut. Penanaman aspek ini dalam pekerjaan tenaga kesehatan akan memiliki dampak yang lebih besar ke pasien dan masyarakat melalui pemberian kata-kata yang memengaruhi ke prosedur pengobatan pasien, atau bahkan, lebih memengaruhi daripada obatnya.
Saya bertekad untuk mempelajari dan menanamkan aspek-aspek tersebut menjadi fondasi utama saya sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Tidak lagi mengejar kesempurnaan, tetapi membubuhkannya, tidak lagi mengejar kemenangan, tetapi melampauinya. Saya ingin meraih excellence di ilmu medis demi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain. Saya ingin orang-orang dan segala nilai-nilai yang ada di sekitar saya tumbuh seiring dengan saya yang juga terus bertumbuhan. Saya akan memanfaatkan kesempatan saya sebaik-baiknya selama saya di Fakultas Kedokteran UI, menggali segala kemampuan atau potensi yang sebelumnya tidak saya sadar ada, mendapat gelar dan tanggung jawab yang besar di beragam komunitas atau kelompok mahasiswa kedokteran dan upaya-upaya lainnya agar saya memiliki peluang untuk melakukan banyak kesalahan. Saya ingin berada di kelompok orang-orang yang ingin terus tumbuh dan berkembang juga saling belajar satu sama lain, itu harapan saya kepada FK UI ‘23. Hal ini juga harapan saya ke senior-senior saya yang akan tentunya saya kagumi, serta adik kelas nanti yang akan menjadi tempat untuk saling bertukar pendapat. Tidak ada perkembangan jika kita tidak mengorbankan sesuatu, katanya. Semoga “Gelora” terus menjadi bentuk dambaan angkatan kita untuk dapat membuahkan dokter-dokter masa depan yang hebat.
Lulus S.Ked dengan pujian adalah impian semua mahasiswa kedokteran. Lulus klinik dan disumpah menjadi dokter juga impian semua koas. Apa yang saya rencanakan setelah menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari rangkaian preklinik dan klinik Fakultas Kedokteran UI? Mungkin saya kembalikan ke dalam buku dr. Siddhartha Mukherjee. Di dalam bukunya, terdapat suatu pembawaan konsep yang unik; beliau menjelaskan kanker bukan dengan cara menjelaskan suatu penyakit. Ia menjelaskan kanker seakan-akan kanker adalah makhluk hidup, dengan latar belakang, sejarah, umur dan kemampuan yang dimilikinya. Karena itu dia menggunakan kata “biografi” di judul bukunya. Di dalam prolog dari buku tersebut, dr. Siddharta mengatakan kalimat yang sangat berkesan bagi saya, “sel kanker tumbuh lebih cepat dan mampu beradaptasi dengan lebih baik. Mereka adalah versi diri kita yang lebih sempurna.” Berkaitan dengan yang saya tuturkan sebelumnya, saya hendak mempelajari manusia, makhluk hidup yang sempurna. Saya tidak hanya ingin memahami penyakit pada manusia, tapi juga mengenalnya untuk mengetahui hubungan macam apa yang secara spesifik dapat memberikan dampak ke manusia yang mengidap penyakitnya. Saya ingin proses pemahaman saya terhadap suatu penyakit menjadi tumpuan saya dalam mengobati manusia. Seperti kanker, yang nyatanya muncul dari manusia sendiri. Bagaimana dengan penyakit lain? Apakah mereka membantu menegaskan ide yang menyatakan bahwa penyakit-penyakit termasuk ciptaan yang sempurna? Atau bahkan, mereka yang menyempurnakan manusia? I’ll find out soon.
Mempelajari penyakit-penyakit dan hubungannya dengan manusia sungguhlah unik. Menemukan masalah baru setelah menggali-gali kebenaran atau kesalahan hipotesis mengenai suatu masalah medis. Saya ingin dapat mengintegrasikan persepsi dokter-dokter lain terhadap suatu masalah medis menjadi sebuah solusi demi masa depan masyarakat Indonesia. Berkontribusi pada peningkatan kualitas perawatan kesehatan di seluruh Indonesia yang memiliki banyak ruang untuk dikembangan merupakan salah satu tujuan utama saya. Menanamkan aspek etika dokter, mempelajari bagian-bagian tubuh yang membentuk manusia, mengimplementasikan ilmu saya ke tujuan yang lebih besar. Masalah yang besar. Maka, masalah besar membutuhkan solusi yang besar. Merancang solusi-solusi yang sedemikian rupa untuk mendekati kesempurnaan. Demi membentuk kesempurnaan, kita harus dapat memahami ketidaksempurnaan, dan sebaliknya. Saya melakukan segala hal ini sebagai seorang manusia untuk manusia lainnya. Yang sempurna, untuk yang sempurna.
For the love of humanity.
DAFTAR PUSTAKA
Mukherjee S. The emperor of all maladies. London: Fourth Estate Ltd; 2017.
Sapolsky RM. Behave: The biology of humans at our best and worst. London: Vintage; 2018.
Raza A. The first cell and the human costs of pursuing cancer to the last. New York: Basic Books; 2020.
Dopelt K, Bachner YG, Urkin J, Yahav Z, Davidovitch N, Barach P. Perceptions of practicing physicians and members of the public on the attributes of a “good doctor” [Internet]. U.S. National Library of Medicine; 2021 [cited 2023 Aug 9]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8775310/
Luo A, Yu Z, Liu F, Xie W. The Chain Mediating Effect of the Public's Online Health Information-Seeking Behavior on Doctor-Patient Interaction [Internet]. U.S National Library of Medicine; 2022 [cited 2023 Aug 9]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9201044/
Comments