top of page
  • Youtube
Search
  • Aliyya Pramesthi
  • Aug 13, 2023
  • 7 min read

Updated: Aug 13, 2023

Narasi Perjuangan


Nama saya Aliyya Pramesthi, akrab dipanggil Fiya. Saya sebelumnya bersekolah di SMA Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru. Saat ini, saya salah satu mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jurusan Pendidikan Dokter kelas Reguler tahun 2023, masuk melalui jalur SNBP.


Sejak kecil, saya sudah menjadi seseorang yang sangat peduli dengan sekolah. Tetapi peduli tidak lantas suka. Teman saya pernah berkata, “Kamu dulu SD terlalu serius deh.” Melihat balik, harus saya akui bahwa sepertinya ia benar. Ketika teman-teman sedang bercanda, ketawa-ketawa, dan berlarian tak karuan dalam kelas, saya duduk di atas kursi mengawasi mereka dengan muka cemberut. Dalam hati, saya berpikir: Ayolah semua, kita harus mengerjakan tugas yang diberikan! atau Aduh, jangan gitu dong! Nanti Ibu Guru bakal marah.


Kalau ditanyakan tentang alasan untuk sikap itu, awalnya saya hanya akan bergeleng-geleng. Tapi setelah saya pikirkan baik-baik, jawabannya simpel. Saya diajarkan bahwa sekolah itu penting, guru harus selalu didengarkan, dan peraturan ada untuk dipatuhi. Maka, saya berpegang saja kepada hal-hal itu.


Cara berpikir saya saat SD itu ternyata bertahan sampai cukup lama, yakni seperti ini: ketika saya diberi perintah, saya menaati. Bukan karena saya takut dengan guru atau orang tua, tapi saya benar-benar tidak ada keinginan yang melanggar aturan mereka. Saya merasa sangat beruntung untuk itu. Hidup berjalan saja tanpa gangguan. Saya sekolah, saya belajar, saya pulang. Saya belajar, saya kerjakan ujian, saya dapat nilai. Saya menemukan zona nyaman dan tidak menemukan alasan untuk keluar.


Saat kelas 4 SD, saya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Kelompok Ilmiah Murid (KIM) IPA. Dari situlah saya dikenalkan dengan tes seleksi tim lomba sekolah. Wali kelas saya di saat itu yang juga merupakan salah satu pembina tim IPA menawarkan saya untuk ikut tes seleksi IPA dan matematika, karena saya katanya kuat dalam pelajaran-pelajaran itu. Hasil seleksi mengabarkan bahwa saya diletakkan di tim IPA. Di dalam situlah pertama kalinya saya mengenal yang namanya Biologi dan Fisika. Pada hari Sabtu, ketika teman-teman kelas kami sedang tertidur pulas di kasur mereka, kami tim lomba datang ke sekolah untuk kegiatan pembinaan. Saya ingat benar-benar dua pertemuan (masing-masing sekitar 3-4 jam) dihabiskan oleh pembina kami, seorang dosen Fisika, untuk membahas “Benda Diam pada Bidang Datar”. Benda diam loh! “Minggu depan bidangnya dimiringin kali, ya?” canda teman saya di minggu ke-2. Ternyata ia meleset sedikit, karena kita baru membahas “Benda Diam pada Bidang Miring” tiga minggu kemudian.


Tentunya kita juga mendapatkan pembinaan materi Biologi selain dari Fisika, bergantian setiap satu atau dua minggu. Kami diajarkan oleh seorang dosen Biologi yang sepertinya jauh terlalu pintar untuk membimbing anak-anak SD yang bahkan tidak tahu siapa itu Carolus Linnaeus. Bahkan untuk membaca tulisannya di papan tulis saja kami harus berpikir keras, kalimat di bawah yang terpotong dilanjutkan melingkar ke atas, huruf-huruf yang tadinya besar tiba-tiba mengecil tanpa alasan.


Tapi kalau saya jujur, saya harus mengakui bahwa saya sangat menikmati pengalaman pembinaan-pembinaan itu. Pengalaman itu tidak mencetuskan minat kedokteran pada saya–materi Biologi yang saya ingat dari masa itu lebih banyak di tanaman, hewan, dan nama latin–tapi menanamkan sesuatu. Mungkin itu pertama kalinya saya melihat orang-orang yang jelas sekali sangat menyukai pekerjaannya, meskipun untuk orang lain mungkin pekerjaannya memusingkan kepala. Orang yang sangat senang dengan bidang keilmuannya sampai dia belajar ke tingkat-tingkat pendidikan yang tinggi dan mendapatkan gelar yang keren-keren. Sampai-sampai, saya menjadi suka juga ketika belajar. Saya ingat berpikir bahwa kalau saya jadi pengajar, saya lebih ingin mengajar mahasiswa daripada murid-murid sekolah, agar saya bisa sangat mendalami satu keilmuan kepada orang-orang yang benar-benar tertarik dengan topik itu.


Saya mulai berkompetisi setelah hanya setengah tahun belajar “untuk latihan saja”. Akan tetapi, ternyata saya lolos di Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat kota. Kemudian provinsi, kemudian nasional. Saya tidak tahu sebenarnya bagaimana bisa tapi alhamdulillah saya berhasil meraih juara di tingkat nasional dan bahkan di kancah internasional kemudiannya. Setiap kali saya meraih kemenangan, selalu ditemani ketidakpercayaan dan rasa syukur yang sangat kuat.


Saat SMP pun saya kembali ikut OSN bidang IPA, padahal saya awalnya berniat fokus sekolah saja. Untungnya ternyata partisipasi saya dalam olimpiade tidak mengganggu performa saya di kelas dan bahkan bisa membantunya. Saya sangat bersyukur dan bahagia di saat itu berhasil meraih prestasi di Kompetisi Sains Nasional (KSN), meskipun dalam kondisi daring.


Awal SMA dimulai dan saya terduduk di hadapan layar komputer, di rumah, sendiri. Pada masa-masa itu, saya benar-benar terpukul karena bisa dibilang kasarnya menjalani sekolah hanya dapat stressnya aja, tidak ada teman dan tidak ada kesenangan. Namun demikian, saya tetap berusaha keras untuk mendapatkan nilai-nilai bagus, meskipun materi baru SMA dan cara belajar dengan media daring rasanya berkali-kali lipat lebih sulit daripada pengalaman sekolah saya sebelumnya. Semua pelajaran saya usahakan semaksimal mungkin dengan energi dan kapasitas yang saya miliki. Guru-guru sekolah sudah mengingatkan dari semester awal bahwa nilai kita berpengaruh kepada pemilihan undangan untuk kuliah nanti, sehingga itu saya jadikan motivasi untuk mengejar pelajaran. Walaupun dalam masa pandemi, saya tetap memilih untuk ikut pembinaan untuk tim olimpiade yang ada di sekolahku. Bidang IPA di jenjang SMA mengalami pemecahan dan akhirnya saya memilih untuk ikut bidang Fisika. Teman-teman dan guru ada yang memberi tahu bahwa kalau saya menargetkan undangan kedokteran, mungkin lebih baik memilih Biologi. Tapi saya pikir, dalam kondisi daring seperti ini, lebih baik saya pilih yang lebih saya sukai pada saat itu daripada ikut hanya untuk sertifikat “yang tepat”.


Sejujurnya, pada saat itu saya juga tidak tahu apakah ingin melanjutkan kuliah di jurusan kedokteran. Itu asumsi kebanyakan orang yang saya terlalu lelah untuk membantah, jadi saya iyakan saja. Bukan berarti saya bingung kalau mau kedokteran akan memilih universitas mana. Saya sudah yakin dari awal bahwa Universitas Indonesia memiliki program pendidikan kedokteran terbaik di Indonesia. Kegalauan saya datang karena tidak tahu apakah FKUI tempat yang tepat bagi saya. Setiap dialog pribadi selalu kembali ke kata “tapi”.


Meskipun saya dipenuhi dengan segala kebingungan dan ketidakyakinan tentang pilihan jurusan, saya tetap mempertahankan dan meningkatkan nilai saya. Saya berprinsip bahwa apapun pilihan saya di akhirnya, saya akan lebih tenang kalau bisa memilih universitas serta jurusan apapun di seleksi perguruan tinggi. Karena itulah saya sangat lega ketika daftar eligible pendaftar undangan di sekolah saya keluar dan saya alhamdulillah berada di peringkat satu.


Tanggal penyetoran pilihan Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) semakin mendekat, saya memikirkan benar-benar semua pilihan yang ada. Satu-satu sudah saya eliminasi hingga tersisa dua saja. Datanglah saya ke orang tua dengan sedikit rasa takut karena yakin mereka akan langsung memilih satu dan membuang yang lainnya. Setelah debat dan diskusi yang panjang, orang tua menyerahkan pilihan ke saya karena kedua jurusan memiliki plus minus sendiri, dan hanya saya yang bisa mengetahui yang tepat–hasil yang tidak kuduga. Lebih ajaib juga, setelah diberikan kebebasan ini, saya yang seharusnya lega malah merasa semakin panik. Sejauh ini dalam hidup, belum pernah adanya pilihan yang sepenting ini: pilihan yang akan menentukan masa depan untuk waktu yang sangat lama.


Barulah saya sadar bahwa selama ini telah berlindung di balik alasan. “Disuruh orang tua,” bukannya “Saya sendiri yang pingin.” Sungguh, saya tidak berniat berbohong, bahkan saya tidak menyadarinya sama sekali. Saya mengakui pada diri sendiri bahwa saya telah malu untuk bermimpi. Takut untuk berharap. Bagaimana kalau saya menunjukkan bahwa saya ingin tapi saya tidak mampu menggapainya? Bagaimana kalau saya berusaha sekuat tenaga dan tidak menghasilkan apa-apa? Apakah bisa saya membuat keputusan ini dan konsekuen sampai akhir?


Saya belum mengetahui jawaban pertanyaan terakhir itu. Saya masih berada di awal dari perjalanan panjang yang menjadi bentuk tanggung jawab terhadap pilihan yang saya buat. Akan tetapi, saya bisa berharap. Berharap beberapa tahun lagi jaket kuning almamater sudah tidak dikenakan di badan, tetapi disimpan dalam lemari, digantikan oleh scrubs warna-warni yang membuat pusing kalau dilihat terlalu lama ataupun jas putih dokter yang khas itu.


Tentunya hal itu hanya akan terwujud apabila saya pertama melewati tahap pre-klinik. Selama pendidikan pre-klinik, saya ingin mengikuti salah satu organisasi khusus mahasiswa kedokteran. Untuk itu, saya perlu mencari informasi lebih lengkap dan menggali diri sendiri untuk mengetahui persisnya organisasi seperti apa yang saya inginkan, apa itu di bidang riset dan penelitian, edukasi di tingkat internasional, ataukah yang lainnya. Saya ingin dapat mengikuti pelajaran dengan baik, termasuk juga mengerjakan tugas dengan maksimal dan tepat waktu, agar bisa lulus dengan predikat cumlaude.


Untuk merealisasikan keinginan saya, saya harus bisa mengubah beberapa hal dalam kebiasaan dan sikap belajar saya. Saat masih menjadi siswa di sekolah, saya menyadari bahwa sebenarnya saya suka mempelajari hal baru, saya suka memperluas ilmu saya. Namun, ketika saya mengalami kesulitan atau tantangan, saya mudah patah semangat sehingga menjadi malas dan tidak disiplin. Selama di FKUI dan seterusnya dalam hidup, saya ingin mengubah diri agar menjadi tangguh dan memiliki daya juang yang tinggi agar selalu bangkit apabila jatuh. Bukan hanya bermotivasi, saya juga harus disiplin dan konsekuen agar bisa belajar pada saat terdemotivasi sekalipun.


Tidak lupa, saya ingin mendapatkan teman-teman yang saling membangkitkan dan mendukung satu sama lain. Saya harapkan FKUI 2023 “Gelora” memiliki rasa solidaritas yang tinggi dan saling membantu. Kita akan berjuang bersama dan semoga juga sukses bersama, walaupun dalam jalan yang berbeda-beda.


Berlanjut di tahap koasistensi, saya akan berusaha dengan sebaik mungkin untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah saya dapatkan dalam praktik. Di dalam perjalanan, saya yakin akan ada banyak kesalahan dan pelajaran. Maka saya ingin menjadi seseorang yang bisa menerima segala kritik dan saran untuk menjadi diri yang lebih baik.


Barulah saya akan benar-benar menjadi seorang dokter. Ada sosok dokter ideal yang saya berharap bisa mencapai. Dari penggalian yang saya lakukan dan juga pengalaman pribadi, dokter ideal adalah dokter yang bagus dalam berkomunikasi, memiliki kemampuan interpersonal yang memadai, berempati, beretika, menguasai ilmunya, kompeten secara medis, dan profesional. [1] [2]


Saya ingin mengembangkan dunia kesehatan di Indonesia dan melakukan peran saya sebagai warga Indonesia yang teredukasi dan profesional. Apabila ada banyak tenaga kesehatan yang melakukan perannya dengan baik saya yakin akan terjadi peningkatan dalam kualitas kesehatan Indonesia. Satu dokter bisa membantu ribuan pasien dalam jalan hidupnya. Penanganan cepat sebuah gejala awal oleh seorang dokter umum di puskesmas desa terpencil bisa berarti pasien tidak harus menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya untuk berobat ke rumah sakit yang terletak jauh di kota. Diawali dengan peningkatan pemahaman masyarakat Indonesia tentang kepentingan kesehatan, sehingga gaya hidup menjadi lebih baik yang bisa meningkatkan Quality of Life. Dengan itu, angka harapan/life expectancy at birth di Indonesia bisa meningkat dari angka terakhir di tahun 2019 yaitu 71,3 tahun. [3] Semoga Indonesia juga bisa banyak menghasilkan perkembangan baru di dunia riset kesehatan yang tidak kalah pentingnya untuk menemukan solusi pengobatan bagi penyakit-penyakit yang sekarang belum ditemukan. [4]


Untuk adik kelas yang sekarang sedang berjuang untuk masuk FKUI, terus pertahankan dan tingkatkan. Harus diingat, memilih masuk FKUI bukan hanya pilihan untuk belajar beberapa bulan agar keterima, atau 4-6 tahun sampai lulus, tetapi sebuah komitmen untuk terus belajar dan meningkatkan diri seumur hidup. [5] Jangan lupa untuk tetap menjaga kesehatan diri dan istirahat, ya. Semangat terus semua!



Referensi

  1. Steiner-Hofbauer V, Schrank B, Holzinger A. What is a good doctor? PubMed Central (PMC). 2017 Sep 13 [cited 2023 Aug 11];168(15): 398–405. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6223733/

  2. St. George’s University. What makes a good doctor? 7 surprisingly useful skills for physicians [Internet]. Grenada: St. George’s University; [cited 2023 Aug 9]. Available from: https://www.sgu.edu/blog/medical/what-makes-a-good-doctor/

  3. World Health Organization. Indonesia - WHO Data [Internet]. Switzerland: World Health Organization; 2022 Nov 22 [cited 2023 Aug 10]. Available from: https://data.who.int/countries/360

  4. Rokom. Penelitian kesehatan penting untuk tingkatkan status kesehatan masyarakat [Internet]. Indonesia: Sehat Negeriku - Biro Komunikasi & Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI; 2011 Nov 17 [cited 2023 Aug 11]. Available from: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20111117/471965/penelitian-kesehatan-penting-untuk-tingkatkan-status-kesehatan-masyarakat/

  5. Allen Chen. From premed to physician: Pursuing a medical career [Internet]. Massachusetts: U.S. Bureau of Labor Statistics; 2017 Dec [cited 2023 Aug 11]. Available from: https://www.bls.gov/careeroutlook/2017/article/premed.htm

 
 
 

Recent Posts

See All
Satria Dwi Nurcahya

NARASI PERJUANGAN Halo salam kenal semua! Perkenalkan nama saya Satria Dwi Nurcahya, biasa dipanggil Satria. Arti dari nama saya...

 
 
 
Algio Azriel Anwar

Narasi Perjuangan Halo perkenalkan, namaku Algio Azriel Anwar. saya adalah fakultas kedokteran program studi pendidikan kedokteran dari...

 
 
 
Tresna Winesa Eriska

Narasi Perjuangan “Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah...

 
 
 

コメント


© 2023 FKUI Gelora

bottom of page